Pada 28 Oktober 2024, pendidikan tinggi hukum memperingati hari jadi yang ke-100 tahun terhitung sejak berdirinya Rechtshoogeschool yang diinisiasi Pemerintah Kolonial Belanda sebagai bentuk politik etis. Karena itu, perkembangan hukum di Indonesia baik dari segi sistem hukum maupun model institusional pendidikan tinggi hukum sangat mirip dengan yang diterapkan di Belanda.
Tidak banyak fakultas hukum di Indonesia yang memperingati 28 Oktober sebagai hari lahir institusi pendidikan tinggi hukum. Umumnya mereka memperingati hari lahir institusionalnya sendiri. Terkecuali Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang memang hari lahirnya 28 Oktober sebagai kelanjutan sejarah Rechtshoogeschool.
Sebagai negara yang menganut supremasi hukum dengan meletakkan paham supremasi pada konstitusi negara, ketergantungan pada institusi pendidikan tinggi hukum merupakan keniscayaan. Bahkan kesadaran ini sudah muncul di era kolonial Hindia Belanda dengan cikal bakal pendirian Rechtshoogeschool untuk mengisi jabatan hakim di tingkat landraad.
Resiko dari negara hukum, maka hampir semua penyelenggaraan ketatanegaraan memang bergantung pada pekerja profesional yang memiliki keahlian di bidang hukum. Sebut saja lembaga negara di lingkup eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga negara independen, hingga lembaga tingkat daerah pastinya membutuhkan tenaga ahli dengan latar belakang sarjana hukum.
Tanggung Jawab Melahirkan Sarjana Hukum Berintegritas
Khittah dari fakultas hukum memang untuk melahirkan sarjana hukum. Ditambah lagi pangsa profesi yang bisa digeluti sarjana hukum ada begitu banyak, seperti advokat, jaksa, hakim, pejabat negara, ASN, akademisi, peneliti, konsultan, kurator, dan legal staff.
Dari berbagai tuntutan keahlian hukum, maka tugas dari fakultas hukum tidak sekedar melahirkan mahasiswa bergelar sarjana hukum, tapi juga melahirkan lulusan yang terstandarisasi dan mampu berkompetisi dengan lulusan hukum lainnya untuk memenuhi tuntutan profesionalisme pasar.
Namun, kita harus sadar, yang sepertinya banyak diabaikan fakultas hukum di Indonesia adalah memastikan kualitas lulusannya benar-benar menginternalisasikan nilai etika, moral, dan integritas. Sebab, di era sekarang, nilai-nilai itu terasa begitu mahal seiring banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat negara dan aparatur penegak hukum yang bertitel sarjana hukum.
Para sarjana hukum sekarang harus berani mengakui, dalam kurun lima tahun terakhir ada begitu banyak praktik penyimpangan hukum yang dilakukan secara terang-terangan. Istilah hukumnya adalah autocratic legalism, yakni menjadikan hukum sebagai alat untuk menjustifikasi kebijakan hukum supaya kebijakan yang salah menjadi terlihat benar. Begitu pula sebaliknya, kebijakan yang dirasa benar justru diubah secara serampangan untuk mengakomodasi kepentingan pemangku elit. John Keane mengistilahkan fenomena ini dengan sebutan the new despotism—yang secara praktik tidak jauh berbeda saat era Orde Baru.
Sesungguhnya, perguruan tinggi bukanlah “pabrik buruh” bertitel sarjana. Dengan ilmu pengetahuan yang diberikan selama perkuliahan, harusnya mahasiswa—termasuk mahasiswa hukum—dibekali dengan internalisasi nilai etika, moral, dan integritas. Di tengah rusaknya tatanan sistem hukum dan moralitas aparatur penegak hukum, harusnya institusi pendidikan tinggi hukum dengan sangat kuat mengencangkan pembelajaran hukum berbasis internalisasi nilai etika, moral, dan integritas. Begitu pula yang tidak boleh dilupakan adalah pembelajaran anti-korupsi.
Lemahnya kualitas penegakan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan, KPK, pengadilan, dan lembaga penegak hukum lainnya tentu memunculkan pertanyaan terkait sejauh mana peran pendidikan tinggi hukum dalam melahirkan sarjana hukum yang beretika, bermoral, dan berintegritas?
Faktanya menunjukkan, ada banyak sarjana hukum—yang berprofesi sebagai pejabat negara dan aparat penegak hukum—yang justru menjadi pelaku kejahatan utamanya korupsi. Fenomena ini semakin menjustifikasi pertanyaan di atas perihal kontribusi fakultas hukum dalam melahirkan sarjana hukum yang berintegritas.
Banyaknya persoalan ketatanegaraan di bidang hukum karena lemahnya peran pendidikan tinggi hukum—yang berperan sebagai subsistem hukum—dalam melakukan pengawalan atas implementasi hukum. Termasuk dalam hal pembelajaran di fakultas hukum masih menekankan dari segi dogmatis teks perundang-undangan. Oleh sebab itu tidak heran apabila muncul seloroh yang mengatakan kerusakan hukum ada kontribusi fakultas hukum.
Refleksi Satu Abad
Dikatakan Sulistyowati Irianto (2019), sesungguhnya praktik hukum yang akan dihadapi sarjana hukum kelak adalah wilayah yang tidak steril dari konteks politik, kultural, ekonomi, sains, dan teknologi. Karena itu tidak cukup apabila pembelajaran hukum sekadar dipersepsikan dengan pembelajaran norma yang bersifat dogmatis. Pembelajaran dogmatis yang bersumber dari teks perundang-undangan hanya akan melahirkan sarjana hukum yang kaku dan tidak bisa memberikan analisis penerapan hukum di masyarakat utamanya terkait keadilan sosial.
Muncul beragam alasan yang menjadi dasar justifikasi supaya pendidikan tinggi hukum terus berbenah untuk mengikuti arus perubahan yang begitu cepat, terutama akibat dari pengaruh aspek-aspek politik, ekonomi, dan kultural yang memberikan dampak terhadap praktik hukum (Sulistyowati Irianto, 2019).
Dalam kondisi hukum yang carut marut seperti sekarang, kampus—terutama fakultas hukum—harus berani menjadi motor penggerak perubahan hukum ke arah yang lebih baik. Jiwa intelektualitas sivitas akademika harus dirawat sedemikian rupa untuk menjaga dan mempertahankan sistem hukum yang berkeadilan dan berpihak pada masyarakat rentan.
Pemikiran semacam ini bukan sekadar idealisme abstrak. Sebab pemikiran ini memang menjadi tanggung jawab moral bagi kaum intelektual kampus untuk memastikan tidak ada praktik penyimpangan hukum, dan tidak ada pula praktik hukum yang menindas masyarakat rentan.
Harusnya kita selalu ingat pesan Bung Hatta, “Apabila di negeri-negeri yang telah maju tertanam pendapat yang semakin lama semakin kuat, bahwa universitas harus menjadi tempat pendidikan manusia yang bertanggung jawab terhadap masyarakat, apalagi di negeri-negeri yang terkebelakang di dalam kemajuan, seperti Indonesia kita ini.”
Satu abad pendidikan tinggi hukum harus dimaknai sebagai momentum untuk mengevaluasi model pembelajaran hukum dan standarisasi kualitas lulusan fakultas hukum. Di lain sisi, ada banyak aspek yang nampaknya juga harus dikembangkan dalam pembelajaran hukum, seperti pengajaran yang berbasis nilai etika, moral, dan integritas, serta memasifkan pengajaran berdoktrin anti-korupsi—yang tidak sekadar dogmatis positivistik.
Di luar aspek pembelajaran, perlu didorong pula supaya fakultas hukum ini tidak nampak “menghilang” ketika terjadi kerusakan sendi-sendi hukum (Todung Mulya Lubis, 2024). Kebijakan negara yang tidak pro rakyat haruslah dikritik dan dikawal oleh sivitas akademika, tidak hanya sivitas akademika secara personal, tetapi pendidikan tinggi hukum secara institusional.
Harusnya fakultas hukum malu ketika pembelajaran hukum di bangku perkuliahan banyak yang tidak linear dengan fakta yang terjadi di masyarakat—utamanya soal keadilan yang terus terciderai. Harusnya, kampus-kampus fakultas hukum marah dengan persoalan ini dan turut menggugat atas praktik penyimpangan hukum yang sangat terstruktur dan masif.
Resiko dianutnya sistem negara hukum oleh negara harusnya menjadi kesadaran bagi fakultas hukum untuk terus berperan menjadi pendobrak yang melawan pembusukan hukum berbungkus pembenaran hukum (autocratic legalism). Kita harus sadar bahwa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum sangatlah diperlukan supaya terwujudnya keadilan sosial, serta memastikan hukum menjadi alat untuk berpihak pada yang benar. (*)
Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Hukum Tata Negara Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Socio-Legal Enthusiast, dan Peneliti Pusat Studi Hukum FH UB