Sate Prawirotaman

Abdillah Danny

2 min read

Setiap kali pulang malam dari kegiatan kampus, saya selalu lewat Prawirotaman. Di sana, sebelum pertigaan pom bensin, berdiri berjejer-jejer aneka diskotek. Itu adalah kawasan kampung turis, kata orang-orang. Saya sengaja lewat situ, sebelum belok kanan, pulang ke Pondok Krapyak. Lumayan bisa curi-curi pandang, melihat Yogya di malam hari, pikir saya. Sesekali juga saya bungkus seporsi sate untuk makan bersama kawan yang masih terjaga. Biasanya, kawan itu adalah Sapik dan Opal.

Suatu kali saya heran. Jarak antara Prawirotaman dan Krapyak begitu dekat, tetapi rasanya seperti berada di luar negeri saja. Di diskotek itu banyak tamu-tamu mancanegara. Sepertinya kebanyakan orang Prancis atau Jerman. Kedatangan mereka biasanya disambut penyedia jasa wisata. Mereka akan diarahkan ke diskotek itu untuk menikmati degup irama bass yang kencang. Ada lampu warna-warni kemerlapan dalam kecepatan tinggi. Itu membuat matamu pusing, kalau-kalau kamu asalnya dari desa, seperti saya. Bahasa mereka bahasa Inggris. Pakaian mereka minim bahan.

Sementara tamu mancanegara di Krapyak paling-paling dari Timur Tengah, atau pol-polan mungkin dari Turki. Kedatangan mereka biasanya disambut dengan ketipung hadrah serta puji selawat. Bahasa mereka bahasa Arab. Pakaian mereka jubah-jubah menjuntai.

Terkadang saya jumpai pula seorang kawan atau juga tokoh terkenal sedang bergoyang mengikuti alunan musik yang bersahut-sahutan di diskotek itu. Beberapa kali saya dapati kawan saya seorang atlet pencak silat, sampai orang terkenal seperti selebgram atau aktor film seri. Tetapi yang paling sering saya jumpai adalah para penyair. Saya sering membaca puisi-puisi mereka, dan saya saksikan mereka seperti takluk pada malam, tanpa lembar kertas atau sebatang pena.

Jujur saja, saya penasaran. Bagaimana jika kedua kubu itu bertemu? Pernah suatu kali saya mencegat turis. Waktu itu saya bersama Sapik dan Opal. Turis yang kami cegat itu adalah seorang negro kekar dengan wanita cantik di sampingnya, yang kalau saja mereka bukan turis dapat dipastikan bahwa wanita itu adalah istrinya.

“Where are you from, Sir?” tanya saya, sok paham bahasa Inggris.

Negro itu menjawab panjang, yang intinya dia berasal dari Prancis, sementara wanita itu, kawannya—“Meilleur ami” sebutnya—berasal dari Belgia. Sapik lantas menyebut nama-nama Prancis yang dikenalnya seperti Benzema hingga Camus. Sementara Opal bertanya, “Do you know Sego Kucing?”

Mereka cuma ketawa-tawa saja, sambil sesekali wanita itu mengambil video.

Tetapi waktu itu hari masihlah pagi. Pasar masih penuh orang-orang. Diskotek pun lelap dalam tidur. Saat itu, saya hendak berangkat kuliah, dan lantas menyesal karena jadi terlambat. Begitu juga Sapik dan Opal. Pakaian kami pun biasa saja. Atasan kemeja kain, celananya denim, dan bersepatu kulit. Tidak membawaserta identitas santri Krapyak.

Lalu, bagaimana jika ada dua orang, yang benar-benar membawa penuh identitas masing-masing, bertemu di tengah-tengah?

Santri Krapyak bersarung batik bersongkok hitam, barangkali mencari makan malam-malam. Sementara seorang bule, atau orang-orang yang saya jumpai di diskotek itu, berpakaian terbuka; bir di tangan kiri, gelas di tangan kanan, sedang mengayun badan dalam tempo yang sesuai. Apa yang bakal terjadi?

Tetapi cepat-cepat saya buang pikiran itu. Di antara banyaknya kemungkinan, otak saya cenderung didominasi kemungkinan yang mengerikan. Hati saya jadi deg-degan. Seperti salah satunya begini.

Dua santri Krapyak sedang mengantre untuk membeli sate. Kemudian terdengar suara pecahan kaca dari arah diskotek, dibarengi irama bass yang berdegup-degup kencang.

Terdengar teriakan keras dari sana, “Mereka pelakunya!” Dua santri Krapyak itu tenang saja, tidak merasa terlibat. Kepala mereka sedang sibuk menerka-nerka rasa sate ayam ketika disantap di malam yang lapar. Mereka menyaksikan daging yang diiris tipis-tipis, kemudian ditusuk satu-persatu. Bagaimana gerangan rasanya, pikir mereka.

Tetapi kemudian terdengar teriakan lagi, “Tangkap!” Dua santri Krapyak itu dikeroyok. Tangan dan kakinya dicengkeram. Ada sekitar sepuluh orang. Tidak jelas siapa mereka, tetapi jelas ada aroma yang membuat mual dua santri itu. Kemudian amis darah. Pipi ditonjok, bibir pecah. Seseorang mengambil balok kayu, menggaprak mereka. Dua santri itu berlindung di balik silangan tangannya. Seseorang mengeluarkan pisau. Perut seorang santri ditusuk. Seorang lagi berhasil menghindar, tetapi tetap tertusuk juga punggungnya.

Saya tidak berani membayangkan kelanjutannya. Saya takut. Tetapi sialnya, datang seorang kawan mengabarkan. Saat itu saya sedang ronda di pos jaga. Pos itu joglo, di bawahnya ada kolam, dan ikan-ikan sedang tidur atau berenang. Pantulan rembulan tak tampak di permukaan air. Begitu juga bintang. Seakan ikan-ikan itu telah menelannya. Hanya bunyi gemercik tipis menemani telinga saya yang kesepian. Dan datanglah kawan saya itu, terengah-engah, tergopoh-gopoh.

“Sapik dan Opal, Kang.”

Saya berdiri, belum tahu ada apa, tetapi hal buruk pasti terjadi.

“Mereka dikeroyok para pemabuk di Prawiro.”

Saya sambar sembarang motor, kemudian melaju secepat mungkin.

Di tengah jalan, saya menyesali bayangan kemarin hari. Beberapa hal sepertinya lebih baik dibiarkan terpisah. Saya teringat para turis, penyair, orang Prancis, orang Belgia, dan Sapik, dan Opal. Ya, Allah…

*****

Editor: Moch Aldy MA

Abdillah Danny

Pada Satu

Palito - Palito -
4 min read

Cermin

Rizki Muhammad Iqbal Rizki Muhammad Iqbal
13 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email