KATA-KATA
Di tengah kota yang pecah diterjang badai,
ada seorang penyair yang mencari serpihan bahasa
yang pecah diterbangkan angin.
Dengan pena di tangan dan buku di balik baju,
ia berjalan-jalan, mencari kata-kata.
“Ah, kota ini sungguh penuh dengan paradoks,”
kata penyair itu, dengan senyum yang ironis,
“Di mana pencuri berjalan dengan topi polisi,
dan politikus berbicara tentang kejujuran.”
Ia melihat seorang pedagang kaki lima,
yang menjual mimpi dalam bentuk roti bakar,
“Mimpi manis, mimpi manis,” teriak pedagang itu,
penyair tersenyum, “Mimpi manis, tapi kenyataan pahit.”
Di sudut lain, ada seorang pekerja kantoran,
yang berlari-lari sambil memegang briefcase,
“Waktu adalah uang,” katanya dengan wajah tegang.
Penyair menggumam, “Tapi uang bukan waktu.”
Ia terus berjalan, melihat-lihat kehidupan,
mengamati orang-orang yang berlalu-lalang,
dengan kata-kata ringan dan refleksi dalam,
ia mencoba mengungkapkan kehidupan yang sebenarnya.
“Kita semua adalah pemain di panggung besar,
mengulang peran yang sama, tapi dengan skrip yang berbeda.
Kadang kita tertawa, kadang kita menangis,
tapi pada akhirnya, kita semua tak pernah pergi dari hal yang itu-itu saja.”
Penyair itu terdiam, ia menemukan bahasa sedang mengasuh kata-kata.
“Tenanglah kata-kata, penyair telah menemukan kita.”
–
CERITA-CERITA
Di tengah keramaian yang tak pernah henti,
ada seorang pengembara dengan mimpi dalam saku,
menyusuri trotoar yang penuh jejak langkah,
mencari cerita yang terlewatkan oleh waktu.
“Ah, kota ini bagai lukisan yang rusak,”
bisik pengembara, tatapnya tajam pada lorong,
di mana penjual es krim berteriak ceria,
sementara anak-anak berlarian mengejar bayangan.
Ia melihat seorang wanita dengan keranjang,
menawarkan harapan dalam bentuk bunga,
“Bunga segar, bunga segar,” ucapnya lembut,
pengembara mengangguk, “Tapi harapan sering layu.”
Di sudut lain, seorang pria tua bercerita,
tentang masa lalu yang penuh tawa dan luka,
“Waktu adalah kenangan,” katanya dengan mata berbinar.
Pengembara merenung, “Tapi kenangan tak dapat kembali.”
Ia terus melangkah, mengamati kehidupan,
dengan hati terbuka dan jiwa yang haus,
mencatat setiap detil dalam lembaran pikiran,
mencari arti di balik setiap pertemuan.
“Kita semua penari di panggung cahaya,
menggerakkan tubuh dalam alunan lagu,
kadang kita terjatuh, kadang kita terbang,
tapi akhirnya, kita akan kembali ke langkah yang sama.”
Pengembara itu terdiam, menemukan suara dalam sunyi.
“Tenanglah, cerita-cerita ini telah menemukan kita.”
–
CITA-CITA
Dalam sebuah pelajaran menulis,
guru Bahasa Indonesia memintamu menulis cita-cita.
Kau bertanya, “Guru, apa itu cita-cita?”
“Cita-cita adalah layang-layang yang kerap kauterbangkan
setiap senja, lalu kaupanjat layang-layangmu itu
agar sampai tanganmu meraih senja
dan membawa senja pulang menemui ibumu,” kata gurumu.
“Lalu apa yang akan kulakukan dengan senja, Guru?”
“Kau akan mengajak ibumu di sana,
di usianya yang senja menikmati cita-citamu.”
Terinspirasi oleh gurumu,
lalu kau menulis cita-cita.
“Cita-citaku ingin menjadi kursi empuk yang nyaman
agar betah berlama-lama Ibu di pangkuanku.”
Lalu temanmu yang lain menulis,
“Aku ingin menjadi jalan lurus yang tak panjang
agar dapat sampai Ibu ke surga melaluiku.”
“Menjadi tangan lembut yang menyisir rambut Ibu
sebab Ibuku gemar bersisir,” kata temanmu yang lain.
Guru Bahasa Indonesia terharu,
lalu menggandeng tangan murid-muridnya menjemput cita-cita.
–
CURHAT-CURHAT
Seorang wartawan dari sebuah surat kabar
mendatangi Tuhan di rumahnya
untuk sebuah wawancara.
Sebab rumahnya telah lama sepi,
Tuhan jadi hepi
menyambut wartawan.
Begitu sampai di rumah Tuhan,
wartawan itu berdecak keheranan,
ternyata rumah Tuhan suwung.
Terlemparkan dari mulut wartawan
sebuah pertanyaan,
“Mengapa rumahmu suwung, Tuhan,
ke mana hamba-hambamu?”
Dari arah dalam, Tuhan sersabda,
“Hambaku sudah lama pergi meninggalkanku.”
Sesi wawancara tak jadi diadakan,
berubah jadi sesi curhat antara Tuhan dan wartawan.
****