Anamnese 1
Seperti menjaga redup-nyala api
Para murid menahan-nahan kantuk
dalam rapalan mantra.
Mungkin Kartini terilhami
dari gua yang terbuka.
Sesudah gelap malam,
terbitlah terang fajar.
Emansipasi yang ditutur-tuturkan
dan diujar-ajarkan
mengoyak kemandekan
daya mental bangsanya.
–
Anamnese 2
Pada malam perpisahan,
Dia melakonkan
sedu-haru suri tauladan
Dua belas murid merapat
mengitari jamuan makan
Sang Guru duduk di tengah-tengah
Mengusapi kaki-kaki kelu
Membagikan repih-repih tubuh
yang remuk, ditaklukan bisik pencobaan
tangan terkasih yang tak bersih.
–
Anamnese 3
Dalam pernyataan iman bertatahkan
nyaring lonceng, dengung gong, keprak crotalus
Seorang wafat, seorang bangkit, dan dinantikan akan kembali.
Kenangan adalah sebuah misteri.
–
Anamnese 4
Ingatanku bangkit, terlempar,
lalu menggambar:
Seorang bassis asal Ambon
tali gitarnya bertulisan angka ayat nubuat.
Berkat kasih Allah mengaruniakan seorang anak
demi dunia selamat.
Ingatanku mengambang dan membilang:
Kami bukan sesiapa
Mengenang-Mu segaris laju cahaya
dalam makan kami
dalam minum kami
Beginikah laku warta,
atau sekadar wara-wara?
–
VIGILI PASKAH
Pada malam ini
Surya menggelegak dari celah batu besar yang bergerak.
“Tuhanku telah dicuri!” teriak sang putri.
Dua malaikat berpakaian putih menenangkan.
Tuhanmu sudah bangkit, katanya.
Pada malam ini,
dimaklumkan kisah penciptaan.
Syahdan, berkas rancangan peraturan lama ngendon di brankas parlemen.
Enam tahun kemudian,
ia diteken oleh para penjabat Senayan.
“Ia tidak lagi di sini. Tidakkah kalian ingat, bahwa sesudah mati,
Ia akan bangkit pada hari ketiga? Bukankah begitu pesannya kepadamu?”
“Inilah hari penantian bagi korban, kaum perempuan, disabilitas, dan anak-anak Indonesia!
Inilah rompi perlindungan dari orang-orang problematik.”
Hmm, iya ya. Sekarang Minggu, sudah hari ketiga dari wafatnya.
Hmm, iya ya. Sekarang 2022. Sudah enam tahun lamanya.
Jadilah petang dan pagi,
para perempuan bersorak
pada putaran cerita sehari
pada layar linimasa.
Waktu luruh,
menghangat pada malam ini.
***
Catatan:
Kata “Vigili” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hari menjelang suatu hari raya. Vigili berasal dari kosakata Latin, “vigilia”, yang berarti berjaga-jaga dengan penuh kesadaran. Salah satu bentuk vigili adalah tuguran sepanjang malam menjelang Hari Raya Paskah umat Katolik.
Vigili bertujuan untuk pemulihan dan dilaksanakan secara bersama-sama atau komunal. Perayaan ini disebut “komunio pemulihan” yang didasari pada “warisan” perjamuan terakhir Yesus Kristus dan para muridnya yang diperingati menjadi hari raya Kamis Putih.
Sementara itu, dalam masa menjelang Paskah tahun ini, kita menerima kabar baik berupa disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang, Selasa (12/4/2022). Setelah enam tahun lamanya diajukan, perjalanan draf itu ditetapkan sebagai undang-undang itu sungguh membuat hati sebagian besar kaum perempuan berdebar. Berdebar, apakah akan disahkan, atau akan tinggal jadi berkas lapuk dan menguning di pojok lemari anggota dewan perwakilan rakyat.
Dinamika suasana dan emosi serupa itu tampak dalam momen terbukanya kubur Yesus yang diperingati sebagai Hari Raya Paskah. Berdebar, apakah jenazah Yesus dicuri—seperti dugaan para perempuan yang pertama kali melihat batu besar penutup kubur terguling? Setelah hati berdebar-debar, mereka merasa lega karena Yesus memang sudah bangkit, seperti diungkap oleh malaikat.
Urgensi Perempuan
Di sini, tampak sekali kedudukan dan peran perempuan yang vital dalam peristiwa kebangkitan Kristus sejalin dengan perjuangan menetapkan aturan hukum bagi untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Setelah berdebar-debar, kita semua pun bersorak dan bersyukur bahwa harapan baik perlindungan dari kekerasan seksual pun kian terang dan tak sia-sia.
Puisi “Vigili Paskah” itu dan keempat puisi lainnya saya ungkapkan dan anggit juga untuk mengenang momen-momen yang jatuh di bulan April. Selain Paskah, peringatan Hari Kartini juga penting “diperingati”. Ini masih bertalian dengan pengamatan saya atas keutamaan peran perempuan bagi kaumnya dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Perhatian itu berhulu pada kata kunci “anamnese” yang menjadi judul empat puisi berangkai.
Anamnese berarti kenangan. Dalam liturgi ekaristi atau ibadat Katolik, ada satu tatacara bagi umat Kristiani mengenangkan karya penebusan Yesus Kristus dalam sengsara, wafat, dan kebangkitannya. Hal itu diungkapkan dalam aklamasi pernyataan anamnesis atau anamnese. Melalui anamnese itu, peristiwa masa silam dihadirkan kembali sedemikan rupa dalam masa kini.
Puisi-puisi ini, saya rasa dan harapkan, dapat pula meresapi dan menggenapi refleksi kita semua akan peringatan-peringatan monumental tersebut.