Saat mengunjungi Curug Watu Kelam di Alas Pati, tetiba muncul keterikatan yang kuat di hati Wira pada tempat tersebut. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk pindah ke Alas Pati. Warisan peninggalan ayahnya membuat ia tak perlu risau memikirkan cara menopang hidup. Meski terkesan terburu-buru, tetapi entah mengapa tak ada satu pun ruang ragu pada hatinya.
Wira mengontrak di salah satu rumah warga yang sudah tak diisi sepanjang tahun. Penyambutan warga terhadap kepindahan Wira sangat baik karena jarang sekali ada orang baru yang ingin tinggal menetap di Alas Pati. Wira dibuatkan pesta sambutan yang mewah. Dukuh setempat tak merasa kerepotan untuk menyembelih dua kambing ternaknya untuk pesta tersebut. Respons warga membuat Wira semakin yakin bahwa ia sejatinya dilahirkan untuk Alas Pati.
Pesta diadakan sepanjang malam, lengkap dengan minuman keras, musik, serta tarian yang meriah. Di tengah pesta, Wira ditarik oleh Sukarto dan Darmadi. Usia mereka sekitar 26 tahun, sama dengan Wira. Tubuh keduanya sama tinggi, sama kurus, sama-sama memiliki kulit legam, gigi kuning, dan rambut gondrong tak dikuncir. Satu-satunya yang membedakan mereka adalah mata. Sukarto memiliki mata yang bersih, sedang mata Darmadi kuning. Semacam mengidap penyakit hati, pikir Wira.
Wira diajak cukup jauh dari keriuhan pesta dan didudukkan di sebuah pos ronda. Sukarto dan Darmadi saling tunjuk untuk membuka pembicaraan. Wira bersabar menunggu sambil terheran-heran.
“Begini, kami mewakili warga ingin menyampaikan sesuatu,” buka Darmadi akhirnya.
“Iya, betul. Agar kau tak kaget!” timpal Sukarto.
Wira tak berkata apa-apa, tapi matanya menuntut penjelasan pada mereka berdua.
“Di Alas Pati ini, ada seseorang bernama Joko Panguripan. Sebelumnya ia sama seperti warga lain, hanya manusia biasa. Hingga suatu saat rumahnya terbakar. Kebakaran tersebut terjadi malam hari sekira dua tahun lalu. Sampai saat ini tidak diketahui apa penyebab kebakarannya, yang jelas api tersebut besar bukan main dan merambat begitu cepatnya, melahap semua isi di rumah Joko Panguripan. Termasuk dirinya, ayah, dan kakeknya,” kata Darmadi mulai menjelaskan.
Wira dan Sukarto mengangguk-angguk. Darmadi tampak kesal pada Sukarto yang alih-alih membantunya, malah turut jadi pendengar.
“Semua warga bergotong-royong untuk memadamkan api. Namun api tetap saja berkobar. Seolah orang sedang makan, api tersebut baru padam dengan sendirinya setelah rumah Joko Panguripan habis tak bersisa. Nah, di sini cerita anehnya. Di saat semuanya hangus, tubuh Joko Panguripan justru utuh sama sekali. Tak ada luka bakar apa pun, bahkan tak sedikit pun dari pakaian yang digunakannya terbakar. Lanjutkan, Karto!” Darmadi sedikit mencubit lengan Sukarto.
Sukarto terkaget. Ia tak siap sama sekali. Darmadi kembali mencubitnya, kali ini lebih keras. Sukarto tampak kesakitan dan kesal.
“Hhhh, baiklah! Waktu itu, saya kebetulan ada di lokasi kebakaran tersebut. Saya menemukan tubuh ayah dan kakek Joko Panguripan sudah semacam keripik kentang gosong. Lalu saya juga menemukan tubuh Joko yang utuh. Saya kira ia sudah tak bernyawa, ternyata Joko Panguripan sedang tidur. Saya pula yang membangunkan Joko. Ia kaget karena rumahnya berubah jadi seperti pantat panci. Ia begitu terpukul dan sempat tak percaya saat melihat jasad ayah dan kakeknya. Berdasarkan keterangan Joko Panguripan, ia sudah tertidur sejak sore karena kelelahan bekerja. Ia sama sekali tak sadar ada kebakaran saking nyenyaknya ia tidur,” papar Sukarto.
“Terus sekarang di mana Joko Panguripan? Apakah dia ada di tempat pesta? Aku belum mengenal semua orang di sini,” tanya Wira sambil belum mengerti apa hubungan kisah Joko Panguripan dan kehadiran dirinya di Alas Pati.
“Nah!” seru Darmadi dan Sukarto berbarengan. Mereka sebetulnya bukan kembar, hanya teman sepermainan. Karena mereka sudah begitu lengket sejak bayi, mereka jadi seperti saudara kembar.
“Semua orang heran mengapa Joko Panguripan tidak terbakar satu senti pun. Semua orang menganggap bahwa Joko menganut ilmu hitam, sehingga sejak kejadian itu Joko mulai dijauhi. Mereka khawatir akan berakhir seperti ayah dan kakeknya jika terlalu dekat dengan Joko,” kata Darmadi.
Wira mengangguk-angguk dengan tangan di dagunya.
“Joko menjelaskan pada saya bahwa ia sama sekali tak menganut ilmu hitam. Ia sendiri terheran-heran mengapa dirinya tak terbakar. Suatu siang, ia mengajak saya diam-diam ke dalam sebuah gudang. Mengejutkannya, ia meminta saya untuk membakar tubuhnya. Saya menolaknya, tetapi Joko tetap memaksa, ia bahkan mengancam saya dengan sebilah golok. Akhirnya, saya mandikan Joko dengan bensin lalu membakar tubuhnya. Api menyala begitu membara, saya menjauh karena panasnya menyengat di kulit saya. Namun Joko tidak terbakar, api itu hanya menyelimuti permukaan tubuhnya. Saya dan Joko sama-sama keheranan. Kami bersabar menunggu hingga api padam. Kami memeriksa tubuhnya dengan saksama, dan semuanya utuh. Sehelai rambut pun tak ada yang mengkerut,” kata Sukarto.
Sukarto memang tidak begitu yakin bahwa Joko Panguripan menganut ilmu hitam, sehingga ia tak takut jika berdekatan dengan Joko. Banyak yang mewanti-wanti Sukarto, termasuk Darmadi. Namun Sukarto tak peduli. Di kedalaman hatinya, ia justru merasa iba pada Joko Panguripan.
“Setelah yakin tak ada yang terbakar dari tubuhnya, Joko Panguripan terjongkok sambil menjambaki rambutnya. Ia sangat bersedih dan kelimpungan. Saya berusaha menenangkannya, tetapi ia malah menangis. Ia lalu mengambil sebilah golok yang sebelumnya ia pakai untuk mengancam saya, lalu ia tebaskan sendiri pada lehernya. Ajaibnya, lehernya tak terluka sama sekali. Saya dan Joko Panguripan saling bertatap keheranan. Ia lalu membacokkan golok tersebut ke kayu untuk memastikan ketajamannya, dan golok tersebut tidak tumpul sama sekali. Kayu tersebut terbelah. Ia lalu mencoba golok tersebut lagi pada tubuhnya. Semua bagian tubuhnya ia coba bacoki. Tangan, kaki, leher, kepala, dan tak ada yang terluka. Sejak saat itu saya yakin Joko Panguripan dianugerahi kekebalan. Ia tidak bisa mati!” jelas Sukarto lagi.
Wira mulai kengerian mendengar cerita tentang Joko Panguripan ini, ia mengusapi tubuhnya yang merinding.
“Joko Panguripan justru tidak menginginkan kekuatan tersebut. Ia jadi menginginkan kematian melebihi apa pun. Setiap hari, ada saja yang dicobanya untuk mati. Ia pun sering meminta warga untuk membunuhnya, ia bahkan memohon-mohon sambil menangis. Warga yang sebelumnya takut menjadi kasihan pada Joko. Akhirnya warga pun turut membantu Joko. Ia pernah diikat kaki dan tangannya lalu ditarik oleh sapi pembajak ke arah yang berlawanan. Namun alih-alih tubuhnya yang terpisah, leher kedua sapi lah yang patah. Ia pun pernah dilindas truk, menabrakkan diri ke kereta, meledakkan diri dengan segudang petasan, dan masih banyak lagi. Namun, tubuhnya tetap utuh, tergores pun tidak. Joko Panguripan juga tidak makan dan minum, ia harap dirinya akan mati kelaparan, tetapi tubuhnya tetap sehat,” sambung Darmadi.
“Lalu apa hubungannya cerita ini dengan kepindahanku ke sini?” tanya Wira mulai tidak tahan dengan cerita ngeri mengenai Joko.
“Hingga saat ini, Joko Panguripan masih terus berupaya mati. Obsesinya hanya kematian, tidak ada yang lain. Ia juga sering pergi ke luar Alas Pati untuk mencari mati, tetapi selalu gagal. Maksud kami menceritakan ini supaya kamu tidak kaget jika suatu waktu Joko Panguripan datang ke rumahmu dan memintamu untuk membunuhnya. Pilihannya ada padamu, jika ingin membantunya maka cobalah bunuh Joko Panguripan. Jika tidak pun tak apa, ia tak akan memaksamu,” jelas Darmadi.
Wira mengangguk-angguk paham, “Terima kasih penjelasannya, aku sebetulnya masih ngeri dengan cerita ini, aku akan mencoba untuk terbiasa.”
Ketiganya kemudian kembali ke pesta, tetapi perasaan Wira menjadi tak sama. Ia kembali mempertanyakan pada dirinya apakah ia betul-betul terlahir untuk Alas Pati.
Selesai pesta hingga seminggu kemudian, Wira dihantui mimpi-mimpi aneh tentang Joko Panguripan. Joko mewujud dalam ragam bentuk di mimpinya. Ia selalu terbangun dengan jantung yang berdebar-debar serta tubuh penuh keringat.
Suatu siang, pintu rumah Wira diketuk. Ia kira Darmadi dan Sukarto mengingat mereka punya janji untuk menangkap ikan di Kali. Namun setelah dibuka, sosok di balik pintu tersebut justru orang yang belum pernah ia temui sama sekali.
Orang tersebut memiliki tubuh besar dengan kulit legam. Jenggotnya lebat tak terurus, kumis dan rambut panjangnya sebagian besar telah beruban. Tatapan matanya tegas dan tajam, tak ada sedikit pun keraguan di sana. Di genggamannya, ia memegang sebilah katana. Kilaunya sangat menakutkan Wira.
Wira bertanya siapa dan apa tujuan orang tersebut mengetuk pintu rumahnya.
“Perkenalkan, saya Joko Panguripan,” kata orang tersebut.
Mendengar itu, tenggorokan Wira tercekat, tubuhnya gemetar, dan ia sangat ketakutan.
“Bisakah kamu membunuh saya? Saya bawa katana ini, sudah saya asah sebaik mungkin, ketajamannya tak diragukan,” sambung Joko Panguripan sambil menyodorkan katana di genggamannya.
Mendengar itu, Wira mundur satu langkah. Ia meremas daun pintu begitu kencang.
“Saya yakin kamu sudah mendengar kisah tentang saya, sehingga saya tak perlu repot menjelaskan. Cukup tebaskan saja katana ini ke leher saya dengan segenap kekuatan yang kamu punya. Saya mohon!” serunya lagi seraya menyodorkan katana.
Wira kembali mundur satu langkah. Melihat reaksi Wira, air muka Joko Panguripan berubah. Ia terlihat sangat sedih dan putus asa.
Wira adalah sosok yang mudah terenyuh. Ia langsung dilingkupi rasa iba terhadap Joko Panguripan. Dengan masih menyimpan keraguan, ia maju lalu menerima katana dari Joko Panguripan. Joko sumringah seketika.
“Beri saya waktu,” kata Wira. Joko mengangguk dengan mata berbinar. Ia begitu sabar menunggu Wira membiasakan diri dengan katana tersebut. Wira latihan mengayun terlebih dahulu dengan menebaskannya pada angin.
Beberapa saat kemudian, Wira akhirnya siap, “Baiklah! Maaf jika nanti aku mengecewakanmu,” katanya seraya mengembuskan nafas panjang.
Wira mengerahkan segenap tenaga yang ia miliki lalu mengayunkan katana itu pada leher Joko Panguripan yang siap sedia dan bersila di hadapannya.
Kepala Joko Panguripan terlempar cukup jauh, ia terpisah dari tubuhnya. Darah memancur deras keluar dari batang leher Joko Panguripan.
Wira hampir berteriak melihat pemandangan tersebut. Ia menghampiri kepala Joko Panguripan. Mata Joko menangis, derainya mengalir untuk beberapa saat, sedang senyum merekah di bibirnya.
*****
Editor: Moch Aldy MA