Menunggu Kedatangan dan Puisi Lainnya

RIDO CAROKO

1 min read

Menunggu Kedatangan

Tak lama lagi ada yang memiuh dada seperti ular merangkak naik mencari ranting paling hijau; mendesir jantung api dalam tubuh tandus. Dan daun-daun jatuh melolong bagai kelelawar melewati malam panjang.

Masa depan adalah masa lalu setelah kematian
membikin rumah di kepala seperti rimbun
kecambah dalam pot kecil. Lembah dan sempit.

Dan ada yang membisik tenang
Ada yang dingin ngilu
Ada yang putus membikin kaku

Seperti
Diri
Dalam
Nisan
Berdebu
; menanggal segala urusan

(Ambacang, 2024)

Bermain Piring 

Lambungku pecah, ibu
Seperti piring kaca yang kau
Lemparkan waktu bertengkar sama ayah

Setiap malam dari sela-sela pintu kamar
Terlihat olehku, ibu melipat baju tergesa-gesa
Dan memasukannya dalam koper besar.
Sedang ayah hanya berdiri membujuk istrinya
untuk jangan keluar seperti tunggul lapuk belakang rumah

Tapi kali ini berbeda
Ibu lagi tidak bermain baju
Sekarang ia bermain dengan piring

Baju dan piring mainan ibu
Nantinya mau ibu bermain dengan aku?

(Ambacang, 2024)

Yang Terlupakan

Telah sampai kabar pada kisut dada ini
Semula lurus kaki berdiri
Tiba tubuh jadi gemeretak amuk
Seperti ombak pasang membentur tulang

Aku rasai segala buruk jadi beranak
Membelit tak tampak dalam diri
Dan kemudian melumat habis badan
Menyisakan kemungkinan

Maka dari hulu lambung
Sampai pucuk rambut terurai
Di mana jalan yang akan sampai?

(Ambacang, 2024)

Galeri

Tidak ada lagi orang-orang menunjuk kagum pada gambar abstrak yang sering kita debatkan maknanya; menggantung dan tak mengerti. Maka katakanlah, berucaplah. Tinggalkan sembab dan biru. Aku tahu bahwa kau senasib dari aku.

Dan masih saja lukisanmu yang aku sukai. Lukisan tubuh menanggalkan cinta pada cium seolah memomong rindu dan memeluk gambar lain di sana.

Tetapi agaknya suaramu kian lirih; membisik keruh pada jantung warna. Aku lihat kau berlarian, memukul-mukul dan jatuh dalam ruang gelap.

Maka,
pulang
             Pulang
                          Pulanglah

(Ambacang, 2024)

Matinya Penyair Muda

Ketika malam menawarkan tidur pada
Ranjang-ranjang malang, kau
Memilih candu dengan laptop kawan “Lihat, bung.
Ini bukan mimpi buruk kemarin
Malam dan bukan lagi tangis esok akan datang!”

Nampak kau menggelengkan kepala
Dan tidak henti-henti menekan tombol
Memiringkan badan ke kiri-kanan
Seperti tenggelam memeluk layar

Sisa-sisa kantuk mulai menguar
Membumbung tinggi ke langit-langit
Membentuk mata merah; mengumbar kerahasiaan

Terus saja kau terus menjadi
Dan bersikeras bahwa ini patut
Diselesaikan sebab pantang bujang
Pulang menghidu kekalahan

(Ambacang, 2024)

*****

Editor: Moch Aldy MA

RIDO CAROKO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email