Tak seperti novel pada umumnya, Kayu Lapuk Membuat Kapal (2021) karya Benny Arnas, pemenang sayembara novel tentang Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diadakan Diva Press ini menggunakan huruf Arabic pada angka di setiap babnya yang berjumlah 38. Sementara itu, dari setiap bab yang ada hanya berjumlah dua sampai tiga lembar.
Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, Benny berhasil membawa pembaca berkeliling melalui perjalanan daun Sahabi, daun dari pohon yang dipilih para nabi untuk berlindung dari sinar matahari dan debu gurun yang menampar-nampar wajah itu. Benny menambahkan Angin dan Amirulbustarain sebagai ayah Angin untuk menemani perjalanan daun Sahabi.
Karakter daun Sahabi yang selalu ingin tahu dan Angin yang suka bermain kata dan membuyarkan lamunan atas pertanyaan daun membuat keduanya hidup layaknya sepasang sahabat. Kadang saling melengkapi, kadang bertengkar, bahkan harus sempat berpisah demi kebaikan bersama.
Tak hanya seputar Makkah dan Madinah, namun perjalanan daun Sahabi dalam novel ini juga berkelana ke banyak tempat. Sebut saja Gurun Gobi, Gurun Taklamakan, Gurun Ordos, Gurun Badain Jaran, dan Gurun Kubuqi. Tak hanya itu, bahkan daun sahabi itu telah diberikan kesempatan oleh penulis untuk terlempar dari pulau ke pulau. Mulai dari pulau Paskah yang lengang di Pasifik, Eropa utara, daratan Hispania, hingga kembali ke tanah kerontang.
Novel setebal 180 halaman ini menceritakan tentang keadaan dan perjalanan Nabi Muhammad Muhammad SAW hingga Khulafaur Rasyidin. Dimulai dari ditemukannya tanda-tanda kenabian pada seorang laki-laki yang disebut dengan nama Ahmad oleh Biarawan bernama Buhaira. Waktu itu, laki-laki tersebut sedang bersama Abu Thalib yang hendak pergi ke Syam untuk berdagang.
Secara singkat, novel ini juga menjelaskan bagaimana perjuangan para sahabat saat menjabat sebagai khalifah. Seperti Abu Bakar As-Shiddiq yang menundukkan hal-hal pokok sebagaimana diamanahkan Rasulullah, Umar bin Khattab yang lebih fokus terhadap tatakota, administrasi, dan kepedulian sosial di tengah umat islam, Utsman bin Affan yang menindak-lanjuti pembukuan Al-Qur’an, hingga Ali bin Abi Thalib.
Di dalamnya, juga dijelaskan bagaimana perjuangan umat islam yang jumlah pasukannya sangat sedikit melawan kaum kafir dengan jumlah pasukan yang terbilang besar. Seperti perang Badar yang memenangkan pasukan Islam yang hanya berjumlah 313 melawan seribu pasukan Quraisy. Juga perang Khandaq yang menenangkan tiga ribu muslim atas gabungan bangsa Quraisy, Nadir, Sulaym, dab Murra, yang berjumlah sepuluh ribu pasukan. Bahkan, umat Islam yang berjumlah 20.000 pun bisa mengungguli 70.000 pasukan Romawi Bizantium.
Beberapa perang yang disebut dalam novel ini terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin yaitu perang Shiffin yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, perang Jamal yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Siti Aisyah, hingga perang Al-Qadissiyah yang terjadi antara pasukan muslim melawan Persia. Semua kisah itu disajikan dalam bahasa yang lugas dan tegas.
Selain itu, kehadiran sosok Uwais Al-Qarni di masa Khalifah Umar bin Khattab yang dikenal sebagai orang gila, ternyata memiliki keistimewaan di mata Rasulullah. Uwais Al-Qarni yang digambarkan dengan sosok laki-laki tambun berpenyakitan ternyata bukan orang sembarangan. Tak heran jika dia mendapatkan salam dari Rasulullah pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Salam yang dibawa oleh Hulvan bin Mushlih itu mengantarkan pembaca pada bagaimana seorang Uwais Al-Qarni yang sebenarnya. Dia adalah seorang hamba Allah SWT yang sangat luar biasa ibadahnya. Hal itu tampak ketika Uwais Al-Qarni berdzikir dari pagi sampai pagi di salah satu masjid di kawasan Hunain.
Dengan demikian, eksistensi Uwais Al-Qarni menjadi pelajaran untuk tidak gampang menilai seseorang dari penampilannya saja. Bisa jadi sesuatu tampak jelek di mata manusia, tapi sangat agung di hadapan Allah. Begitu pun sebaliknya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 216 yang artinya:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Hingga tiba pada suatu waktu, daun Sahabi, Angin, dan Ubayah (Arsitek Muslim yang berasal dari Sparta) mengalami mimpi yang sama. Yaitu mereka melihat kayu tua buruk rupa yang diatasnya ditumbuhi daun dan bunga yang indah. Tentunya, mimpi yang sama tersebut sempat menimbulkan tanda tanya dan rasa penasaran yang besar.
Dan mungkin, Kayu Lapuk Membuat Kapal yang menjadi judul novel ini adalah sosok Uwais Al-Qarni yang mampu memberikan angin segar pada daun Sahabi dalam tiupannya. Hingga akhirnya mimpi tentang kayu lapuk itu berubah menjadi kayu muda dan memancarkan kesejukan setelah Uwais Al-Qarni masuk surga setelah wafat dalam keadaan syahid.
Sedikit yang saya sayangkan adalah mengapa cerita dalam novel ini lebih banyak menjelaskan bagaimana perjuangan umat Islam pasca meninggalnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Mengingat buku ini adalah novel tentang Kanjeng Nabi Muhammad, mungkin akan lebih baik jika lebih banyak menceritakan bagaimana perjuangan Rasulullah. Baik ketika proses menerima wahyu, penyebaran agama islam, hingga keteguhan dan kekuatan dalam menghadapi musuh. Pastinya, penulis mempunyai alasan tersendiri dalam menulis novel ini. Satu hal yang ingin saya tegaskan kembali, bahwa novel ini layak menjadi bahan bacaan untuk menambah khazanah pengetahuan tentang sejarah islam.