Menukar Kesedihan di Kota Kami

Jasman Simanjuntak

5 min read

Hampir sepanjang lima bulan terakhir, silih berganti orang ramai berkunjung ke kota kami. Tentu tidak disalahkan bahwa mereka datang hanya untuk mempertukarkan kesedihan, sebab di kota kami, entah bagaimana mulanya dan betapa ajaib caranya, kesedihan yang satu bisa ditukar dengan lain kesedihan.

Petang itu, Nuk bersama orang asing lainnya tiba di stasiun kereta di kota kami. Siapa mengira di balik bugar tubuhnya, rasa sedih tak tersingkirkan dari paras Nuk; kekasihnya berselingkuh dengan tetangga berselang enam gedung dari tempat tinggalnya—seorang pria dengan wajah berbopeng-bopeng bekas jerawat yang belum sempat matang karena ditindas agaknya lebih menarik bagi pekerja seks di rumah bordil borjuis kota pinggiran daripada Nuk—yang membuat ia merasa hancur dan dihinakan ketika ia percaya akan kesetiaan. Kedatangan Nuk ke kota kami tidak lain adalah, sebagaimana dikatakannya kepada seorang penjual bakso di sini, hendak menukar rasa sedihnya dengan kesedihan yang berbeda.

Penjual bakso di sekitar stasiun kereta itu mafhum belaka maksud kunjungan Nuk ke kota kami—seperti halnya ia maklum pada pelancong terdahulu yang singgah dan mengobrol dengannya di lapaknya. Kepada si penjual bakso, Nuk menutur betapa ia sedih ditinggal kekasih setelah lebih dahulu dicurangi, dan ia ingin sekali menukar rasa sedihnya dengan kesedihan seorang yang kerabatnya dibunuh. Ketika si penjual bakso bertanya mengapa ia menginginkan kesedihan tersebut, Nuk meyakini orang-orang akan membalas pembunuhan seorang kerabat, dan menurut Nuk pembalasan macam begitu yang paling agung; Nuk ingin sekali merasakan kepahitan yang dicarinya untuk kemudian ia gunakan membalas sakit hati atas penghinaan oleh mantan kekasihnya.

“Kau keliru, Nuk. Bukan begitu cara kerjanya.”

Nuk bukan satu-satunya pelancong yang keliru. Si penjual bakso masih terang mengingat lelaki asing yang satu itu, yang pada suatu hari mampir ke lapaknya dan memesan semangkuk bakso. Ia ingat hari Rabu itu sebab, selain dagangannya terjual habis lebih lekas dari biasanya, dengan teramat pilu lelaki asing itu mengisahkan tentang cinta yang membikin si penjual bakso mesti keras menahan air mata agar tidak luruh, dan ia menyukai sikap lelaki asing itu yang pandai menenggang rasa ketika beberapa orang yang lewat menatap sinis kepadanya dan seorang bocah ketakutan melihat wajahnya dengan tiga codet yang tampak bengis. Beberapa jenak si penjual bakso termenung memikirkan, dalam penilaiannya, kontradiksi antara wajah dan kisah cinta lelaki asing itu; ia tak habis pikir, bisa-bisanya sosok tangguh macam lelaki itu jadi cengeng lantaran cinta. Pula lelaki asing itu mengatakan bahwa sejak wajahnya bercodet, ia percaya, hanya mukjizat yang mampu membawa cinta nan indah dan bahagia dalam hidupnya; keyakinan itu layak dipertahankan setelah perempuan-perempuan yang ditaksirnya selalu menolak manakala ia mengajak masing-masing dari mereka menyantap ikan bakar di warung boga bahari yang berjarak sepelemparan batu dari dermaga—sementara tidak ada tanda-tanda nasib mujur menghampirinya.

Menyadari nasib cinta yang melulu kandas bahkan sebelum sempat mengutarakannya, ia berharap kembali pada kehidupan tanpa codet jahanam sintas di wajahnya.

Sekali masa, sebelum codet mengacau angan cintanya, lelaki itu pernah bahagia karena cinta. Ia dan seorang pelayan di restoran adalah pasangan yang saling merindu. Ia sangat mencintai si pelayan dan amat yakin bahwa rumah tangga mereka kelak dipenuhi kasih sayang, sehingga ia mantap hendak menikahi si pelayan. Ia ikut bergirang saat si pelayan mengangguk girang selepas ia menyampaikan maksud ingin menikahi kekasihnya itu. Ia paham bahwa menikah bukanlah perkara seperti melangsir satu kuintal ikan dari palka ke tempat pelelangan. Maka ia bekerja lebih keras dan rajin berdoa memohon kesegaran tubuh. Ia memang pekerja keras dan seorang yang percaya kemurahan hati ‘sosok’ tuju doa-doa.

Kendati ia bekerja lebih giat dan berat, seorang kuli panggul (lelaki asing itu) butuh bertahun-tahun mengirit agar mampu memenuhi mahar dan mengadakan pesta yang kurang meriah sekalipun dan menjamu para undangan dan mengurus urusan lainnya. Akan tetapi, si pelayan tidak sabar lagi menanti setelah berkali-kali si kuli panggul hanya bisa berjanji dan memintanya untuk lebih sabar. Akhirnya, si pelayan memilih lelaki lain; dan itu menjadi tangis bagi si kuli panggul.

Dalam tangis yang menyayat perasaan, ia berjanji akan meremukkan kepala kekasih baru si pelayan, yang kelak ia ketahui adalah awak kapal pukat harimau. Dan ia tidak pernah sengaja beringkar janji.

Ia menyasarkan tinju ke muka awak kapal itu ketika ia melihatnya tengah duduk bersama si pelayan di dermaga pada suatu petang. Ia terus menyerang dengan membabi buta hingga lawan babak belur dan jatuh ke laut. Namun, selang beberapa hari, ia yang babak belur dan luka gores memerahkan wajahnya. Ia tidak menyerah, dan perjuangannya selanjutnya malah menghasilkan tambahan codet di muka sendiri.

Dua purnama sejak perkelahian terakhir itu, rasa tidak berdaya seketika berubah jadi harapan saat seorang yang dikenal sebagai pembual menuturkan ihwal kesedihan dapat dipertukarkan di satu kota yang memerlukan sekitar enam jam perjalanan darat dari tempatnya menyimak si pembual. Ia merasa itu kabar baik sampai-sampai ia abai bahwa itu berasal dari seorang pembual.

Ia pun datang ke kota kami dan menyantap semangkuk bakso di dekat stasiun kereta.

“Kau keliru, Kuli Panggul!”

“Hah?”

“Kau tak akan bisa mencerap kesedihan yang kau inginkan bila itu untuk membalas sakit hatimu. Pulanglah, Kuli Panggul. Kembalilah setelah kau meralat tujuanmu.”

Ia pun pulang bersama kesedihan yang sama.

Pada kesempatan lain, si penjual bakso memberi usul serupa kepada orang keliru yang satu ini: “Pulanglah, Nuk. Datanglah di lain waktu.”

Nuk tidak langsung pulang, walau ia bilang akan menumpang kereta terakhir malam ini. Pantas semata ia berdusta, sebab menurutnya si penjual bakso itu berpikiran sempit dan kolot dan tidak suka pelancong—bukankah ada saja alasan bagi warga yang tidak menginginkan pelancong berlama-lama di kotanya? Nuk tidak memusingkan mengapa si penjual bakso bersikap demikian; tidak berguna ia memikirkan itu. Ia hanya perlu istirahat seusai perjalanan melelahkan, dan esok hari ia akan pergi ke taman kota.

Kini Nuk berada di taman kota. Ia menemui orang-orang yang duduk di bangku taman yang tampak baru. Soal bangku taman yang tampak baru ini… pemerintah kota menyadari lonjakan turis, sehingga mau mengalokasikan dana untuk mengecat dan menambah bangku taman di kota kami.

“Saya sedih karena kekasih saya berselingkuh. Apakah kerabatmu dibunuh, dan kau sedih karenanya?”

“Tidak.”

“Boleh kita menukar kesedihan?” kata Nuk kepada seseorang yang lain.

“Anak dari adik perempuan saya yang tengil itu mati setelah menenggak kopi yang dibubuhi racun di pulau seberang. Lebih baik dia mati daripada menyusahkan tidak hanya orangtuanya, tapi juga saya. Saya tidak perlu bersedih.”

Nuk tidak menyerah, dan kini ia menuju ke bangku yang berada di salah satu sudut taman. Area taman menyerupai trapesium di mana kedua sisi miring dan sisi sejajar yang panjang dipagari batang-batang besi yang ditata berdiri sedemikian tegak dengan ujungnya meruncing; jalur masuk hanya melalui sisi sejajar yang pendek. Kendati Nuk tidak pernah belajar soal arsitektur atau perkotaan, tetapi ia cukup yakin bahwa sekepal kotoran kucing telah melesak ke kepala mereka yang punya gagasan memagari taman kota.

“Saya sedih karena ditinggal kekasih setelah dia berselingkuh. Saya rasa kepahitan ini hanya bisa disandingkan dengan kepahitan atas kematian kerabat yang dibunuh,” keluh Nuk kepada seseorang yang bersigaret di sudut taman.

“Apa yang kau omongkan ini, Anak Muda? Kau pikir kepahitan cinta monyet macam itu sungguh layak disandingkan dengan kepahitanku?”

“Apa? Kepahitan Bapak?”

“Beberapa tahun silam kekasih yang sangat kucinta mengkhianatiku. Dan seminggu yang lalu anak sulungku mati dikeroyok oleh lawan-lawannya yang bangsat itu. Kematian anak sulung lebih pedih ketimbang ditinggal kekasih jalang, kau tahu itu. Sekarang kau mendekat. Omonganmu itu tahi babi.”

“Maafkan saya bila salah berucap, Pak.”

Teman bicara Nuk merespons dengan hanya mengembuskan asap sigaret yang diisapnya; agaknya ia tengah memikirkan mengapa ia membuka kisahnya kepada orang asing.

“Maafkan saya, Pak. Saya perlu merasakan kesedihan Bapak atas kematian anak sulung agar saya bisa berhati-hati dalam bersikap pada mereka yang terluka. Apa Bapak bersedia bila kita mempertukarkan kesedihan?” omongan Nuk telah digula-gulai, bukan lagi tahi babi—memakai istilah teman bicaranya.

“Kau tidak akan sanggup, Anak Muda.”

“Biarkan saya merasakannya, Pak.”

“Tidak, Anak Muda.”

“Saya mohon, Pak.”

Ia mengisap sigaretnya lagi dalam-dalam, kemudian mengembuskannya hingga tandas, seakan dari sana ia memperoleh pengertian untuk membikin anak muda di hadapannya itu mampus diliputi kesedihan yang jahanam, semacam sebentuk hiburan yang pantas ia peroleh setelah kematian anak sulungnya.

“Baiklah kalau itu maumu. Apa kau tahu cara menukarkan kesedihan di kota kami ini?”

“Saya tahu.”

Nuk tidak main-main pada tujuannya. Ia telah mempersiapkan segala hal yang bisa ia pikirkan, termasuk informasi tentang bagaimana menukarkan kesedihan di kota kami, dan ia menerapkannya sekarang: ia dan teman bertukar kesedihannya mengambil posisi berdiri saling memunggungi, setiap tangan menggandeng tangan pihak yang membelakangi, beberapa menit mereka memejamkan mata sembari menggali kesedihan masing-masing. Tiga menit… lima menit… tidak ada kesedihan yang lain menghampiri Nuk.

“Bagaimana, Anak Muda?”

“Kita mesti melakukannya lagi, Pak.”

Mereka mengulang babak yang kelihatan konyol itu sekali lagi. Namun, tetap saja, tidak ada yang berbeda pada Nuk sampai temannya bertukar kesedihannya itu akhirnya berkata, “aku gagal membikinmu diliputi kesedihan jahanam atas kematian anak sulungku, Anak Muda. Tapi, berkatmu, kesedihanku akan lebih gampang kutanggung.”

Teman bicara Nuk tersenyum. Sebelum meninggalkan sigaretnya yang tadi ia dudukkan di tubir bangku dan membiarkan Nuk terlihat tolol di taman kota, ia mengucapkan satu nama—itu bukan namanya, juga bukan Nuk.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Jasman Simanjuntak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email