TUBUH TUHAN TUBUH
kami berjejalan menuju dan ke mana saja dari dalam juga luar bahasa yang menari menuju keheningan, nama-nama merupa angka sebagai bilangan yang menumpuk, hujan, drainase air menunjukan dirinya dari dalam tubuhku yang telah menjadi ibu bagi matahari ataupun lelangit yang menjulurkan lidahnya lalu menumpahkan liurnya menuju tanah-tanah;
sekitarku hanyalah darah berwarna putih sebab kematian mendatangiku ketika tuhan tumbuh dari dalam wahyu tubuhku yang tertimbun kekekalan serupa tembakan sorga dan dosa-dosa, menaiki tangga dadaku kau membangunkan apa saja yang seterusnya tidak kita kenali, sepanjang percintaan kita telah meneguk angin berwarna hitam yang dikendarai kesenangan dalam ajal murung akar-akar yang menenggelamkan urat dari bayang-bayang patah;
kesepianlah lalu kesepianlah jenazah dari asam wujud muram dan kengerian, kubukalah mantra seperti kalimat pembuka yang mengakhiri dunia, lalu kitalah persembunyian awan dan gemuruh dari segala gemuruh, keheningan dari segala keheningan, jalan dari segala jalan, kehancuran dari segala kehancuran, kau tak pernah membacaku sebagai tanda namun keluberan yang bergerak sebagai tenung dari segala dingin yang berlendir dan mengangkut apapun dalam kepercayaan dan rasa sakit, kelelawar dan naga hanyalah sebuah lonceng tua dari leher ular kelakianku, takdir bergerak menuju atas dari gelegar bunda yang memandangi kengangaan atas lahirnya dunia.
(Surabaya, 2022)
–
TUBUH TANAH
kita menyimpan sesuatu yang berdosa ke dalam sarang dari ruang dan waktu yang gelap, suara melejitkan mimpian-mimpian seperti kematian yang telah tumbuh dari dalam mataku, hanyalah badai dan ketakutan hanyalah hawa nafsu yang mengebirimu menuju keilahian dari air yang telah terserap, neraka telah terbentuk dari ketidakmampuan yang akan membelah langit dan kursi paling tinggi, matahari, membunuh para raksasa dari pertempuran-pertempuran, melalui pembantaian abadi dari seribu pohon yang terselip di sela-sela jarimu telah kutemukan luka-luka;
serimbun keraguan dari jejak almanak yang ditumpuk sarang-sarang telah kutapaki keabadian, amsal dari segala amsal yang mengiblatkan segala belatung penuh dengan musim dari jiwa yang lusuh, kesepian berkobar menuju lelangit tapi kau berseteru untuk membangun penjara yang akan menguliti tenung dalam ceruk perutku, seketika bumi semakin gersang dan warna-warna gelap telah diacungkan menuju kengerian yang bersembunyi dari arah yang tak diperkirakan;
segalanya hanyalah seru yang berpenampilan terbalik dari jari-jari tuhan, segalanya hanyalah, kau bersikeras bersembunyi dalam kematian namun kematian telah membingkai tanganku kelak dalam rerimbun tetumbuhan layu.
(Surabaya, 2022)
–
TUBUH AIR
seketika kelopak mataku merupa hehujanan yang ditumbuhi seribu keheningan dari dalam dadamu, langit gemuruh, warna-warna serupa pepohonan memantulkan serbuk dari kehidupan dan kematian dalam ketidakmampuanku untuk menyimpan rahasia, kutumpahkan wewangian serupa bulir yang memendam kehampaan waktu dan tangis-tangis, hujan-hujan, seribu kerinduan;
pablo! kusembunyikan segalanya dari tanganmu walau amis merembes ke tubuhku, lalu sepotong kaki kananmu berjejalan ke jalanan hening menuju keheningan, aku tak akan mampu merayu tubuhmu meski telah kusisipkan pipa-pipa bocor dari hutan yang rimbun dan tersembunyi dalam reklame di kota-kota besar;
bahkan ketika reruntuhan tubuhmu seperti jatuhnya air yang berterjunan, kita tak bisa apa-apa, sekujur ingatanku, menapaki rerimbun dan belah kasihan seperti gangga.
(Surabaya, 2022)
–
TUBUH API
kita membakar apa saja dari dalam kendali tubuh, lelangit tersembunyi dalam warna merah dari matamu, tanganku adalah amarah seperti bulan yang terkapar membakari rindu dari dalam kulitku, abad-abad terlepas, seluruh kesaksian dan kejahatan yang berbaring menapaki segalanya seperti batu-batu yang berloncatan;
telah kukutuk dirimu yang membawamu menuju mayat yang dipenuhi oleh bangkai kutu-kutu, puing-puing tertinggal karena selebihnya hanyalah abu yang menenggelamkan pepohonan dari rerimbun riuh musim maut, kupupuki kekosongan sumber dalam kehancuran, hantu, puing, jendela;
selebihnya kau menyimpan banyak kata-kata, kubuka lembaran kulit yang membikin gedung dan anak-anak bermain di dalamnya, taman, bunga-bunga, ledakan tersembunyi, kesedihan, kesendirian, kekosongan purba pikiran hancur bersama pekat dari wujud kediaman para raksasa ataupun para dewa, matahari, menggiling tubuhku pada puncak waktu dan membelahnya menjadi meteor yang menghancurkan semesta.
(Surabaya, 2022)
–
TUBUH UDARA
kami berlelangan di antara langit yang tersembunyi dari kepalamu meski separuh kesakitan telah masuk dan menusuk pori-pori, terkubur dalam ruang, kabut telah senyap meledakkan ajalku yang habis dibakar unggun lalu menjadi abu, ketiadaan membawaku berjejalan meski lamat-lamat mimpi menyampalkan seluruh fantasinya;
lenganku membawamu menuju sesuatu dengan melayang meski kamar-kamar membawa kami menuju tempat yang berbeda dari setiap keasingan yang melahirkan remuk bulan dalam sebuah ceceran dosa dan seiris ruh bukanlah mimpi yang tak membalikkan kami seperti hujan-hujan dari kesenangan menuju taufan bagi segala hantu-hantu;
kutekuk leherku tiga ratus enam puluh derajat lalu melepaskannya untuk menaiki tangga dan berubah menjadi naga, cahaya bolong, lelangit kembali memanggil jemari dan rambut-rambut yang sesat untuk kembali pada tubuhmu sebab kebencian menamai kita dengan pernyataan juga gambar-gambar dari asal muasal.
(Surabaya, 2022)
–
TUBUH RUANG TUBUH WAKTU
segalanya hanyalah satu, segalanya hanyalah satu, (segalanya hanyalah satu), kemakmuran dari tubuhku membuat ngilu tubuh tuhan yang tersembunyi dari dalam tubuhku, kukibaskan awan-awan namun hujan membanjiri kesenangan kami dari ketakberaturan kata-kata yang ditulisinya untuk mengilhami jalan-jalan terjal;
kubengkokkan lanskap, kekosongan telah bersembunyi menuju ketakkekalan pandanganmu, nama-nama, rumah, aku adalah aku yang tak bisa bersembunyi dari dalam pikiranku sendiri, segalanya hanyalah satu, segalanya hanyalah satu, (segalanya hanyalah satu) , keberulangan mengelupasi kulitku ke taman-taman lalu menempelkannya di telapak kaki siapa saja yang menemuinya;
malam gelap, sepasang anjing ataupun babi, menyusuri segala kota melucuti kebisingan lalu bercinta denganku, hanyalah raja dan suara menggema keseluruh tempat bersama kehampaan yang menyelimuti diri kami, el-a-el-a-el tuhan tubuhmu adakah tubuhku bersembunyi bersama, telah kaugantungi langit dalam lorong abu dan mewarnainya ke dalam tidur di tengah ruang dan kekosongan yang berjalanan dari detak ke detak.
(Surabaya, 2022)
–
BIONARASI TUBUH TUHAN
kita melihat apapun sama seperti hujan, awan-awan berjatuhan bersama tubuhmu dengan gerak cepat dan statis, lalu bagaimana kita menamai diri kita sendiri? kelahiran tumbuh menuju kehampaan bunga-bunga yang mekar berwarna seperti kita sepasang buah berkilauan menuju sorga, tanganmu melewati tembok dan tebing tinggi sedangkan tubuhku adalah tanah yang mengakar-menancap waktu, kubukakan seluruh pintu yang menampilkan seluruh aroma, warna, ataupun nyanyian bagi siapa saja yang menggeliat ketika matahari menuju puncak matamu yang tegap;
keabadian telah membeku menghabiskan ruang dari tanda dan asal-asal, dahan-dahan hitam, kegamangan, segalanya seperti katup yang menyiumi nyawa dari tepian jagat raya, kini bahkan kakiku berlipatan juga memandangi segala gemuruh tanpa kegusaran, kekejianlah aku, api-api membakar segala makhluk dari kabut dan pandangan yang memudar, kugigit ribuan dosa dan ladang gersang seperti sepi-sepi yang bergerombol;
maka berjalanlah, berjalanlah ke senyap-sunyi tubuhku, terbukalah segala rahasia dan hamparan bagi segala nyala, kuruntuhkan jejak-jejak bagi muasal, kau meruntuh dari segala yang kecil, mengelap bahasa, mengaliri segala barisan, menggelegar dan meluruhkan mimpi kepada segalanya dan duduk melihat segalanya dengan subtil.
(Surabaya, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA