Ardian terpekur di sepanjang prosesi pemakaman Dinda. Matanya nanar memandang gundukan tanah yang bertabur bunga-bunga kematian. Sudah lima puluh satu menit sejak orang-orang meninggalkan kuburan perempuan yang dikenalnya selama dua ribu delapan ratus dua puluh dua hari itu. Tak ada air mata. Yang ada hanya sesal.
Enam ratus tujuh puluh hari sebelum pemakaman, Dinda menemui Ardian di Svarga Cafe. Dinda meminta Ardian membantunya untuk menyelesaikan gambar animasi.
“Jika tidak membutuhkan duit, aku tak mau mengambil pekerjaan ini.”
Ardian hanya terdiam. Mereka berada pada situasi yang sama-sama terlilit hingga semua serasa sulit. Yang paling pahit dari situasi dalam hubungan mereka ialah duit. Mereka hanya bisa menjalin hubungan sampai batas persahabatan meskipun cinta mereka tanpa batas.
Suatu waktu. Lima ratus dua puluh satu hari sebelum pemakaman Dinda.
“Aku mencintaimu, namun aku tak bisa menjalin hubungan denganmu.”
Ardian mengungkapkan rasa yang telah dipendamnya selama seribu tiga ratus empat puluh lima hari.
“Mengapa?”
“Aku dan kamu terlalu miskin.”
“Konyol!”
“Bagimu konyol. Bagiku tidak. Di dunia seperti saat ini, hidup tanpa duit, semuanya terasa sulit.”
“Cinta tak butuh duit.”
“Cinta memang tidak butuh duit tapi hidup butuh duit. Kita tidak bisa hidup dengan cinta saja. Untuk menjalin cinta saja perlu duit. Aku ditolak oleh banyak perempuan pun karena duit. Wajahku tak cukup untuk membuat mereka bertahan denganku.”
“Aku tidak membutuhkan itu. Aku tidak seperti mereka.”
“Pada awalnya, nanti kamu pun akan menjadi seperti mereka.”
Keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sejak ungkapan cinta itu, hubungan mereka sedikit berubah. Perhatian diberikan lebih dari biasanya. Tiada kata-kata cinta tetapi saling manja. Pertemuan demi pertemuan menjadi kewajiban. Hingga pada suatu sore.
“Din, seseorang mengajakku menikah.”
“Lalu?”
“Dia akan menjamin seluruh hidup keluargaku. Aku juga akan menjadi manajer salah satu perusahaan keluarganya. Dia juga menjamin akan memperlakukanku sebagaimana lelaki yang memiliki harga diri. Tidak akan memperlakukanku seperti halnya perempuan-perempuan yang telah menjalin hubungan denganku sebelumnya.”
“Kamu memercayainya?”
“Iya, aku percaya padanya. Ada perjanjian pranikah yang akan kami tanda tangani.”
“Selamat. Semoga kalian bahagia.”
“Hanya itu? Kamu tidak memberiku saran atau apa?”
“Konyol!”
“Kamu selalu saja seperti itu.”
“Lalu, aku harus bagaimana?”
“Kamu bisa memberi masukan, bahkan melarangku pun kamu boleh melakukannya.”
“Apa hakku melarangmu? Atas dasar apa? Antara kamu dan aku kan hanya teman saja.”
“Nah, sebagai teman ya setidaknya memberi kata-kata yang mungkin bisa aku pertimbangkan.”
“Ucapan selamat dan doa tidak cukup?”
“Itu terlalu klise.”
“Konyol!”
“Aku benar-benar tak menyukai kata itu keluar dari mulutmu.”
“Apa hakmu melarangku mengeluarkan kata itu? Bahkan kita tak memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Jadi, kamu tak punya hak untuk membenciku saat mengatakan kata itu!”
Seketika suasana membeku. Aglonema berwarna pink seolah memucat saat mendengar percakapan dua insan itu.
Dua belas hari lamanya Dinda menghilang. Tak berkabar apa pun pada Ardian. Kerinduan mulai menyusup relung hati keduanya, tetapi penyangkalan pada rasa itu mencegah jari-jemari mengetikkan kalimat ajakan pertemuan. Dua belas hari pun bertambah menjadi dua puluh satu hari. Tak ada yang mau mengalah karena cinta mereka itu serupa kuncup bunga yang gagal mekar karena tertiup badai. Tangkai terlepas dari ranting. Berhamburanlah setiap kelopak yang seharusnya menjadi ikatan cinta kokoh yang menjadikannya buah.
Akhirnya, Ardian memiliki satu alasan untuk bertemu dengan Dinda.
Ketika senja mulai menampakkan semburatnya, Ardian mengajak Dinda bertemu. Mereka bertemu di kafe kecil bernuansa natural, Svarga Cafe. Ada banyak tanaman hias di sana. Kafe tempat mereka biasa memadu kisah. Pahitnya kisah kehidupan yang tak semua orang alami dan rasakan.
“Din, maukah kamu jadi pacarku?”
“Bagaimana dengan perempuan yang bersedia menjamin hidupmu itu? Apa kamu tidak bersedia menikahinya?”
“Aku akan menikahinya tapi sebelum itu, aku ingin berpacaran denganmu dulu.”
“Ardian, ini lebih dari sekedar konyol. Apa kamu tak waras?!”
“Aku masih waras. Justru karena kewarasanku ini, aku mengajakmu untuk berpacaran sebelum menikahinya. Dia juga tidak mempermasalahkan hal itu.”
“Kalian berdua memang benar-benar cocok. Dibandingkan berpacaran denganku, lebih baik kamu langsung menikah saja dengannya.”
“Aku sangat mencintaimu, Dinda. Karenanya aku ingin berpacaran serius denganmu.”
“Setelah kita berpacaran, lalu kamu mencampakkanku dan memilih perempuan itu?”
“Aku tidak mencampakkanmu. Kita nanti akan mengakhirinya dengan indah.”
Dinda berdiri sambil menghirup oksigen dalam-dalam kemudian menghembuskannya; “Huft!”
“Ardian, sulit sekali memahami cara berpikirmu. Kamu jahat sekali.”
“Tidak sulit, pun aku tidak jahat, Dinda. Kamu dan aku saling mencintai, hanya saja kita tidak bisa melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan karena kondisi ekonomi. Aku tak mau hidup konyol seperti yang selama ini sering kamu katakan. Aku ingin realistis dengan menikahi perempuan kaya yang tidak meremehkan aku. Kamu pun bisa melakukan hal yang sama sepertiku. Hanya saja, aku sangat mencintaimu, sehingga ingin berpacaran terlebih dahulu sebelum menikahinya. Sesederhana itu.”
“Ough! Ternyata cintamu semenjengkelkan ini.”
“Tapi kamu tetap mencintaiku kan?”
Dinda menatap Ardian lekat-lekat, kemudian duduk dan menelungkupkan wajah sembari menahan amarah. Ardian mengelus-elus kepala Dinda dan segera perempuan itu memalingkan wajah ke arah lelaki beraroma wangi Dandelion, kemudian berkata, “Baiklah, mari kita pacaran.”
Sejak itu, mereka tak hanya memadu kisah, juga memadu peluh dalam setubuh. Sekarang, cinta mereka menjadi utuh. Tak sekedar mengaduh karena pilu, mereka pun mengaduh karena cumbu. Berpuluh cumbu dan rayu tercipta seolah mereka tak akan pernah mengakhirinya. Suatu malam, setelah dua tubuh mereka beradu peluh.
“Din, kamu ingin mengakhiri hubungan kita seperti apa?”
“Apa kamu benar-benar ingin mengakhirinya?”
“Harus. Aku sudah menandatangani perjanjian pranikah dengan perempuan itu.”
“Kamu akan menikahinya dalam waktu dekat ini?”
“Belum. Masih ada yang harus dipersiapkan sebelum pernikahan kami dilangsungkan.”
“Kalian sudah menetapkan tanggal?”
“Sudah. Nanti aku akan memberitahumu. Sebelum itu, aku ingin mengakhiri hubungan kita dengan indah seperti yang aku janjikan. Namun, aku menginginkan perpisahan itu kamu yang merancangnya.”
“Kamu yakin aku yang merancang perpisahan itu?”
“Iya, supaya perpisahan itu tidak menyakitimu.”
“Aku akan memikirkannya.”
“Aku menunggunya.”
Dua tubuh kembali berpeluh dalam setubuh di seratus sembilan puluh tujuh hari mereka beradu bahu.
Setelah malam itu, Ardian disibukkan dengan persiapan pernikahan, sehingga tiada pertemuan dengan Dinda seperti malam-malam sebelumnya. Dinda mengetahui itu. Dinda juga sibuk dengan pekerjaannya demi mencari penghidupan yang lebih baik. Bayang-bayang tentang perpisahan yang indah mulai disusunnya. Perpisahan bernuansa romantis, nuansa natural, atau seperti apa? Bagaimana perpisahan itu menjadi indah dan tidak menyakitkan? Bukankah tidak ada perpisahan yang seperti itu? Dinda memikirkan itu selama Ardian tidak menemani malam-malamnya yang kian sepi.
Saat pertemuan dua ruas waktu berlalu, Dinda menghubungi Ardian yang masih saja disibukkan oleh persiapan pernikahan. Dinda sungguh tak ingin menganggu Ardian dengan kesibukannya. Namun, situasi yang tak pernah dibayangkan olehnya membuat dia ingin sekali berbagi cerita dengan Ardian. Dia merasa hanya dengan Ardian, cerita itu bisa diungkapkan, sehingga perasaannya menjadi lega. Kata-kata tak biasa pun diucapkan Dinda karena khawatir mengganggu Ardian.
“Bolehkah aku meminjam waktumu sebentar untuk sekedar bercerita? Saat ini, aku membutuhkan teman bercerita. Itu saja.”
“Boleh, berceritalah.”
“Tapi terasa berat sekali.”
“Berceritalah saat sudah siap.”
“Bukan perkara siap tidak siap. Ini menyesakkan.”
“Kalau begitu, nonton film atau nongkrong saja.”
“Kalau bisa, sudah aku lakukan.”
“Ya sudah, tidur dan ceritakan saja besok kalau sudah siap.”
“Mudah sekali kamu mengatakannya. Kamu akan menyesalinya. Baiklah, aku akan tidur untuk selamanya.”
Percapakapan pun berakhir dan Ardian kembali pada kesibukannya. Persiapan pernikahan memang telah mengabaikan Dinda dan janji perpisahan indah itu. Ardian baru mengingat percakapan itu setengah hari setelahnya. Ardian menghubungi Dinda, tetapi tiada jawaban. Berulang kali, tiada suara lembut perempuan itu. Ardian mulai resah. Sahabat-sahabat Dinda mulai dihubungi dan nihil. Akhirnya, Ardian menghubungi kakak Dinda dan memperoleh kabar, “Ardian, datanglah ke rumah. Kami menunggumu.”
Rumah Dinda sudah dipenuhi kerumunan manusia. Di saat hampir bersamaan, sahabat-sahabat Dinda pun tiba di rumah itu. Lantunan ayat-ayat keluar dari mulut orang-orang yang berkerumun di tubuh yang terbujur kaku. Tubuh Dinda. Ardian pun tersungkur. Badannya melemas tanpa ragu. Hatinya seketika membeku dan tatapannya pun terpaku pada tubuh perempuan yang sangat dicintainya itu. Tiada air mata.
Saat pemakaman usai dan tersisa Ardian bersama keluarga Dinda, seorang perempuan separuh baya mendekatinya. Perempuan itu memberinya sebuah amplop tanpa satu kata pun keluar dari bibirnya, kemudian berlalu bersama keluarga Dinda lainnya. Kini Ardian terpekur sendiri di depan gundukan makam Dinda. Ardian membuka amplop yang berisi gambar dan secarik kertas bertuliskan:
“Papa, mama dan adek di dalam perut menginginkan perpisahan yang indah ini. Jangan terlalu lama bersedih dan lanjutkan hidup sesuai rencana. Jangan pernah berbuat konyol lagi dengan perempuan lain karena ada kalanya cinta memang tidak memerlukan apa-apa selain ketulusan.”
Seketika pecahlah keheningan pemakaman oleh suara teriakan Ardian dan derai-derai air mata pun mengalir tanpa henti dari kelopak matanya.
*****
Editor: Moch Aldy MA