Tubuhnya lusuh, terpantul dari cermin buram. Dia amati ujung rambut hingga ujung kakinya sendiri. Wajah muram, area kelopak mata yang menghitam, bekas-bekas parut jerawat, hidung pesek, rambut cepak berponi, tubuh kerempeng seberat empat puluh sembilan kilogram, dan kedua kaki menyerupai lidi.
Belakangan tanpa alasan yang jelas dia sering merasa kelelahan begitu parah di siang hari dan tak bisa tidur di malam hari. Begitu sering. Sendi-sendi dan tulang-tulangnya seolah dipaksa bekerja tanpa jeda. Bahkan urusan pekerjaan masih berani hadir sampai ke dalam mimpinya. Barangkali gejala psikosomatik, respons tubuhnya terhadap penderitaan dari peristiwa traumatik. Setidaknya itu kata salah satu situs konsultasi kesehatan di internet.
Sewujud kesadaran tentang nasib yang menyedihkan, menyusup ke dalam benaknya, mengganggu pikirannya, timbul tenggelam tanpa henti; membuatnya jiwanya terasa begitu hampa. Kenyataannya yang selama ini dia perjuangkan bersama tubuh kurusnya hanyalah bertahan. Bahwa selama seperempat abad usianya tak pernah dia merasa hidup layak, membuatnya heran.
Bagaimana aku bisa mendefinisikan kehampaan ini?
Rasa lapar yang parah pada tengah malam pun menyerangnya. Dia berjalan keluar dari kamarnya seraya berpikir untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan dari dalam lemari dapur indekosnya.
Ia tak menemukan apa pun selain sebungkus garam, dua botol besar air mineral, dan sebutir telur ayam yang semula hendak dia jadikan lauk untuk sarapan besok. Dia menghela napas. Lalu mengambil panci, menuangkan dua gelas air, menyalakan kompor, dan merebus telur ayam itu. Hanya bisa merebus, pikirnya.
Bahkan upah harian yang dia peroleh sebagai pengajar di sebuah lembaga bimbingan tak cukup untuk membeli minyak goreng. Nasib buruk seolah telah melekat pada dirinya sejak ia nekat mendedikasikan hidupnya pada cita-citanya yang lugu, seolah mereka adalah bayang-bayang yang tak mungkin dipisahkan dari tubuh kurusnya.
Orangtua di kampung menanam harapan besar pada anaknya yang sarjana pendidikan di kota orang. Begitu lulus, pemerintah mengganti pembukaan program PNS guru dengan program lain dengan nama-nama yang rumit yang intinya omong kosong belaka. Jika saja ia tahu menjadi guru artinya sama sekali tak dihargai, ia tak akan nekat merayu orangtuanya untuk merelakan sepetak tanah hanya untuk belajar pedagogi fafifu di perguruan tinggi. Hanya ada perasaan semacam hutang, alih-alih kebanggaan dari gelar sarjana di belakang namanya.
Sambil menunggu telur ayam itu matang dalam air rebusan, dia membayangkan barangkali besok tak perlu lagi sarapan seandainya tiba-tiba datang keajaiban. Atau betapa menyenangkan jika dia tak mesti selalu menghawatirkan jadwal sarapan, makan siang, dan makan malam karena punya upah yang lebih layak dan realistis.
Uap air rebusan membuat udara sontak pengap. Dia buka jendela dapur dan menemukan langit malam bertabur bintang. Angin sejuk masuk menyapu wajahnya. Sejak kecil saat menatap bintang-bintang di langit gulita itu selalu memunculkan perasaan takut yang membuatnya seolah-olah akan tersesat. Sebersit suara dalam kepalanya mengaung lirih: begitulah cara manusia datang ke sini, seumpama bintang tak bernama. Bergerak melintasi langit malam dengan cahaya-cahaya asing itu.
Tidak peduli di mana pun dirinya berada, akan selalu dia dapati gugusan bintang di atas sana, dengan pola yang selalu serupa. Hingga beranjak dewasa, posisi bintang-bintang di atas langit itu tak menunjukkan perubahan. Hal itu tentu adalah dugaannya yang keliru, sebab nyatanya pola bintang yang dia amati dari lokasi tempat dia mendongakkan kepala, sesungguhnya tak pernah sama.
Malam ini, tiba-tiba secara ganjil dia berharap memiliki keyakinan terhadap konsep kehidupan lain. Mungkin dia telah mati berkali-kali dan dilahirkan kembali. Bahwa ada alam semesta berbeda di luar pengetahuannya yang telah lama eksis dengan atmosfer berbeda, dan gugusan bintang yang berbeda pula, dan di sana, dia adalah sejenis makhluk hidup atau spesies bernyawa, yang cukup hanya dengan mengonsumsi udara, atau molekul, atau partikel, untuk bisa tetap bernapas dan berdaya. Adakah kehidupan lain itu lebih baik dari ini? Pikirnya.
Sembari menatap langit malam dia terus merenungi kembali apa yang menjadi tujuan keberadaannya. Mungkin saja pada saat bersamaan dia tengah memikirkan seseorang dan seseorang itu sedang memikirkannya juga, atau boleh jadi tidak. Mungkin dia tengah memikirkan orang yang sama sekali berbeda dari dugaan pertama, dan orang itu tersimpan dalam kenangannya sebagai ciuman pertama, dan mungkin saja orang lain itu juga sedang memikirkannya. Barangkali mereka atau salah satu di antara keduanya adalah orang yang bersedia mengurus permasalahan sarapan paginya, atau boleh jadi tidak.
Mungkin saja di kehidupan lain nan lampau itu dia adalah seorang penyair Persia. Dan seseorang yang sedang dia rindukan tak jemu-jemu dalam sajak-sajaknya adalah seorang darwis pengembara yang terusir dari kota kelahirannya dan terbunuh di tangan anak kandungnya sendiri, lalu menjadi sebuah kisah yang telah lama disembunyikan dunia.
Atau boleh jadi dia bukan siapa-siapa. Tak berarti, tak penting, tak tercatat sejarah. Atau sesungguhnya dia tidak sedang memikirkan siapa pun, atau apa pun, atau di mana pun, atau seperti perutnya yang kosong keroncongan, pikirannya pun sama kosongnya—selain hanya memuat gumpalan-gumpalan imajiner transparan yang tak kalah menjemukan.
Kesunyian memekakan semua indra badan, membawanya tenggelam lalu timbul lalu tenggelam dan seterusnya hanyut dalam lamunan hampa yang sepi tak berujung. Sejurus kemudian tersadar ia saat mendengar suara mendidih air rebusan. Dia menghitung adakah telah berlalu sepuluh menit, lima belas menit, atau dua puluh menit? Dia ragu sebab tak memperhatikan jam. Padahal suara detak jam dinding pada tengah malam seperti ini terdengar begitu nyaring—serupa suara detak jantungnya sendiri—yang dapat dengan jelas telinganya dengar. Bersama seekor cicak yang merayap-rayap di dinding dapur kosan sempitnya itu. Bersama nyamuk-nyamuk yang tersangkut di sawang laba-laba itu. Bersama deru kipas angin mini di samping kasur tipisnya itu.
Lalu dia mematikan kompor, dengan hati-hati memindahkan telur ayam rebusnya ke dalam piring berisi air dingin dan mendiamkannya beberapa jenak agar suhu panasnya berkurang.
Di saat bersamaan dia terbayang seseorang yang punya kebiasaan menjadikan telur rebus sebagai camilan.
“Semoga nasib kita sederhana dan sama bergizi seperti telur.”
Dia mengingat perkataan itu dan tanpa sadar bibirnya tersenyum.
“Berbahagialah segala jenis telur yang tak pernah menetas.”
Seseorang yang dia ingat itu sangat menyukai jika telur rebusnya masih setengah matang. Dia sering melihatnya memakan habis kuning telur yang masih encer dengan lahap. Dia menelan ludah dan merasa heran dengan selera temannya itu. Baginya itu bukan telur rebus setengah matang, melainkan telur rebus setengah mentah. Dan sudah tentu segala yang mentah mestilah dipenuhi kuman dan bakteri. Tapi apa pun istilahnya tentu sama saja itu tak pas. Entah setengah matang atau setengah mentah.
Minatnya berubah ketika dia mencobanya sendiri. Telur rebusnya tidak matang sempurna, sebagian putih dan kuningnya masih encer. Enggan merebusnya kembali, dengan kesadaran bahwa dia telah membuka sebagian cangkangnya sehingga tindakan untuk kembali merebus telur itu terasa sia-sia. Seketika ia menyesali keputusannya merebus telur itu tak cukup lama. Bodoh sekali, pikirnya: mempertaruhkan satu-satunya penyambung kehidupannya hanya untuk merasakan apa yang orang lain gemari.
Mau tidak mau dia menghabiskan telur rebus setengah matang atau yang dia yakini setengah mentah itu, yang mestilah masih dipenuhi kuman dan bakteri itu—dan harus dia akui jika dia lama-kelamaan mulai menyukainya.
Dia pun jadi merenungkan hal ini: mengapa tidak sejak dahulu dia menyukai telur rebus setengah matang?
Renungannya memunculkan pertanyaan yang lebih serius: mengapa tidak sejak dahulu dia menyukai seseorang yang menyukai telur rebus setengah matang? Bukankah akan menyenangkan jika dia bisa bersama seseorang yang juga menyukai telur rebus setengah matang?
Batok kepalanya menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang lebih panjang, berakumulasi, dan bercabang-cabang, seperti sulur pohon kacang yang tumbuh menjulang sampai ke atas langit pada suatu malam mistis seumpama kisah dongeng dari masa kanak-kanaknya—menghasilkan kesimpulan bahwa celakalah, pikirnya, sebab kehidupan ideal yang dia khayalkan ternyata tak lebih dari sekadar konsep abstrak yang tak pernah benar-benar ada.
Sulit mengungkapkannya, tapi hidup itu menyebalkan dan penuh tragedi. Hidup bukan garis pelangi yang menakjubkan, tak akan ada kendi berisi harta karun, atau peri-peri surgawi di ujungnya. Ujung pelangi yang bahkan tak pernah ada, yang sebenarnya adalah lingkaran berulang menjemukan—sejak dari semula dia masih berupa cairan sperma dari penis seseorang, lalu dibentuk dalam sel telur seseorang, lalu keluar sebagai manusia kecil dari rahim seseorang yang terluka penuh penderitaan pada sebuah dini hari yang hujan petir, menyambar-nyambar, meredam tangisan pertamanya.
Sejak saat itu syarat demi syarat harus dia penuhi agar serasi bagi dunia. ibunya bilang ingin anak laki-laki, sedangkan ayahnya lebih suka anak perempuan. Wajahnya menjadi kian masam, teringat pekik jeritan ibunya yang menangis saat dia memutuskan pergi sambil membanting pintu, teringat wajah ayahnya yang tak henti-henti dia benci, teringat saudaranya yang tak menaruh peduli, teringat piring kaca yang pecah berhamburan di lantai, juga keinginannya untuk mengakhiri hidup dengan melompat ke dalam arus keruh air sungai.
Dia meringis lagi, bertanya-tanya dalam hati, benar adakah persetujuan yang telah dia sanggupi sebelum kehidupannya—bahwa kenyataan yang dijalaninya detik ini, tepat ketika dia mengunyah sebutir telur ayam rebus encer ini, telah dia pikul keputusan-keputusan beserta nasibnya yang putus asa.
Kepalanya memanas dan air matanya menetes. Di hadapan puing reruntuhan masa-masa paling sulit nasibnya, kini dia sadari dirinya hanyalah salah satu bintang tak bernama, yang berupaya mencari jalan takdirnya sendiri sambil menyantap sebutir telur ayam setengah mentah penuh bakteri di tengah malam sepi.
***
Editor: Ghufroni An’ars