Setiap dari kita pasti pernah menghabiskan waktu dan energi yang tidak wajar untuk berandai-andai tentang apa yang ingin kita miliki alih-alih mensyukuri apa yang benar-benar kita miliki. Perasaan semacam itulah yang dikenal dengan istilah fear of missing out atau disingkat FOMO.
FOMO, yang pertama kali dicetuskan oleh Patrick McGinnis, saat ini sudah menjadi istilah global, apalagi setelah resmi dimasukkan sebagai entri Oxford English Dictionary pada tahun 2013 lalu. Bahkan, kalau kita cek KBBI Edisi VI, kita bisa menemukan term “fomofobia” yang diserap dari FOMO, yang diartikan sebagai fobia ketinggalan peristiwa-peristiwa penting dan perkumpulan sosial.
Baca juga:
Sadar atau tidak, FOMO ada di mana-mana. Setiap saat kita akan dibombardir pemicu FOMO di dunia maya dan dunia nyata. Fakta inilah yang membentuk kita menjadi spesies baru: FOMO sapiens. Coba diingat-ingat, berapa kali kita menolak ajakan nongkrong karena harus bekerja lembur, mematikan notifikasi grup WhatsApp saat sedang makan malam keluarga, atau gelisah kenapa orang lain bisa kaya berkat Bitcoin sementara literasi keuangan kita begitu minim?
Menurut Patrick J. McGinnis dalam bukunya Fear of Missing Out: Practical Decision-Making in a World of Overwhelming Choice, FOMO sering kali menjelma sebagai rasa cemas yang timbul karena persepsi terhadap pengalaman orang lain yang lebih memuaskan daripada diri sendiri, biasanya lewat terpaan media sosial. Hal ini seringnya dibangun oleh berbagai faktor internal dan eksternal seperti keluarga, teman, influencer di media sosial, pengalaman, dan juga minat atau kesukaan.
Dalam FOMO, ada asumsi tersembunyi bahwa kita selalu punya pilihan dalam jumlah yang mungkin luar biasa banyak. Pilihan itu bisa nyata, bisa juga tidak. Masalahnya, selalu ada jarak antara pikiran dan harapan kita tentang sesuatu dan realitas. Hal ini disebut juga ketimpangan informasi, dan inilah yang secara langsung membentuk FOMO.
Seorang blogger dan pengusaha bernama Anil Dash pernah mencetuskan istilah JOMO, singkatan dari joy of missing out. Beberapa tahun setelah FOMO populer dan jamak digunakan, ia menawarkan JOMO sebagai solusi. Lantas, apakah JOMO benar-benar menjadi obat penawar yang tepat? Menurut McGinnis, terkadang jawabannya ya, tapi tidak selalu. Sebab, dalam praktiknya, JOMO bukanlah proses, tetapi tujuan.
Perumpamaannya begini, ketika kita merasa perlu mengumumkan kepada dunia bahwa kita bahagia karena tidak mengikuti tren ini-itu (misalnya, merasa bangga karena tidak tertarik datang ke konser Bruno Mars karena ia pendukung zionis), justru itu malah jadi tanda narsistik. Jika benar-benar tidak keberatan ketinggalan apa pun, seharusnya kita tidak perlu melabeli perasaan kita sendiri—baik dengan JOMO atau istilah lain.
Baca juga:
Buku yang ditulis oleh McGinnis bukan untuk mendikte apakah perilaku FOMO itu baik atau buruk. Ia hanya berusaha mengajak kita untuk mengidentifikasi bentuk FOMO, lalu belajar mengendalikannya dan mengubahnya menjadi pengaruh positif. Toh, kita tidak pernah keberatan ketika ada orang lain FOMO mengikuti cabang olahraga tertentu karena kita sepakat bahwa menjaga pola hidup sehat itu penting.
Pada intinya, perilaku FOMO memang mustahil dihilangkan, jadi kita tidak perlu alergi dengan hal itu. Salah satu hal penting untuk mengatasi FOMO adalah menerima fakta bahwa sesekali kita pasti pernah kehilangan peluang bagus—dan itu bukan masalah.
Editor: Emma Amelia