Mengingat Palestina dalam Beberapa Puisi Mahmoud Darwish dan Puisi Lainnya

Ahmad Rizki

2 min read

000
—upaya meninggalkan Tahun 2024

Burung di tanah merah
menanti kekasihnya
selama senja menciut
dan Tangsel busuk berhenti
menertawakan takdir
Republik yang getir
ketika dinding kiamat
menghitung sedih
dari kenangan itu
segalanya menunggu usai
tapi burung di tanah merah
pergi-menghilang dari puisi
Burung di tanah merah
tak pernah tersenyum lagi
di pemberhentian ilahi
selama fajar jadi maya
dan gedung sombong
menangisi asa
ketika halaman kota
mengeja birahi
dari rayuan teknologi itu
segalanya menghela hujan
tapi burung di tanah merah
diam-diam pulang dari neraka

. Burung di tanah merah
melepaskan kekasihnya
selama bulan perak marah-marah
dan Tangsel jahat berhenti
memakan rahmat
ketika rumah itu
membuat seluruh tubuh
dari ancaman tak tahu malu
segalanya menunggu usai
tapi burung di tanah merah
menunggu angin dari sejuta doa.

(2025)

Mendengarkan The Doors

inspirasi selalu suci
dan hal lainnya mungkin berarti

aku adalah raja kadal Indian
dan rock and roll sekadar hiburan

tapi kesepian tak terserap oleh bintang
yang bersinar di dada yang matang

alkohol dan narkoba selalu sama
dan seksualitas bukan sekadar metafora

Awake.
come on, light my fire.
Awake.
When you’re a stranger
Faces look ugly
When you’re alone.

Rimbaud dan Nietzsche bukan hanya sosok
dan matahari kebenaran terbenam esok

panggung dan studio masih menyala
dan yang tersisa adalah nama

(2025)

Mengingat Palestina dalam Beberapa Puisi Mahmoud Darwish

Tanah ini, tempat nenekku mendendangkan
lagu pengantar jihad, dan anak-anak melukis
matahari di dinding retak, kini basah oleh marah,
buminya tersedak abu dan tulang, sebuah rumah
jagal di mana mata uangnya adalah neraka.

Aku selalu ada di sini, penyelamat dengan
pakaian murah, mengajari anak-anak
menghitung bintang dan mencuci tangan dari
penyakit. Aku melawan wabah seperti penjudi
mengejar keberuntungan, tapi sekarang aku
hanya menonton—seorang anak dengan
tulang rusuk serupa senapan, mengemis air
di selokan yang meluap oleh keputusasaan.

Bangunan ini, dinding-dindingnya pernah
mengenal tangis bayi yang baru lahir,
sebuah kuil daging dan keringat,
tempat suci untuk napas pertama kehidupan—
sekarang, hanya puing. Rudal terbang seperti
nyanyian tidur yang sumbang,
khotbah kematian ditulis dengan asap.

Ibu-ibu memeluk keheningan di tempat
bayinya dulu menangis,
dan kebenaran menghitung kemenangannya
di atas catatan kematian, di dalam penjara.

Kebanggaan telah hilang,
terlalu berat bagi tanah yang telah hancur lebur.
Tanah ini tak lagi bermimpi;
ia hanya mengingat,
dan bahkan ingatan itu mulai membusuk.

(2025)

008
—mendengarkan João Gilberto

samba adalah air mata
dan tanah air selalu berbahaya.

lautan tertawa
di sisi nada-nada
—acuh tak acuh—
dan yang tertinggal di masa silam
mulai dikhianati waktu.

jejeran rokok bergadang
dan lampu motor sepanjang jalan
seperti terjaga oleh nada
yang sebentar lagi akan terkekang.

samba adalah nada-nada
dan tanah di jiwa
menancap akar ideologi
—ingatan yang sekilas hilang
dan redup-remang yang terbuang—
yang terputus di dalam misteri

tapi apa yang bisa kita dengarkan?
di bawah pohon palsu
bau knalpot mabuk
membuat radang jiwa terketuk
dan samba dihirup perlahan
oleh mimpi.

(I only possess what 
God has given me.)

tapi apa yang kita dengarkan?
esok samba tetaplah sama
dan tas dari kulit buaya
adalah warna permainan
yang mengandung harapan.

samba adalah nyawa
dan Bossa Nova bukan sekadar nada.

tapi
ingatan dan sejarah
yang melekat di dada kita,
apakah sama?

(2025)

028
melihat coretan-coretan mirip Haiku

dinding-dinding kota
selalu ramai dengan cerita
dan bulan menegaskan nyanyiannya:
kuali retak pun
mendidihkan bulan purnama—
lapar tetap lapar.

Atap bocor hujan—
bulan jatuh ke panci seng,
mendidih lapar.

Panci berkarat—
asap dapur menjelma
hantu kelaparan.

Asap di lorong—
tangan-tangan menggapai
bulan yang retak.

Di lorong sempit,
bulan menjahit mimpi-mimpi
dari nasi basi.

Piring retak berdebu
nasi dingin berbisik lirih
bulan tetap utuh.

Tirai sobek tipis,
bulan jatuh di piring seng,
bayangan lapar.

Koin berkarat jatuh—
hantu lapar di gang sempit
mencari sarapan.

Dapur berjelaga,
panci berbisik pelan:
“Nanti kau kenyang.”

Di jalan sempit,
bayangan raja berdebu,
kemiskinan menari.

Dinding-dinding kota
selalu ramai dengan suara
dan yang tersisa hanyalah cerita.

(2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ahmad Rizki

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email