Hujan pertama musim ini. Kumulus mandek. Ia seperti domba yang kebelet pipis lalu ndodok begitu saja di atap rumah. Di depan, tanah berkubang. Batu yang ditanam Susilo sudah lama tenggelam. Perlu batu yang lebih besar agar jalan itu bisa dilewati. Namun, sebelum ia menaruh batu besar, ia sudah pergi ditelan hujan. Begitu kata Ibu. Kadang-kadang Ibu juga bilang kalau Susilo mampus disambar petir atau digondol lampor.
Ibu membikin cerita di mana kematian bisa terasa seperti kemusnahan. Suatu kematian tanpa kuburan yang membuatku tidak berani berhasrat untuk ziarah. Jawaban Ibu membuatku tidak ingin bertanya lagi, karena bertanya letak kuburan Susilo berarti mengakui kematiannya. Hal yang sampai kapan pun tidak mau kupercaya. Aku masih berharap ia hidup hingga suatu hari aku bisa memekik di depan mukanya.
“Bu, kenapa Ayah tidak pulang?”
Suatu kanak, aku masih rajin bertanya. Aku tidak berhenti mengharapkan jawaban lain dari Ibu. Jawaban yang barangkali lebih dapat kumengerti. Sebab semuanya tampak misterius bagiku.
Siang hari ketika hujan, aku bangun tidur ketika Susilo pergi menerobos hujan dengan tas jinjing yang tampak berat. Sarungnya masih mengungkungku ketika aku memekik memanggilnya. Ia tak menoleh, tidak peduli seberapa keras aku berteriak.
“Susilo mampus disambar petir. Lagipula siapa bilang dia ayahmu?”
Jawaban itu menjadi yang terakhir. Aku sudah putus asa dan bertekad tidak membahasnya lagi dengan Ibu. Ia menjadi jawaban yang memungkas pertanyaan yang sama bertahun-tahun lamanya. Setelah kalimat itu, punggung Susilo yang bisa kuingat adalah ekor anjing yang bergerak-gerak ketika ia berjalan gontai. Lain hari aku mengingatnya sebagai pantat babi.
Hari-hari penuh ingatan ini, sialnya, selalu terjadi ketika hujan. Musim yang bagi kebanyakan orang adalah musim pangan. Musim yang seharusnya bisa memberkati kami dengan beras dan kangkung, terong, atau bayam yang dulu sering dibawa Susilo dari lahan majikannya.
Tujuh kali musim hujan kulewati. Tiga musim terakhir, ingatan tentang punggung Susilo adalah soal ekor anjing dan pantat babi. Di awal musim ini, aku melihatnya sebagai pantat babi hutan yang kakinya mencacah-cacah kebun sayur kangkung, terong, dan bayam. Setelahnya, ia pergi berkecipak air genangan di pekarangan, tempat batu pijakan telah lama tenggelam.
Setelah hujan yang panjang itu, aku hanya ingat perutku jadi lebih sering ngorok. Ada rasa perih yang lebih kuyakini disebabkan terlalu banyak menelan kenangan pahit ketimbang kurang makan.
Musim hujan adalah musim kelaparan, batinku. Aku jadi lebih cepat lapar ketika hujan. Lalu mendadak aku membayangkan nasi panas dan sekuali sop bayam atau cah kangkung atau lodeh terong berasap di tengah-tengah aku, Ibu, dan Susilo. Asap segar menaungi kami bertiga dari suhu dingin di luar. Segalanya jadi hangat: rongga mulut, kerongkongan, perut, dan kalimat Susilo soal keluarga bahagia kami di masa depan.
Tetapi dingin dengan cepat melibas angan. Aku mengalihkan pandanganku ke dalam rumah. Ibu tampak krasak-krusuk di dapur. Aku tahu, seberapa pun ia bergerak, tak akan ada nasi yang tanak. Ia hanya bersikap sibuk tanpa alasan.
“Kuali Ibu masih dingin. Ibu tidak bisa memasak apa-apa,” kata Ibu setiap kali tidak punya apa pun untuk dimasak.
“Kenapa?”
“Makanan bisa dimasak ketika kualinya panas. Betul, kan?”
“Kenapa Ibu tidak menyalakan api?”
“Hujan. Tak ada gunanya memantik kayu yang basah.”
Di musim panas, jawabannya akan lain. “Tidak ada yang bisa menyalakan api lagi, Nak.”
Aku hanya mengangguk saat itu, setelahnya, sampai Ibu tak mampu lagi mengatakan apa-apa seperti sekarang. Sampai aku terbiasa memahaminya sendiri.
Susilo pergi membawa api, batu, beras, bayam, kangkung, dan terong. Sementara itu, aku ditinggalkannya terkungkung sarung persis seperti terakhir kali aku melihatnya minggat. Selain sarung, ia juga meninggalkan hujan permanen di rumah kami.
Tuban, 25 Mei 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars