Sudah tahun baru pula. Semalam aku tertidur di sebelah anakku, tak peduli bunyi petasan di luar, dan tak punya niatan melongok langit-langit sambil menghitung mundur waktu berlalu. Pemerintah seharusnya memberiku penghargaan warga teladan, sebab tak menyumbang sampah malam tahun baru di jalan-jalan.
Tahun baru tak mengejutkanku sama sekali. Hanya tanggal merah di hari Senin cukup bikin hatiku deg-degan, dan kenyataan bahwa lusa sudah masuk kerja lagi. Yang sejujurnya lebih mengagetkan seperti hujan deras di hari terik adalah datangnya berita perceraian dari sahabat karibku. Mendengar kabar itu bahkan istriku yang hanya mengenalnya dari cerita-ceritaku mendesah pelan.
“Sayang sekali.”
Mereka sudah menikah delapan tahun. Anak mereka baru mau masuk sekolah dasar. Aku mengenalnya sejak ia masih bayi merah dan menganggapnya keponakan sendiri. Kupikir mereka akan menikah hingga salah satunya mati, siapa sangka prediksiku meleset jauh. Keduanya bahkan masih segar bugar dan baru memasuki usia awal 30-an ketika memutuskan berpisah.
Delapan tahun bagiku usia pernikahan yang cukup lama. Namun, kalau kutanya ibuku, tentu ia bakal menganggapnya terlalu muda. Sebab aku ingat ia pernah berkata, “Kamu baru bisa merasa menikah lama kalau sudah berumah tangga 40 tahun.”
Setelah 40 tahun, kata ibu, kamu tak bergairah lagi bercinta, terbiasa merasa jenuh dengan pasanganmu, tapi selalu mencarinya saat ia pulang terlambat dari kemarin, dan mulai gelisah saat kamu tidur sendiri sambil menungguinya. Ketika terbangun malam-malam dan melihatnya pulas depan matamu, kamu akan mulai memeriksa napasnya dan memastikannya masih hidup, lalu kamu lanjut tidur lagi.
Menikah selama 40 tahun berarti melewati 40 malam tahun baru bersama. Aku mulai bisa membayangkan seberapa jauh perjalanan tadi kalau membayangkannya seperti itu. Rumah tanggaku saja baru lewat setahun. Bisakah aku merayakan tahun baru 39 tahun lagi bersama istriku? Kelak anakku pasti sudah menikah dan beranak. Semoga Palestina sudah merdeka, tapi aku ragu negaraku sudah punya pemenang Nobel saat itu. Sahabat karibku yang baru saja bercerai mungkin sudah punya istri baru, dan mantan istrinya yang juga temanku itu tak lagi menjanda.
Dulu istilah cerai yang kutahu hanya mampir dari televisi ke televisi, atau paling dekat dari mulut tetangga ke tetangga, dan semuanya tak berkesan. Bunyi kentongan mi ayam atau klakson gerobak es krim jauh lebih menarik perhatianku, karena dengan mendengarnya saja aku langsung berpikir “wah ada yang bisa dimakan” dan aku tahu itu “sesuatu yang enak dimakan”. Sedangkan cerai tak terdengar seperti kudapan lezat, atau pare kurang dimasak, atau teh pahit. Dulu ia hanya terasa hambar.
Namun, setelah menikah dan mendengar seseorang bercerai, apalagi ia pernah menahun tinggal bersamaku, berita itu jadi persis mengunyah mengkudu hingga jadi bubur sebelum menelannya pelan-pelan. Rasa memuakkannya tertinggal di mulut hingga beberapa hari. Aku benci sekali mengetahui rumah tangga bisa jadi remah-remah roti ditunggui sekompi semut yang siap melenyapkannya tak bersisa. Sementara dua orang yang dulunya saling sayang bisa jadi begitu asing.
Sebetulnya aku sempat berlagak pahlawan kesiangan yang ingin menyambung lagi ikatan sahabat karibku dengan istrinya. Dua bulan sebelum ia membawa persoalan itu ke meja sidang, aku datang ke rumahnya. Pagi-pagi sekali aku sampai. Sepagi tukang nasi uduk di pinggiran jalan belum kehabisan lauk. Dan sahabatku harus ditelpon empat kali baru bangun. Padahal ia yang suruh aku berangkat habis Subuh.
Ia hanya meringis memamerkan sederet giginya yang kecokelatan saat membukakan pintu. Kami duduk di teras, ibunya mengantar seteko teh panas dan setoples gula sambil menunjuk-nunjuk anaknya.
“Jomblo nih, jomblo.”
Aku bingung merespons bagaimana dan hanya terkekeh hehehe. Sebatang rokok habis dan kami masih sibuk sendiri-sendiri. Entah apa yang ia geser-geser di ponselnya. Aku juga ikut memencet-mencet layar ponsel, entah mau buka apa, hanya bolak-balik dari beranda, galeri, Instagram, WhatsApp, beranda lagi, galeri lagi.
Setelah beberapa menit jeda saling tunggu, akhirnya aku memecah keheningan.
“Bukannya bulan lalu masih bareng?”
Aku ingat karena kami pergi kondangan bersama. Saat itu bahkan mereka tampak baik-baik saja, sesekali istrinya bermanja-manja minta dibelikan jajan. Sahabat karibku bilang, waktu itu justru sedang panas-panasnya, dan tiap malam mereka bertengkar, dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar.
Sebagai sesama suami, aku bisa bilang ribut-ribut kecil dengan istri bukan hal asing. Kalau besar memang agak jarang dan harus lumayan hati-hati, tapi bertengkar hingga mantap berpisah adalah sesuatu yang belum pernah kualami dan sulit kucerna. Dari hasil nguping sana-sini cerita rumah tangga orang, hanya ada tiga alasan di belakangnya. Entah komunikasi berantakan; seks kurang memuaskan; atau ekonomi seret.
Sahabat karibku cukup mapan dan setahuku bukan penjudi, harusnya alasan ketiga bisa diabaikan.
“Lu main perempuan?”
Satu hal ini mesti kupastikan dulu. Ia menyanggah tanpa pikir panjang lalu menduga-duga kalau istrinya terperdaya media sosial sampai menuduhnya main serong sana-sini.
Kata orang, rumah tangga dengan banyak kepala membuatnya makin runyam. Maka ada wejangan kuno agar sepasang suami-istri tak tinggal satu atap dengan mertua. Sahabatku dan istrinya punya rumah sendiri, hanya ada dua kepala yang mesti berembuk. Namun, sahabatku bercerita itu saja belum cukup. Sebab hari ini, dalam segenggam ponsel semua kepala berkumpul jadi satu. Dan hati mudah goyah melihat imaji rumah tangga ideal dan pasangan sempurna ciptaan akun-akun anonim.
Menurut sahabat karibku, itu salah satu setan yang bertanggung jawab mengguna-guna istrinya hingga mencak-mencak tiap hari; menyalahkan apa saja atas kesalahan kecil; dan menunjuk-nunjuknya saat keadaan tak berjalan sesuai rencana.
Aku hanya mendengarnya tanpa interupsi. Teh di teko sudah dingin. Rokok kami hampir ludes. Dan sebelum pamit aku merasa sia-sia saja datang ke sana. Bagaimana mungkin aku membujuknya buat rujuk, sementara ia bilang tak bisa lagi membayangkan tidur berdua dengan istrinya? Bagiku itu bukan lagi kejenuhan yang bisa diobati.
Menjelang tahun berganti, sahabat karibku mengabari kalau sidang terakhirnya jatuh pada minggu pertama bulan Januari. Setelah melaju delapan tahun, kereta tumpangan sahabatku segera sampai stasiun tujuan dan ia sudah bersiap turun. Aku mendengar bunyi berdenyit roda dan rel beradu dari jauh.
Ibarat naik kereta, agaknya perjalanan rumah tangga sahabatku itu bisa kusimpulkan seperti ini: Sepertiga pertama penuh dengan lanskap pemandangan alam, sawah-sawah hijau siap dipanen dan sawah-sawah baru siap tanam memantulkan seisi langit; sepertiga berikutnya rumah-rumah reot di pinggiran rel saling berkelindan, baju-baju basah dijemur dengan tali rafia kusut antar tiang; dan sepertiga terakhir masuk ke terowongan gelap tanpa sinyal.
Aku membayangkan itu dalam kereta penuh sesak di jam malam. Orang-orang sibuk menyelamatkan diri seperti di Padang Mahsyar. Mereka saling desak sana-sini, berusaha mengisi ruang kosong, dan mengamankan tempat duduk masing-masing. Sekilas kulihat seorang wanita berdiri di lorong, begitu pun yang lain, tapi hanya ia seorang yang menarik perhatianku.
Ia masih muda, kutaksir umur 30-an awal, tampak bugar, kakinya tegap, seluruh anggota tubuhnya lengkap, dan ia bilang ke wanita di sebelahnya yang dapat tempat duduk, “zaman dulu, gak ada nih laki-laki duduk.”
Matanya menyisir ke seorang pemuda yang mulutnya menganga di kursinya dan beberapa pria lain yang berderet duduk di gerbong ini.
“Kalau ada perempuan berdiri, pasti langsung dikasih duduk,” lanjut wanita itu.
Aku menengok wajahnya, kami sama-sama berdiri, tapi ia tak menyadari aku memerhatikannya. Suaranya keras, menurut perhitunganku cukup keras hingga bisa disimak bapak-bapak yang duduk di dekat pintu seberang. Wanita itu masih menggerutu. Wajahnya masih terlihat muda di mataku, tapi mengapa saat ia bilang “zaman dulu” rasanya seperti masa yang jauh di belakang?
Mendengarnya berkomentar seperti itu, sepanjang perjalanan pulang hingga stasiun akhir aku bertanya-tanya sendiri apa kesimpulan yang ingin ia tarik dari monolognya tadi? Apakah pria di masa lalu lebih pengertian; wanita masa kini lebih butuh dimengerti; atau perjuangan kelas dan kesetaraan gender mulai membuahkan hasil?
Setibanya di rumah, aku sepenuhnya lupa dengan wanita tadi, yang kuingat istriku sudah lelap dengan bajunya yang berantakan habis menyusui. Anakku juga pulas memegangi payudara ibunya dan melingkarkan kaki mungilnya di paha istriku. Helai-helai rambut berserak di lantai, di kasur. Sejak melahirkan, rambut istriku banyak rontok seperti daun pohon jati di musim kemarau.
Aku ingin segera memeluknya dan anakku, tapi sebadan-badanku masih bau jalan, dan napasku terasa busuk sekali. Jam tanganku menunjuk angka 10:46. Sekitar delapan jam ke depan aku mesti berangkat kerja lagi. Mungkin hanya 1-2 jam jatahku bercengkerama dengan istri dan anakku dalam keadaan sadar.
Ada beberapa hal yang kusadari setelah menikah dan punya anak, bahwa akhir pekan harusnya tiga hari, sehari harusnya 25 jam, dan satu jam bersama keluarga tak pernah cukup.
Hari ini, sebelum pulang kerja, aku sempat bertemu dengan mantan istri sahabatku. Anaknya mengekor di belakang. Keponakanku itu segera memeluk kakiku begitu kami berjumpa.
“Selalu begini setiap ketemu laki-laki,” kata sang ibu.
Ia lalu bercerita bagaimana mantan suaminya selalu pulang larut, menghabiskan akhir pekan dengan mendengkur berjam-jam, mengisi acara sana-sini, dan seminggu sekali pergi ke luar kota.
“Rumah bukan lagi rumah,” katanya. Ia menangis dan aku tertegun. Versi cerita yang ini jelas berbeda jauh dengan versi sahabatku. Versi yang ini jauh lebih mirip dengan rumahku. Setelah menyimak ceritanya, aku makin menyangsikan kehidupanku. 40 tahun jadi terasa begitu jauh. Dan kudengar bunyi berdenyit roda dan rel beradu semakin dekat. Aku pernah membaca seorang penyair berkata, hidup hanya menunda kekalahan. Lalu apa yang ditunda dari sebuah pernikahan?
*****
Editor: Moch Aldy MA