“Lagi-lagi hantu itu memangsa seseorang, Nak.”
“Dan lagi-lagi karena orang itu memiliki sebuah lukisan?”
“Tidak ada alasan lain,” jawabnya dengan tatapan tajam yang meyakinkan.
“Tetapi bukankah Jumat Kliwon itu datangnya esok, Pak?”
Yang ditanya hanya bergeming, lalu melempar jauh pandangannya ke balik jendela kaca, meraba setiap hitam peristiwa yang belum lama telah tercatat di jalan itu. Di sana, dalam kelengangan dan juga gelap pekat yang agak memikat, tengah terbaring kaku satu rangka tak lagi bernyawa yang disamarkan oleh hujan. Tidak ada yang mengetahuinya siapa orang itu dan bagaimana darah segarnya bisa menyusur bebas di sana kecuali satu terkaan dari mereka: hantu itu telah datang dan memangsanya.
Pada situasi yang membingungkanmu sekarang ini, kau hanya bisa menelan ludah demi membasuh rongkongmu yang meskipun hujan tampak menyerang cukup deras dari balik jendela, kersang tenggorokanmu tak lagi terbilang, seolah-olah kau terdampar pada padang tandus yang luasnya tak memiliki sudut. Membuat hujan malam ini begitu mendedarkan dadamu. Dalam pikiranmu, kau, yang masih belum menginjak Sekolah Menengah Atas, merasa kabar-kabar yang kerap kali menyebar dari orang-orang tempatmu tinggal terlalu cepat kau dengar. Ini tak seperti dongeng yang bapakmu kisahkan beberapa hari yang lalu setelah seorang laki-laki di tempatmu, Bang Slamet, dengan tengkurap ia muncul di permukaan kali. Tubuhnya penuh dengan luka yang membikin siang itu merinding setengah mati. Orang-orang yang menonton kematian misterius itu pun sibuk memberikan argumennya masing-masing terkait penyebab mayat Bang Slamet mengambang di kali.
“Barangkali dia bunuh diri.”
“Bunuh diri dengan apa sampai lukanya begitu banyak dan mengerikan?”
“Mungkin dibunuh orang jahat.”
“Atau bisa saja tertembak peluru yang salah sasaran.”
“Apa mungkin diterkam binatang buas?”
“Harimau? Macan? Singa? Mustahil ada di sini.”
“Kasihan, ya, dia.”
Dan pendapat-pendapat itu tak lebih bagai angin lalu. Menyambar dan menghambar.
“Kau tak perlu terlalu memikirkannya, Nak. cukup kita doakan saja supaya Bang Slamet mendapat kedamaian di sana.” Bapakmu menasihati setelah beberapa hari kejadian itu berlalu, kau masih sering terlihat tercenung memikirkan akhir dari hidup Bang Slamet yang betapa mengenaskan dan tidak ditemukan hitam-putihnya.
“Aku masih sangsi, Pak. Siapa yang melakukan hal kejam seperti itu kepada Bang Slamet? Bukankah Bang Slamet itu orangnya lurus saja? Bahkan tak jarang kulihat dia berbagi kebaikan kepada orang-orang di sini.”
Bapakmu diam sejurus. “Sudah pasti karena Bang Slamet menyimpan sebuah lukisan,” ucapnya kemudian.
“Maksudnya, Pak?”
“Ah, mungkin ini waktu yang tepat untuk menceritakan sebuah dongeng yang perlu kau ketahui,” balas bapakmu seolah baru saja teringat sesuatu.
“Cerita apa, Pak?” Dengan antusias kau bertanya.
“Dengarkanlah baik-baik, Nak. Ini adalah sebuah dongeng dari leluhur kita yang sudah turun-temurun diabadikan. Kau hendak menganggap ini adalah sebuah dongeng semata atau tidak, itu tak jadi perkara. Yang pasti kau harus tahu bahwa pada Jumat Kliwon, akan muncul para hantu yang haus akan nyawa manusia. Kedambaan yang dimiliki oleh hantu itu ialah membunuh manusia dengan berbagai cara yang kejam. Ia tidak akan memandang mangsanya apakah orangnya baik atau jahat, laki-laki atau perempuan, pemuda, atau bahkan orang tua. Seperti yang dialami Bang Slamet.”
Kau menyimaknya dengan saksama sampai tak sadar tubuhmu bergetar sendirinya.
“Yang membedakan dengan hantu lainnya ialah hantu itu tidak memangsa sembarang manusia, ia hanya akan memangsa manusia yang memiliki lukisan. Sampai sekarang tidak ada yang mengetahui mengapa hantu-hantu itu hanya memangsa manusia yang hanya memiliki lukisan.”
Siliran yang terasa di kamar tempatmu berada disapu dengan lekas oleh cerita yang baru saja kau dengar. Kemudian malam itu semakin mencengkam.
“Lantas hantu itu akan kembali muncul pada Jumat Kliwon yang akan datang? Kemudian mulai memburu manusia-manusia yang dipilihnya. Itu sebabnya hantu itu tidak akan memburu nyawa kita karena kita tidak memiliki lukisan, bukan?”
Hanya senyum yang tak kau ketahui maknanya yang kau dapatkan dari pertanyaanmu itu.
Mula-mula kau berpikir bahwa dongeng yang bapakmu ceritakan merupakan salah satu dongeng pengantar tidur yang pada umumnya dapat diterima dengan sewajarnya oleh anak-anak seumuranmu. Namun, yang membuatmu sering membatin ialah kematian Bang Slamet apakah benar lantaran hantu-hantu di dalam dongeng itu? Dan bukankah dongeng tetaplah dongeng? Tidak melewati batas kehidupan yang ada.
“Sepertinya hantu-hantu itu tidak cukup memangsa pada Jumat Kliwon saja, ia pasti membutuhkan nyawa lebih.”
Akhirnya yang ditanya menjawab setelah beberapa menit kau didera ketegangan malam. Kegelisahan tiba-tiba saja tampak pada air muka lawan bicaramu.
“Ini kesekian kalinya hantu itu datang bukan pada Jumat Kliwon. Bapak pasti belum melupakan kematian misterius dua hari yang lalu, Bukan?”
“Ya, Bapak tidak menyangka jika dua mayat itu tak lain adalah Pak Kusno dan Mbak Mirnah. Sudah dipastikan keduanya memiliki ….”
“Bukan soal itu, Pak.” Kau menyanggah dengan segera. “Tapi siapa yang tidak tahu kalau Pak Kusno adalah seorang guru yang mendedikasikan hidupnya untuk mengajar mereka-mereka yang tidak duduk di bangku sekolah? Dan Mbak Mirnah, Ia hanya penjaga salon biasa, bukan?”
“…”
Orang tua itu hanya terdiam, di tengah diamnya itu ia hanya kembali memikirkan bagaimana bisa mayat dalam karung yang tergeletak di dekat pasar dengan tubuh yang penuh daging menganga dan melepuh ternyata adalah Pak Kusno. Lalu wanita dengan tali yang menjerat lehernya dan tergantung di sebuah kios seberang terminal ternyata adalah Mirnah.
“Sampai kapan kematian tak berakar ini terus berlangsung? Sementara di radio, atau surat-surat kabar hanya menganggap kematian orang-orang tak bersalah yang terjadi sekarang ini adalah musibah biasa yang tak perlu dipusingkan oleh masyarakat seperti kita.”
“…”
Orang tua itu tetap terdiam. Ia merasa jawaban yang akan dilontarkannya tidak cukup untuk memuaskan hatimu yang malam ini kembali bertanya-tanya dalam ketakutan. Baginya tidak menjawab pertanyaanmu adalah sebuah jawaban yang bijak. Sementara itu, hujan di luar sudah tanggal dan tinggal menyisakan renyai. Di saat yang seperti ini kau ingin sekali melompat dari jendela lalu pergi ke tempat mayat itu terbaring. Sekadar memastikan apakah ia benar-benar seseorang yang berhak dibunuh atau tidak. Namun, seperti anak-anak yang sepantar denganmu, tentu daya keberanianmu akan ciut untuk melakukan hal itu.
“Sudah, segera tidur, esok kau ada sekolah, bukan?” Ayahmu memecah kesunyian.
“Tapi ….”
“Soal mayat itu? tenang saja, petugas keamanan pasti membereskannya nanti.” jawabnya santai dengan tujuan menenangkan hatimu.
Mayat itu, ya, mayat yang tentunya masih tergeletak di sana merupakan mayat yang ketiga pada minggu ini di tempatmu. Seperti mayat-mayat yang lainnya, mayat itu tiba-tiba saja muncul pada tengah malam atau hampir memasuki waktu Subuh di tempat-tempat yang dipastikan ramai oleh aktivitas warga: di jalan raya, di pasar, di terminal, bahkan di sudut-sudut gang tempat warga berlalu-lalang. Dan esoknya ketika mayat itu sudah mulai membusuk dan baunya memangkung hidung, para petugas keamanan yang berwenang terlebih dahulu seperti memberikan tontonan gratis mengerikan kepada warga sebelum mayat itu benar-benar dibawa ke rumah sakit. Banyak warga yang melayangkan protesnya kepada petugas ketika mereka lagi-lagi sengaja memperlambat evakuasi, termasuk kau yang pagi ini hendak berangkat ke sekolah.
“Sudah, langsung bawa saja, Pak!” sahut salah seorang warga.
“Sudah tahu baunya busuk, malah dibiarkan,” keluh yang lain.
“Tak apa, biar tahu rasa, ha ha ha.” Dengan tegas si petugas menjawab dan menyeringai seperti hewan buas.
“Tapi banyak anak-anak di sini, Pak.”
“Diam! Kota ini butuh kedamaian, tahu,” sergah petugas yang lain.
“Kedamaian tahi kucing!”
“Heh! Kalau melawan, saya bawa kamu!”
Dengan mendengus kesal, mereka yang menonton pun undur diri.
“Warga tidak tahu untung!”
Sesampainya di sekolah dan pembelajaran tengah berlangsung, kau masih tidak bisa melayangkan pikiranmu selain tertuju pada tontonan mengerikan yang baru saja kau lihat tadi. Masih termaktub dengan jelas bahwa mayat yang semalam kau dan Bapak lihat tak lain adalah Pak Udin, bekas guru mengajimu. Ia memang sudah dua tahun tidak lagi mengajar karena hendak merantau ke kota lain. Namun, siapa sangka kalau ia kembali ke tempat asalnya dengan cara yang mudah diingat sekaligus mengerikan, sebuah kematian yang mengenaskan. Dalam kegamangan yang luar biasa gamang tiba-tiba kau tersadar oleh satu hal yang kau pikir masuk di akal: Pak Udin adalah sahabat bapakmu, dan bukankah malam nanti itu Jumat Kliwon?
***
Malam telah kelewat larut. Senyap mencekam, tiada perasaan selain itu. Jauh di luar sana bulan enggan membagi seluruh tubuhnya, hanya separuh. Namun, cantik binarnya masih tersampaikan dengan baik ke kota ini. Dari balik jendela kaca, kau menanti-nanti kedatangannya. Tak biasanya kau mau membagi waktu tidurmu untuk hal yang jarang sekali kau lakukan kecuali jika rasa laparmu datang. Bahkan andaikata dalam tidurmu kau terbangun dan bapakmu belum pulang dari pekerjaannya, kau akan kembali tidur tanpa perlu menunggunya dengan waswas seperti malam ini. Berulang kali kau melirik jarum pendek yang bertengger di hadapanmu, selalu berubah. Sekarang jarum itu masih berhenti di angka dua, dan malam kian berjalan.
Setelah beberapa jam kau mematung di balik jendela kaca itu, pada sudut gang yang dapat kau amati kendati pun samar, tampaklah yang ditunggu-tunggu sedari tadi. Akhirnya kau bisa mengatur napas dengan lega sampai-sampai tidak menyadari tepat ketika beberapa langkah lagi bapakmu menginjakkan kakinya di halaman rumah, ternyata ada sebuah jip hitam dengan lampu yang mati mengikutinya. Bruk! Jelas siapa pun akan terkapar tak berdaya jika dihadapkan oleh moncong jip itu dengan sekonyong-konyong. Perasaan panik dan bergidik menyerbumu dengan sangat cepat. Ketika ketangkasanmu membuka jendela kaca kau lakukan, kau terhenti dan mendengar dengan samar keributan yang melibatkan bapakmu dengan beberapa orang berpakaian serba hitam yang tak tampak wajahnya barang sedikit pun.
“Buka bajumu! Cepat buka!”
“Jangan, Pak. Tolong! Anak saya tidak memiliki siapa-siapa lagi selain saya.”
“Buka atau saya selesaikan sekarang juga!?”
Yang sudah tak berdaya terpaksa membuka bajunya setelah keningnya dientak popor.
“Wah, ternyata gali, keparat juga kau! ha-ha-ha.”
“Saya bukan gali, Pak. Ini hanya….”
Dor … dor … dor … dor … dor … dor …
Waktu berjalan sangat singkat. Sesingkat bagaimana mereka menghabisi bapakmu lalu meninggalkannya begitu saja. Menjadikan bapakmu tak ubahnya seperti tikus yang tak sengaja terlindas kendaraan. Kau pun hanya membeku di tempat, segala yang kau lihat kian mengabur, tidak ada yang bisa kau lakukan apa-apa lagi selain menarik sebuah simpulan dan pertanyaan: Bapak sudah berbohong, mereka bukanlah hantu seperti dalam dongeng yang dikisahkan Bapak dan …
Sejak kapan Bapak memiliki lukisan di tubuhnya?
*****
Editor: Moch Aldy MA