Embusan angin malam disertai hujan menemani kepergianku malam ini. Jalanan tanah sekarang sudah becek dan penuh genangan air. Aku terus berjalan, sebisa mungkin menjauhi rumah penduduk. Bisa saja tentara sedang melakukan razia dan aku akan ditangkap dengan tuduhan mata-mata GAM, lalu berakhir seperti kebanyakan warga yang dihilangkan.
Sebelum subuh aku harus tiba di Pasilhok dan menemui seseorang bernama Darwis Djeunib.
Sebenarnya terasa berat bagiku untuk meninggalkan Ayah dan Ibu di kampung. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain semasa perang ini. Membantu GAM bisa ditangkap militer Indonesia, membantu tentara dibilang mata-mata dan pengkhianat rakyat.
Sejauh yang kutahu, tentara itu hanya melawan sesama yang bersenjata tetapi seringkali kamilah yang jadi korbannya. Aku dengan sadar tentu mendukung dan mencintai perdamaian. Bagiku, perang hanya menawarkan banyak masalah, merenggut banyak nyawa, mengorbankan banyak waktu dan materi. Perang tidak menghasilkan apa-apa selain luka.
Malam ini, tekadku pun sudah bulat untuk meninggalkan Aceh, tanah kelahiranku; negeri hijau yang subur dengan segala tumpahan darah di atasnya.
Malam sebelum aku pergi, beberapa Kombatan GAM yang masih memiliki hubungan keluarga dengan ayahku singgah di rumah. Mereka meminta makanan dan uang secukupnya. Aku sudah memperingatkan Ayah agar jangan menjamunya. Setelah mereka pergi, Ayah langsung menyuruhku lari ke Malaysia karena esok hari pasti ada warga yang melapor kalau rumahku didatangi Kombatan GAM.
Tentara akan menggeledah rumahku dengan seenaknya, lalu ada saja yang mereka bawa pergi; perabotan, beras, hewan ternak, bahkan nyawa. Kakakku salah satunya.
Setelah dua jam berjalan kaki aku memutuskan berhenti sejenak, bukan karena lelah tetapi yang kulihat di depan sungguh sangat mengancam. Aku melihat sebuah perkampungan, begitu hening, tak ada warga yang berkeliaran. Tiga puluh meter di depanku terlihat sebuah pos penjagaan tentara. Aku memilih duduk di bawah pohon besar yang mulai meranggas, sekadar memikirkan bagaimana caranya aku bisa lolos.
Hujan yang yang turun sepanjang sore sudah berubah menjadi gerimis ketika aku bersandar di pohon. Aku memejamkan mata, mencoba melupakan semua kenangan dan luka sesaat. Aku mengamati sekeliling, kiri kanan jalan terdapat parit kecil penuh ilalang tebal setinggi kepala orang dewasa. Sudah tentu aku tidak akan merayap di parit, bisa saja tentara memasang ranjau di sana.
Aku lalu membuka ransel yang kubawa dan mengambil beberapa pakaian sebagai pelapis. Setelah kupikir-pikir, lebih baik aku membuang ransel agar tubuhku lebih lincah bergerak. Aku pun mencoba membelah ilalang dengan kedua tangan. Kurasakan kulitku mulai menempel banyak duri, perih dan berdarah. Kedua tanganku sudah terlalu sakit, aku pun merayap menggunakan kepala.
Sesekali aku melihat cahaya senter tentara diarahkan ke ilalang. Aku hanya perlu berhati-hati menyentuh ilalang agar gerakannya tidak mencurigakan. Setelah merasa sudah cukup jauh melewati mereka, aku kembali ke jalanan.
Kucabut duri yang masih menempel di sekujur tubuh. Baju sudah koyak, basah, dan kotor penuh darah. Sandal juga sudah putus. Aku menginjak ranting pohon dan semak berduri. Kakiku mulai terasa sakit.
Katak berketur dan jangkrik mulai mengerik. Bulan menyingkirkan awan yang menutupinya. Hujan benar-benar sudah berhenti. Seolah itu semua sebagai perayaan atas keberhasilanku melewati pos penjagaan tentara.
Setelah tiga jam berjalan kaki dari pos penjagaan tentara, akhirnya aku sampai di Pasilhok. Aku ingat, kalau rumah Darwis Djeunib adalah satu-satunya rumah yang berada di pantai ini. Rumah kecil berdinding bambu dan beratap ijuk.
Aku menyusuri garis pantai, mencari rumah yang dekat dengan hutan pantai. Ketika rumah itu kutemukan sudah banyak orang berkumpul di sana. Tidak hanya laki-laki dewasa, ada banyak perempuan dan anak-anak. Beberapa dari mereka ada yang menangis sambil bersujud di hadapan salah seorang yang dapat kupastikan itu adalah pemilik kapal, Darwis Djeunib.
“Bawalah anak dan istriku ke Malaysia. Aku akan di sini mencari uang dan membayarnya ketika kau kembali ke Aceh,” ucap seorang lelaki paruh baya.
“Darwis, aku mau ke Malaysia,” ucapku dengan tegas.
“Kau bawa uangnya?”
“Ini!” Aku menunjukkan plastik hitam kepadanya.
“Satu juta!”
“Satu juta? Darwis, tolonglah, aku hanya ingin ke Malaysia. Bukankah kapalmu ini juga ilegal?” Aku mencoba membujuknya.
“Kapalku memang ilegal. Kau tahu sendiri kalau sekarang ini semua jadi sulit dan mahal. Aku juga harus membayar uang keamanan kepada polisi Malaysia nantinya.”
Aku betul-betul terkejut mendengar jumlah ongkos yang Darwis minta. Sejak kapan ongkos kapal bisa sampai semahal itu? Apalagi selama konflik ini orang-orang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Jika pun ada, bisa saja nyawa sebagai taruhannya. Pap ma! Dengan terpaksa aku memberikan semua uang hasil penjualan ternak yang kusimpan.
***
Kami berlayar ketika subuh menggunakan kapal kecil yang seharusnya hanya cukup menampung sepuluh penumpang tetapi oleh Darwis dipaksa membawa dua kali lebih banyak. Aku duduk di bagian depan perahu bersama seorang lelaki yang terlihat seumuran denganku.
Selama perjalanan aku termangu. Hanya gemercik air laut menyentuh dinding kapal yang terdengar. Aku memandang sekeliling, orang-orang terlihat membisu selama perjalanan tetapi mungkin di dalam hati mereka sedang merapal doa-doa. Mata mereka menatap kosong ke depan, bisa kulihat beratnya beban hidup dari sorot mata mereka.
Sejujurnya aku merasa takut selama perjalanan ini. Aku tahu ada banyak bahaya yang siap kapan saja menimpa kami. Badai bisa saja menenggelamkan kapal. Patroli maritim bisa datang kapan saja menangkap kami. Apalagi mempercayakannya kepada seorang penyelundup mata duitan seperti Darwis ini. Tapi, aku sudah banyak melewati situasi berbahaya dan menakutkan selama di Aceh. Bagiku ketakutan sudah seperti rutinitas.
Sudah cukup lama kami berlayar tetapi daratan belum juga terlihat. Hingga Darwis memaksa kami untuk turun. Beberapa penumpang lantas melawan. Mengeluarkan segala macam sumpah serapah yang mungkin sudah disimpan selama bertahun-tahun.
Kami disuruh berenang ke pantai yang bahkan sejauh mata memandang belum juga terlihat wujudnya. Kulihat Darwis mengeluarkan AK-47 dari plastik hitam yang dia bawa, kemudian mengancam penumpang yang tidak mau turun. Beberapa penumpang akhirnya satu demi satu melompat ke laut seraya memegangi dinding kapal sebagai penahan agar tetap mengapung.
“Kapal patroli maritim Malaysia sudah mendekat. Aku harus pergi, masih banyak orang Aceh yang harus kuselamatkan,” ucap Darwis sembari menodongkan AK-47-nya kepadaku.
Sontak aku langsung melompat ke laut, bergabung bersama penumpang yang lainnya. Dari kejauhan aku melihat ada seonggok kapal. Beberapa penumpang kulihat masih memegangi dinding kapal, beberapa lagi mencoba berenang mencari daratan.
Darwis memutar kapal dan berlayar pulang ke Aceh dan menghilang. Beberapa penumpang ada yang tenggelam karena tak ada lagi pegangan.
Aku mecoba menolong tetapi ketika kutolong mereka malah mendorong kepalaku ke bawah. Baru saja kepalaku muncul, sudah langsung didorong lagi. Badanku semakin lemas. Aku pun memilih berenang menjauhi mereka dan mencoba tetap mengapung seraya menunggu kapal patroli maritim tiba.
Tidak berselang lama, kapal patroli maritim berbendera Malaysia datang. Aku dan beberapa orang yang masih selamat diangkut ke kapal. Malam itu kami ditangkap karena melanggar UU Imigrasi 1959/1963 (UU 155) tentang imigran ilegal. Kami dibawa ke pusat imigrasi Damansara kemudian dipindahkan ke pusat penahanan Semenyih.
***
Di kamp tahanan Semenyih, aku dimasukkan ke dalam sel berukuran 20×30 meter yang disesaki lebih dari empat ratus orang. Sebuah ruangan yang pengap dan sulit dimasuki cahaya matahari. Aku bahkan tidak tahu hari masih siang atau sudah malam. Aku hanya duduk di lantai yang kotor, di sudut ruangan, sambil memperhatikan sekitar, mencoba mencari teman-teman lainnya yang berhasil selamat.
Semua benar-benar gelap gulita, hanya mata dan gigi orang-orang yang terlihat. Di depanku ada beberapa orang yang berkumpul. Mereka mengajakkku untuk ikut bergabung. Aku hanya ingin sendirian, meratapi nasibku.
“Namaku Murad, sudah empat tahun dipenjara di sel ini.”
Seseorang bernama Murad kudengar mulai memperkenalkan dirinya. Kemudian Murad menceritakan kematian beberapa tahanan yang mengalami nyeri akut di perut, kaki dan paha karena kekerasan yang terjadi di sel ini. Murad juga menceritakan bagaimana siksaan yang dialami oleh perempuan lebih tidak manusiawi. Perempuan hamil misalnya, mereka boleh melahirkan di rumah sakit tetapi kedua tangannya harus diborgol bahkan selama proses persalinan.
“Lingkungan sel ini juga tidak bersih. Lihat saja WC-nya tidak berfungsi, lalat beterbangan di sana sini. Makanannya selalu sama dan tidak bergizi. Dulu ada orang Nepal yang meninggal karena sakit TBC dan beri-beri di sel ini. Ketika kami menyuruh petugas untuk membawanya ke rumah sakit, dia hanya dibiarkan saja hingga mati mengenaskan.”
Aku masih tidak beranjak dari tempatku duduk untuk bergabung mendengarkan cerita Murad. Aku yakin itu semua hanya bualannya saja, agar orang-orang di sel ini takut dan membenci polisi Malaysia. Hingga kemudian dia menceritakan sesuatu yang membuatku sulit untuk tidak ikut bergabung.
“Ini semua gara-gara GAM,” ucapku menghampiri mereka.
“Gara-gara GAM kita semua jadi kehilangan keluarga, kehilangan pekerjaan dan harus terbuang jauh ke Malaysia ini.”
Mereka kemudian menatapku penuh tanya.
“Namaku Mahmud, aku ditangkap sewaktu pelarian ke Malaysia,” tuturku mengenalkan diri.
“Mengapa kamu melarikan diri ke Malaysia?” Salah seorang dari mereka mulai bertanya.
“Kombatan GAM singgah di rumahku. Aku takut ada yang melapor.”
“Aku juga dulu sepertimu,” seseorang yang lain ikut bergabung.
“Dulu aku memiliki keluarga. Sehari-hari aku biasa berjualan di pasar. Setiap hari tentara mengambil daganganku tanpa pernah membayar. Kalau pun mereka mau membayar itu hanya sedikit sekali. Hingga suatu hari ada seorang tentara mengambil daganganku, ketika dia sedang memilah, aku mengambil parang lalu membacok kepala belakangnya, kemudian mencincang badannya. Orang-orang sangat ketakutan, mereka menyuruhku untuk bersembunyi. Kami semua yang berjualan di pasar itu pun melarikan diri.”
“Di kampungku juga seperti itu. Oh iya namaku Hamzah. Aku dari Pidie. Di kampungku tentara menembaki banyak orang untuk mengisi waktu luang mereka. Jika ada orang-orang yang lari saat mereka patroli maka akan langsung ditembak. Ketika kami semua protes mereka hanya mengatakan kalau yang mereka tembak adalah Kombatan GAM yang menyamar menjadi petani. Padahal orang-orang lari bukan karena termasuk Kombatan GAM melainkan karena ketakutan melihat bedil dan sikap petentengan mereka. Kalau masih ada yang melawan, mereka tidak segan-segan menodongkan senjata lalu membawanya pergi. Sejak saat itulah aku merasa tinggal di Aceh sudah tidak aman lagi. Aku kemudian lari ke Malaysia. Aku menikah dengan perempuan Malaysia agar mudah dapat izin tinggal dan pekerjaan. Hingga suatu hari aku jatuh sakit. Aku menyuruh istriku membawaku ke rumah sakit tetapi dia malah melaporkanku ke polisi.”
“Lebih baik dipenjara di Malaysia dari pada tinggal di Aceh,” teriak seorang yang lainnya.
Mendengar ucapan itu orang-orang hanya mengangguk-angguk lalu ada jeda cukup panjang.
“Namaku Imran, aku sudah lama hidup di Malaysia,” seseorang kembali bercerita.
“Setamat SMA aku sudah merantau ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang layak. Aku bahkan sudah memiliki empat toko di Chowkit hingga aku memutuskan untuk pulang ke Aceh menjemput orangtuaku. Setibanya di Aceh, aku dihadapkan pada kenyataan kalau mereka sudah tiada. Mereka dibawa militer Indonesia untuk diinterogasi dan tidak pernah kembali lagi. Aku sebenarnya tidak ingin pulang ke Malaysia lagi tetapi ketika militer Indonesia menyebut orang Aceh yang tinggal di Malaysia adalah Kombatan GAM, aku akhirnya kembali ke Malaysia. Aku menjual tiga tokoku dan menyumbangkan uangnya untuk perjuangan mulia GAM.”
“Nah, kamu dengar sendiri Mahmud. Orang-orang sudah sangat membenci Indonesia. Keadaan Aceh sungguh sangat pelik. Satu-satunya harapan kita adalah GAM. Hanya itu saja! Kemerdekaan adalah harga mati sekarang. Kamu tahu Hasan Tiro? Beliau merupakan wali negara dan seorang pemimpin sejati. Beliau sebenarnya bisa hidup mewah di Amerika tetapi semua itu beliau tinggalkan demi kemerdekaan Aceh. Pemimpin seperti itu hanya lahir dua ratus tahun sekali.”
Aku tidak ingin membalas perkataan Murad. Aku memilih untuk diam. Aku tahu yang keluar dari mulutku hanya kesia-siaan belaka, percuma saja meyakinkan mereka kalau kebencian itu sendiri sudah mengakar di hati. Tetapi aku penasaran bagaimana bisa Imran sampai memiliki empat toko di Malaysia.
“Bang Imran, bagaimana ceritanya Abang bisa punya empat toko di Malaysia?” Tanyaku penasaran.
Orang-orang melihat ke arah Imran. Dia pun kembali bercerita.
“Waktu pertama kali datang ke Malaysia, aku tinggal di Kampung Aceh di Kedah. Di sana orang-orang Aceh berkumpul dari berbagai generasi. Mereka hidup dengan tetap memegang erat tradisi Aceh.”
Aku membetulkan posisi duduk. Mencoba mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Imran.
“Mereka merekomendasikanku pekerjaan yang cocok untuk pekerja ilegal dan memberitahu bagaimana cara melarikan diri ketika RELA -kelompok pengawas lingkungan- melakukan razia. Petugas RELA selalu membawa tongkat, borgol dan tak lupa pistolnya. Apabila tertangkap, kita akan mendapat hukuman yang tidak saja menyakitkan tetapi juga merendahkan martabat. Kita dicambuk di depan banyak orang lalu dibawa ke penjara. Orang-orang Malaysia akan menganggap kita sebagai penjahat, pemberontak, sampah masyarakat, pencuri, dan bahkan pemerkosa.”
Imran menghentikan pembicaraannya sejenak lalu menyulut rokok yang tidak jelas dari mana asalnya. Rokok itu pun dioper-oper secara acak, setiap orang hanya dapat jatah sekali isap.
“Pekerjaan abang dulu apa?” Hamzah bertanya setelah mengembus asap rokoknya hingga mengepul di udara dengan bentuk yang begitu abstrak.
“Dulu kita bekerja apa saja yang tidak mau dikerjakan orang Malaysia. Orang Malaysia biasanya tidak mau pekerjaan tiga D. Dirty yakni pekerjaan yang kotor. Dangerous yakni pekerjaan yang berbahaya dan Difficult yakni pekerjaan yang sulit.”
Aku hanya duduk terkagum-kagum melihat Imran. Sepertinya dia sudah kenyang betul dengan pengalaman hidup. Dia bahkan tahu banyak istilah asing.
“Gajinya sangat sedikit. Hanya cukup untuk makan sehari-hari. Belum lagi ketika kita terlambat gajian, diberi cek palsu, dipecat karena ilegal, bahkan sampai tidak dibayar sama sekali. Jika kita melawan mereka akan mengadu dan melapor pada polisi. Menetap di Malaysia sebenarnya sangat menyakitkan tetapi sedikit lebih baik ketimbang hidup di Aceh. Kalau polisi Malaysia datang, kita biasanya menyogoknya dengan uang dan pernah juga kita memberinya ponsel. Tapi biasanya yang lebih sering dirazia itu orang-orang dari Jawa atau Indonesia. Orang-orang Aceh mudah berbaur dan cepat menguasai aksen melayu, fisiknya juga ada kemiripan,” terang Imran layaknya pendongeng hebat.
Aku mencoba mengisap rokok yang kini sudah mulai menyentuh filternya, kemudian mengembusnya ke depan membentuk huruf “O” seperti yang biasa kulakukan di kampung dahulu. Asapnya mengenai wajah Hamzah dan Murad. Aku tertawa lirih.
“Murad, apakah sebelumnya ada orang yang kabur dari sel ini?” Aku bertanya serius dengan suara pelan. Orang-orang yang mendengarnya pun terlihat terkejut. Mereka kemudian mendekat dan saksama melihat Murad, menunggu sesuatu keluar dari mulutnya.
“Dulu aku pernah mendengar cerita dari orang di sel ini, di penjara Juru, di sana pernah ada ada aksi mogok makan besar-besaran. Kalau tidak salah ingat ada seratus lebih laki-laki, sembilan wanita dan dua belas anak-anak.” Murad melihat sekeliling, memastikan kalau tidak ada petugas yang melihat dan mencurigai kami.
“Mereka tidak makan dan minum sama sekali. Pada hari keempat, kondisi mereka kritis dan kemudian dirujuk ke rumah sakit. Setelah itu mereka tidak pernah kembali ke sel lagi. Mungkin mati atau dibebaskan. Tak ada yang tahu.”
“Bukankah itu sangat menyakitkan? Apakah tidak ada cara yang lebih manusiawi?” Tanyaku kepada Murad dengan ekspresi menahan sakit ketika membayangkannya.
Murad hanya menggelengkan kepala. Orang-orang lainnya juga tidak punya jawaban. Kami pun terdiam cukup lama hingga IGP -Inspektur Jenderal Polisi- datang dengan seragam lengkapnya.
“Kalian semua orang Aceh akan dideportasi!” Ucapnya singkat lalu berlalu pergi meninggalkan kami.
Aku mendengar kalau orang-orang di sel ini tidak setuju jika harus dideportasi. Beberapa orang tidak mau dideportasi sekarang karena keadaan Aceh yang masih kacau, beberapa lagi mempertanyakan apakah di Aceh mereka bisa pulang dengan selamat atau malah disiksa militer Indonesia.
Makanan pun dihidangkan. Orang-orang yang sudah begitu lapar langsung menghabisi makanan yang ada di hadapannya. Ketika aku hendak makan tiba-tiba Murad menghentikanku.
“Jangan ada yang memakannya!” Ucapnya berapi-api.
Beberapa orang pun ada yang berhenti dan bertanya kepada Murad, beberapa tetap melanjutkannya. Aku menyingkirkan makanan di hadapanku dan akhirnya diambil orang lain.
“Mereka menghidangkan makanan lebih cepat dari biasanya. Sekarang belum waktunya untuk makan. Mungkin saja makanan ini sudah dicampur racun atau obat bius agar kita tidak melawan ketika dipulangkan nanti. Percaya padaku!” Ucap Murad dengan suara yang sedikit bergetar.
Aku bisa merasakan ketakutan yang dialami oleh Murad. Walaupun tinggal di Malaysia tidak aman, tetapi memang belum waktunya untuk pulang ke Aceh.
Setelah cukup lama. Orang-orang yang menghabiskan makanannya merasa sakit, pusing dan tak sadarkan diri. Murad terus mengutuki mereka karena tidak mempercayainya. Lalu tidak lama puluhan polisi menyergap kami dan menyuruh berkumpul untuk dipulangkan.
Aku melihat beberapa orang melawan. Mereka pun akhirnya dipukuli. Murad yang melihat kejadian itu lantas langsung membalas memukuli polisi. Kerusuhan pun terjadi. Aku, Imran, Hamzah dan teman-teman lainnya mempersenjatai diri dengan besi yang kami ambil dari pagar. Polisi pun menembakkan gas air mata yang membuat orang-orang menjerit dan mulai sesak napas.
Polisi yang sudah memakai pelindung gas air mata dengan leluasa memukuli kami dengan tongkat mereka. Mereka mengikat kami dengan tali plastik, ada juga yang terpaksa diborgol. Aku melihat teman-teman ada yang memar, patah kaki dan tangan kemudian diseret keluar, dipaksa berkumpul dan dicampakkan ke truk. Imran yang melihat itu lantas menyulut api dan membakar barak. Kami semua -orang-orang yang menahan diri untuk tidak makan- melakukan perlawan kepada polisi. Kami menghantam mereka dengan tongkat yang berhasil direbut, beberapa orang menendang kepalanya, beberapa lagi menginjak-injak perutnya.
Jumlah kami sangat banyak saat itu hingga polisi benar-benar kewalahan. Mereka mulai mengeluarkan tembakan. Aku melihat sendiri bagaimana Imran ditembak di bahunya, membuatnya mengerang kesakitan dan berteriak keras ketika melihat darah mulai menetes. Aku mencoba menolongnya tetapi kemudian satu peluru tepat mengenai dadaku sebelah kiri, membuatku langsung tersungkur ke tanah.
Dengan tatapan yang mulai kunang-kunang, aku melihat orang-orang berlarian, kabur dari penjara Semenyih. Dari derap langkahnya bisa kuperkirakan lebih dari setengah jumlah kami berhasil kabur. Beberapa kulihat ada yang lari ke selatan, beberapa ke barat dan beberapa ke utara. Aku membuka paksa mataku yang mulai terasa berat tetapi tidak bisa, lalu sepenuhnya kini sudah terpejam.
Pikiranku melayang ke tempat lain. Aku melihat bayangan orangtuaku begitu gembira menyambut kepulanganku di Aceh. Mereka menantiku di simpang jalan. Membawaku pulang ke tempat paling nyaman di muka bumi; rumah yang begitu kurindukan, masa kecil yang penuh kenangan. Aku harus pergi, aku harus pulang, ucapku lirih kepada sosok berjubah putih yang terus saja menyebut dirinya sebagai malaikat maut.
***
Catatan Penulis: Mengenang masyarakat Aceh yang melarikan diri dari Daerah Operasi Militer dalam kurun waktu 1989-1998.
Editor: Ghufroni An’ars