KEPALAKU PEDESTRIAN
isi kepalaku adalah pedestrian berbaru pesing
retak pematang jalan—kaleng-kaleng kosong
angin sangat malas menjemput aroma
dan jalan yang terhenti di lampu merah
di kiri-kanan gedung berlomba menjulang
bagai raksasa langit yang sengaja dibuang
tangan-tangan besi terulur liar ke angkasa
menyimpan kehidupan dalam perut beton mereka
di sana, pikiranku seperti langkah pincang
mengejar bayangan hujan yang tak jadi
sementara mimpi itu ditulikan kaki-kaki
tersapu oleh bising roda motor berkali-kali
bah! orang sepertiku hanya semut di permukaan
berjalan cepat tanpa bekas jejak di pandangan,
sebab dunia ini delusi mengabur berbalut neon
dan jerit kemelaratan—lebih nyaring dari aerofon
melangkah khusyuk berulang ke jantung kota
letih berdetak layaknya nadi dari ujung kepala
mencari sesuatu yang tak kunjung kutemukan
mungkin satu dua lembar senyuman
atau sekadar suara hati yang dirindukan.
(2024)
–
MELIHAT BERITA PAGI INI
kulihat ibu telah mati di tanah pertiwi
yang katanya gemah ripah loh jinawi
apakah menanak nasi mengukus ubi
perlu korbankan nyawa berkali-kali?
di lain tempat ada yang tak kenal kasihan
uncang-uncang kaki asal atur kebijakan
mereka bercanda di meja penuh hidangan
sementara ibu rebah di tengah kelaparan
siapa yang menanggung kepergiannya?
rakyat dibiarkan bermimpi di tumpukan janji
seakan derita hanya sekadar kabar burung
yang tak perlu didengar apalagi ditanggapi
(2025)
–
PESTA KECIL-KECILAN
trotoar sempit melebarkan setiap sisinya
di sepanjang padat lalu lintas cikini
menteng huis sampai taman ismail marzuki
disambutnya langkah kecil dan bincang sederhana
berpayung pohon tabebuya yang belum berbunga
sebab musim di akhir desember
nampaknya sangat serasi
dengan anak sekolah yang berlibur hari ini
aroma jalanan layaknya mantra
asap jajanan menari-nari di udara
sepotong petang terselip di antara bakpao dan kopi hangat
hendaknya semua tersaji seperti jamuan untuk perayaan
yang tak butuh alasan
dan di bawah langit yang ikut riang
suasana ini tak sekadar penghubung—
ia adalah perjalanan itu sendiri:
pesta kecil bagi senyum hangat yang dirayakan
(2024)
–
CAHAYA
setenang-tenang bunyi kesenyapan
ada cerita yang pasrah digantungkan
pada ambang doa dan peruntungan
riak air yang disinggungkan bebatuan
dan sungai tetap mengalir; kendati
ombang-ambing bergejolak—bergantian
beberapa padam melebur seisiku
menyisir terang yang semula deru
serupa unggun bersahut api
dan gerimis hampir menyatu
indahnya dekat, dekat sekali
dengan wewangian bunga
bintang meranum pada tangkainya
juga mata yang memeram sabda
selebihnya kini adalah, tiada.
(2024)
–
SI BUNGSU YANG HARUS WARAS
katanya akulah keanehan yang hambar
sengaja menanam duka tak tersabar
untuk lebatkan sorai kemunafikan
di setiap candaan pada jam-jam rawan
nyatanya aku adalah hati yang tertelan
di setiap ingatan, mencari tenang dari
butiran antidepresan, juga harap pada
sirna yang nyata, di setiap kemalangan
yang hampir jera di antara tawa
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA