Puisi, sebagaimana yang dipahami maupun tak terpahami, membangkitkan desir sekaligus desire (hasrat). Adanya desir dan desire dalam menikmati puisi inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai kenikmatan tekstual, jouissance, atau tekstasi.
Puisi yang menimbulkan desir dan desire itu memiliki daya tarik sekaligus kekuatan yang membangkitkan gairah. Kita seperti dilumat masuk ke dalam pelukannya yang begitu nikmat dan menyamankan sebagaimana rumah.
Baca juga:
Mengutip Deleuze dan Guattari dalam Hipersemiotika-nya Yasraf Amir Piliang, hasrat itu selalu (dan akan selalu) berupa hasrat akan sesuatu yang lain, yang berbeda. Tidak ada hasrat untuk sesuatu yang sama.
Puisi pun demikian. Puisi yang berhasil adalah puisi yang memiliki sifat alamiah untuk menemukan kebaruan dalam menyampaikan sebuah gagasan, cerita, atau ide maupun secara bentuknya. Tema yang diangkat boleh jadi sama, tetapi bagaimana cara mengangkat dan mengungkapkan ide tema tersebut tentu saja bisa berbeda-beda. Inilah yang kemudian menjadikan puisi bisa terus berkembang untuk menemukan bentuk-bentuk baru sesuai dengan semangat zamannya. Dan, tentu saja, bisa membikin hati para penikmatnya berdesir.
Pembacaan dan penemuan kesadaran dan makna dalam puisi nantinya akan menimbulkan kenikmatan tekstual tadi, yakni sebuah kenikmatan membaca teks yang begitu memabukkan dan menakjubkan. Bagi Ricoeur, pemahaman dan makna bagi manusia sebenarnya berakar dari dorongan-dorongan yang lebih mendasar, yang bersifat instingtif: hasrat (desire). Hasrat inilah yang melahirkan kehidupan dan, selanjutnya, melahirkan bahasa. Bahasa, pada akhirnya, melahirkan puisi.
Desir dan Desire
Menikmati puisi juga menimbulkan suspense dan perasaan yang tak bisa begitu saja dijelaskan dengan gamblang. Ia seperti keremangan; samar-samar bisa dirasakan, tetapi akan sulit untuk dideskripsikan. Perasaan membuncah ini entah muncul saat melihat dan merasakan tentang subjek atau objek yang disukai, entah yang membuat kita menjadi tertarik terhadapnya. Inilah yang saya sebut sebagai desir.
Setelah suka dan tertarik, kita akan meningkatkan perasaan itu menjadi desire—hasrat. Entah hasrat untuk mengenal lebih jauh atau hasrat untuk memiliki. Pada pembacaan yang seperti ini, kita harus berhenti.
Untuk menikmati puisi, kita memang boleh masuk dan bergumul dengannya seperti ia akan menjadi milik kita selamanya. Akan tetapi, jangan lupa, kita tak bisa sepenuhnya benar-benar memiliki si puisi ini. Sebab, ia merupakan produk zamannya yang bisa mengabadi selama ia dibaca dan menemukan pembacanya. Kita tak bisa egois mengakuinya sebagai milik kita—puisi boleh dan bebas dinikmati oleh siapa saja! Kita pun tidak berhak untuk mengklaim diri sebagai yang paling sempurna memahami dan mengerti makna puisi tersebut.
Yang bisa kita lakukan adalah berterima kasih kepada puisi karena telah memberikan rangsangan tekstual. Terlebih, jika puisi itu meninggalkan kenangan dan gema yang panjang dalam hidup seseorang, bukankah ia lantas menjadi bagian dari seseorang yang tidak bisa dilepas dan diabaikan begitu saja? Tak merasa pernah “memiliki” puisi membuat kita bisa berkali-kali jatuh cinta padanya tanpa merasakan patah hati tekstual.
Patah Hati Tekstual
Patah hati tekstual terjadi ketika kita merasa gagal memahami dan menikmati sebuah teks. Puisi yang berhasil tidak menghendaki dan tidak bisa membuat pembacanya merasakan patah hati tekstual karena ia memberikan semacam clue bahwa puisi terkadang harus selesai dibaca tanpa perlu dipahami.
Paradoks itu memunculkan tegangan antara ingin memahami atau ingin menikmati. Soalnya, boleh jadi tanpa memahami puisi, kita tetap bisa menikmatinya. Sebab, setiap manusia memiliki sense keindahan bawaan yang bersifat fitri ketika dihadapkan sesuatu yang indah, yang menakjubkan, yang membuat hatinya akan bergetar dengan sendirinya.
Baca juga:
Beda halnya ketika kita salah dalam memahami sebuah teks. Apa yang terjadi ketika kita salah paham dalam memahami teks? Kita akan melenceng terlalu jauh dalam memaknai dan mengartikan sesuatu. Alhasil, kenikmatan tekstual yang seharusnya melahirkan pembacaan produktif dan inspiratif, boleh jadi malah mengalami kemandegan pembacaan.
Pandyakira Tan Pangaran dalam Nagabumi pernah berkata bahwa kehormatan sebuah tulisan tidak berada di tangan penulisnya, tetapi di tangan pembacanya. Tulisan itu bebas untuk ditafsirkan sesuai dengan kapasitas masing-masing pembaca. Pembacaan dan pemaknaan yang sangat beraneka ragam dari pembaca inilah yang sangat dihargai dalam konsep dekonstruksi yang dicetuskan oleh Derrida. Pada akhirnya, menikmati puisi menjadi kenikmatan tekstual sesuai dengan kapasitas dan pemahaman si pembaca; bagaimana pembaca memaknai dan memahami puisi tersebut.
Editor: Emma Amelia