Getah Bunga di Pohon Doa
bergetah bibirku di pohon doa
daun-daun jatuh berserah untuk hitam liang menganga
malu-malu kularik manik-manik di pelepah jari-jari
menunggu tuhan datang—tuhan tak datang! tuhan menunggu!
dan kita berlari dalam sekian rakaat untuk getah bunga berulang
tahun-tahun tak suci sebelum bulan putih pulang ke pangkuan
dan kita tidur untuk mimpi indah di kampung halaman
kampung halaman berkukuh padamu, langkahmu, hidupmu,
aduh… aduh kekasih! aku rindu tidur di telunjuk Ayah dan Ibu
pohon-pohon tegak bertangan seribu memeluk getah bibirku
jalan pulang yang kita lalui begitu senyap; sepi rasaku di tepi api
bernyanyi di peti mati—getah bunga… getah bunga di pohon doa.
(2023)
–
Burung Bidadari
berhulu burung-burung bidadari melayang ke tengah teluk
menyelang tubir ombak yang menumpu desah bulan
menguar tubuh bunga, wangi pandan muda di pucuk batu
di punggung lumba-lumba kau siaga menjaga belam api
sungguh hanya suara rentak sampan yang mengapung di tepi perahu
malam itu adalah malam putih pualam; menggeliang redam, ribut sekali-sekali
kau mengiba kepada lautan suri, terseruk ke dalam bejana rahim
mendoakan keringat yang gugur untuk singkil dan surga tak berpenghuni
berhulu burung-burung bidadari melepas kayuh sampan yang telah suci,
kau putih sekali…
(2023)
–
Di Tepi Telaga Surga
saban hari kumata-matai
dedaunan berpapah tumbuh
di taman hatimu
saat-saat paling purna kau
dengar anjing menggonggongi
temaram malam
tersudutlah tubuh Hawa
yang Adam dalam laku purba;
kurban untuk sang Esa
kulepas tanganmu dari jerat
pesona Lamia demi selaput
suci perawan Maria
agar tanduk serigala lekas lepas
menabrak dinding penjara
dan kita… dan kita berkobar
dalam api yang dingin
di tepi telaga surga.
(2022)
–
Di Ujung Pandang Kau dan Aku
penuh pintu doa-doa berkelindan di batang telinga sang kekasih
kelam berkisah menyeruak gugur bunga sang lelaki—
pergi ke ujung pandang tempat rangka perahu mengalami… mati!
kita dengar seorang ibu berceloteh tentang segepok uang di biji lemon cui
kita sulam serak tulang cakalang untuk suara-suara mesin kapal yang berkelahi
namun siapa yang peduli jika bulan belum juga bunting, merengek tempat tidur,
dan kita mulai berbohong pada selaput tipis yang menyekap urat nadi
dan tuhan… tuan menari di depan aroma nasi basi yang membuat tuan benci
siapa yang bisa kau ajak untuk menyembah air mata dalam senyap malam nanti
dalam sepi kangkung hangat dan terasi, kau tiris janji surga dan mantra gambir untuk lelapnya
kau dekap waktu yang berbuih di kerut pipimu yang memutih
kau bedah jaring laba-laba yang menganga di liang jendela
sekilas angin memelukmu… hati!
(2022)
–
Gerimis Berpalu
telanjang bulat gerimis menuntun gigil berpangku
sedu sedan tak boleh akur karena mimpi sedang buruk sore itu
dan tak lagi… dan tak lagi kepalaku meragi benang putus
di kepala nisan kau membilang janji yang tak bisa kita tempati
maka tak berkesudahan lemah hatiku yang menahun itu
dalam kekar telapak tangan bapakmu yang membibit bekal kayu
kupilih pergi sebagai asal segala tanya yang berlindung di rahim ibu
agar tak ada sebab… agar tak ada akibat…
yang bisa kita sulap untuk gerimis di palu aku-Mu
(2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA