Sepasang Kekasih di Atap Seng
Malam merambat di genting tua,
dua bayang berjalan pelan,
berbisik dalam bahasa yang tak kupahami.
Lalu suara mereka pecah—
lengking panjang, parau, memaksa.
Aku terjaga dalam tanya:
kenapa cinta harus bermula dari luka?
Si jantan merengkuh, menekan,
si betina berontak, berlari,
tapi tak ada jeda untuk memilih,
karena di dunia mereka,
pernikahan hanyalah nama lain dari penyerahan diri.
Tak bisakah mereka menunggu?
Seperti kita yang menanti waktu
hingga cinta menjadi perjamuan
bukan pertempuran?
Namun sebelum jawab kutemukan,
dari balik jendela terdengar suara
mengusir mereka ke kegelapan,
“Enyah!”
seakan tak ada tempat
bahkan bagi cinta yang dipertanyakan.
Mereka pergi—
tapi esok atau lusa,
di atap yang sama,
jerit itu pasti kembali,
sebab bahkan cinta paling buas
butuh negosiasi sebelum menikam.
(2025)
–
Jejak Hasrat di Dinding Kota
Ia bukan penyair, tapi menulis—
dengan tinta yang menguar tajam,
di pagar, di tiang, di roda sepeda,
di kaki kursi dan meja,
menggurat tanda: akulah pemiliknya!
Ia bukan penyanyi, tapi berseru—
di bawah bulan, di atas genting,
lagu lengkingan yang tak merdu,
tapi nyaring memanggil kekasih.
Mengapa tak kau hampiri saja?
Mengapa harus menulis bau?
Bukankah cinta tak butuh peta,
hanya keberanian untuk bertemu?
Tapi ia tak peduli bahasa kita,
ia hidup dalam hukum yang tua—
tentang jejak, wilayah, dan wangi,
tentang asmara yang tak kasat mata.
Dan kita, yang mengerutkan dahi,
mungkin hanya makhluk asing baginya.
(2025)
–
Litani Betina di Puncak Malam
Di puncak malam, kau lantunkan kidung
nyaring, panjang, menusuk sunyi
seperti doa tanpa tangan terkatup
seperti nyala tanpa api
Betina, suaramu jala
menangkap jantan dari seberang pagar
mereka datang, mata menyala
mengendus isyarat, mencium undangan
Namun saat perjamuan dimulai
kau meronta, kau mencakar
jeritmu merobek udara
seperti luka yang disengaja
Betina, lalu apa maumu?
Jika ingin dijemput, mengapa menghardik?
Jika ingin bersanding, mengapa menggigit?
Ataukah hasrat harus diuji dahulu,
dengan luka, dengan pertempuran,
agar cinta lebih sahih?
Malam terus mengulang kisahmu
lengking demi lengking
pertarungan demi pertarungan
sementara manusia diam di bawahnya
mendengar, bertanya,
dan tak selalu paham.
(2025)
–
Tak Ada Nama Ayah di Pangkal Lidah
Di hening malam, sepasang mata kuning berkilau,
seekor betina melengkungkan tubuhnya di sudut sepi,
di antara tumpukan kardus dan sunyi,
menjilati anak-anaknya dengan kasih yang tak berbatas.
Ia tak bertanya di mana sang jantan pergi,
tak menuntut jejak kaki yang menghilang,
tak memanggil dengan jerit rindu,
karena dunia mengajarinya:
cinta seorang ibu adalah kelahiran,
sedang cinta seorang jantan hanyalah embusan angin.
Di dada sang betina, ada nyawa yang melekat,
menyusu di puting luka,
menggigil di peluk hangat,
diajari berlari, diajari berburu,
diajari bahwa hidup ini bukan tentang bertanya,
tapi tentang bertahan.
Tak ada nama ayah di pangkal lidah mereka,
tak ada bayang wajah yang harus diingat,
hanya ibu, hanya ibu, hanya ibu,
seperti batu yang tak menuntut sungai
untuk kembali mengalir ke hulu.
Mungkin, jika mereka bisa bicara,
mereka pun takkan menuntut,
karena hidup sudah dituliskan seperti itu.
Tapi, tidakkah sesekali malam terasa lebih dingin
tanpa dada jantan yang menghangatkan?
(2025)
–
Aku Tidak Mengeong Sia-Sia
Aku tidak mengeong sia-sia,
bukan sekadar merajuk,
bukan sekadar meminta,
tetapi agar kau mendengar.
Aku melangkah tanpa suara,
sebab dunia mengajarkanku,
bahwa yang tak terdengar, tak diusik.
Aku tidur sepanjang hari,
sebab malam adalah panggung,
tempat mataku menyala,
dan leluhurku berbisik.
Aku mengeong padamu,
karena di antara kami,
cinta tak diucapkan—
hanya tertanam dalam tatapan
dan kibasan ekor yang kau abaikan.
Aku menggosokkan kepala,
bukan sekadar bermanja,
tetapi menandaimu sebagai rumah.
Aku membawakan bangkai tikus,
bukan untuk membuatmu jijik,
tetapi karena di duniaku,
memberi makan adalah tanda cinta.
Aku menatapmu dalam diam,
karena manusia terlalu banyak bicara,
terlalu jarang memahami.
Jika kau tahu bahasaku,
kau akan mengerti,
setiap kedatanganku adalah kepercayaan,
dan setiap tidurku di pangkuanmu
adalah bukti bahwa aku,
akhirnya merasa aman.
(2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA
Kelasss🔥