Penulis dan Imajinator Ulung. Aku akan menjadi penulis buku best seller Indonesia

Memotong Jari di Depan Cermin

safi sahri

4 min read

Sepuluh tetes air terakhir sisa hujan semalam telah menguap. Bersamaan dengan ombak di pantai Selatan yang tetap berkejaran, saling menubruk dan bersilang. Berkumpul di pantai hanya untuk tidak menemui apa-apa. Atau di sisi yang berbeda, di pegunungan Alpen yang membentang di Eropa tengah, tiga orang pria tengah menaklukan pegunungan putih itu. Mungkin lebih tepat jika mereka sedang menaklukkan diri mereka sendiri.

Sepuluh hari sebelum Kiriam, juru ukur itu lumpuh, Lusup datang menemuinya dengan sebuah mawar merah bertangkai perak. Di tangan kirinya terdapat cincin bersimbol naga menguap—menyemburkan api. Nun di pojok lembah Baliem, Mama Yos baru saja pulang memanen ubi di hutan. Dua puluh ekor babi miliknya sudah menguik sejak tadi siang. Mama Yos belum memberikan mereka makan barang sesuap.

“Apa kau akan memotong jarimu lagi?” tetua suku bertanya dengan nada prihatin.

“Apa ada pilihan lain bagiku?” Mama Yos menurunkan keranjang yang berisi ubi.

Tetua menggeleng. “Tidak ada.”

Yos tahu. Ayahnya meninggal sepuluh hari sejak juru ukur itu lumpuh. Satu anggota keluarga mati. Itu artinya satu jari lagi harus dikorbankan. Dipotong. Begitu seterusnya hingga semua jari habis. Yos tidak mengerti mengapa harus begitu. Yang dia tahu, semua penduduk Baliem harus melakukannya jika kematian hadir di antara keluarga mereka. Semacam duka cita. Rasa prihatin. Pengorbanan. Atau mungkin hanya sekedar tradisi. Dia tidak tahu. Sama tidak tahunya mengapa juru ukur itu lumpuh. Bibirnya tidak lagi simetris. Peyot ke kanan kiri. Menguap sudah kegagahan yang selama ini dibanggakannya.

Dam hanya tahu jika ayahnya bekerja di kantor. Berangkat pagi-pagi. Berseragam monyet. Begitu Dam sering menyebutnya. Seragam coklat dengan berbagai atribut. Mirip penjinak hewan. Mungkin ayahnya memang seorang penjinak. Bukan penjinak hewan. Mungkin penjinak manusia yang datang dengan kemarahan karena tidak puas. Tidak puas dengan apa saja. Kemarin saja Dam melihat segerombol manusia berteriak kencang. Menuntut hak. Begitu yang sampai ke telinganya. Hak apa dan hak siapa tidak jelas. Sama tidak jelasnya apakah Dam akan terus bersekolah atau tidak.

Potret kembali ke lembah Baliem. Mama Yos baru saja memotong jarinya. Ibu jarinya sudah terpisah dari telapak tangannya. Jari paling penting. Katanya. Atau paling tidak penting. Entah. Mama Yos hanya mengerti kalau Lusup telah mengkhianatinya. Juga mengkhianati suaminya.

“Kalau dia mati nanti, aku akan menguruk kuburnya dengan kotoran babi. Kebetulan dua puluh babi kita gemar sekali buang kotoran,” bisiknya pada Yos.

Dam duduk dengan malas. Pulpen kuning sudah berada di tangannya. Dia memainkannya. Memutar-mutar dan memelintirnya. Memastikan apakah pulpen itu asli emas atau tidak. Inikah cinderamata yang diterima ayahnya? Bagaimana bisa pegawai berseragam monyet mendapat hadiah mewah seperti ini? Monyet mana yang sanggup memberikan benda mahal ini kepada ayahnya? Dam menyeringai. Suka-suka monyet itulah. Yang terpenting Dam akan menukarkan pulpen emas ini dengan sebuah kesenangan kecil. Uang, perempuan yang tertawa riang, dan beberapa gelas yang akan menghilangkan sedikit kesadaran dan kewarasannya. Dam tertawa.

Lusup juga tertawa. Mawar bertangkai perak dilempar, mawar betangkai emas didapat. Semua serba untung. Di zaman penuh pragmatisme seperti ini, siapa cepat dia dapat. Siapa yang berusaha, dengan segala cara, maka dia akan mendapatkan semuanya. Sekali lagi Lusup tertawa. Nyaring. Keras. Mirip tawa Iblis ketika berhasil mengalahkan Adam. Mengusirnya dari surga. Perempuan Baliem itu telah kalah. Juga suaminya yang bodoh itu. Bodoh? Jika tidak bodoh, maka dia tidak akan mati secepat itu.

Di persimpangan jalan menuju Wamena, laki-laki berbaju lusuh membawa cangkir di tangan kanannya. Bukan untuk minum. Tapi untuk merampas kembali haknya yang telah diambil. Seperti perempuan Baliem itu. Sayangnya tidak ada yang peduli. Deru roda truk memekakkan telinga. Bukan main manusia zaman sekarang. Begitu yang dia pikirkan. Mereka mengeruk tanpa pernah puas. Merampas tanpa merasa malu. Dan sekarang mengusirnya bagai pesakitan kotor? Mereka pikir dari siapa tiap butir nasi dan sagu yang memenuhi perut buncit hampir meletus mereka. Ironi.

Mama Yos menghela napas. Semesta ikut bersedih—berharap semuanya hanya mimpi di siang yang terik. Namun, semuanya serba nyata. Senyata jari tangannya yang tinggal enam buah. Tiga di kanan, dan tiga di kiri. Empat keluarganya telah mati. Menyisakan dirinya dan Yos. Dan dua puluh babi yang tak berhenti menguik. Lembah Baliem adalah tempat tidurnya. Napasnya. Penyambung hidupnya. Wamena adalah impian. Angan-angan. Yang begitu jauh—terlampau muluk untuk berharap menginjakan kaki di sana, menyampaikan keluh kesahnya pada para perampas itu. Para pria berseragam rapi. Mama Yos juga setiap hari berseragam. Seragam yang selalu dicemooh orang kulit cokelat dan kulit kuning itu. Mereka merasa seragam mereka paling bagus, paling manusia. Sisanya hewan. Bukan sekali dua kali Mama Yos merasa demikian. Disamakan dengan monyet di pedalaman Asmat. Atau disamakan dengan bekantan pulau seberang. Orang itu—yang mengaku berpendidikan—tak lebih dari penjagal kebebasan hidup manusia.

Dam menyeringai. Dia telah dapatkan semuanya hari ini. Biarlah uangnya habis. Lagipula, di rumahnya masih banyak barang yang bisa dijual. Kiriam tidak pernah melarangnya. Lebih tepatnya tidak mampu melarangnya. Tua bangka itu telah lumpuh sejak sepuluh hari yang lalu. Jika dulu—sebelum lumpuh, Dam berani mencuri uangnya, maka sejak deklarasi kelumpuhannya dibacakan, Dam berani menjual barang-barang itu. Seperti ucapan para tetua, uang setan dimakan iblis. Dam hanya mematuhi adagium lama itu. Membuktikan kebenarannya. Dan ternyata memang benar.

Jauh sebelum Lena—wanita yang telah menyusuinya itu mati, Dam telah menentukan jalan hidupnya: menjadi pembangkang. Demi membalaskan sakit hati Lena. Pada siapa lagi kalau bukan Kiriam. Lelaki berseragam monyet itu. Menghabiskan hartanya adalah cara terbaik balas dendam, bukan? Setelah sepuluh perempuan liar menjajak, mengobrak-abrik kehidupannya bersama Lena dan Kiriam, para perempuan jalang itu pergi satu persatu. Menggondol kecupan dan dekapan Kiriam. Juga uang dan barang-barang darinya. Semuanya memuakkan. Semuanya menjijikan. Bahkan rumah dengan permadani halus dan hiasan porselen di tiap sudut pun terasa menjijikan. Vas porselen setinggi satu setengah meter itu—lengap dengan lekukannya—lebih mirip wanita Baliem yang ditelanjangi. Disayat-sayat hingga berdarah. Dirampas harta mereka. Dirampas kepunyaannya. Dengan berbagai cara. Dengan berbagai langkah.

Atau porselen di dekat pintu itu. Lebih mirip lelaki suku Dani berkoteka. Kiriam telah begitu tega mencabut koteka itu dari tubuhnya. Mempertontonkan satu-satunya kehormatan pria Dani yang tak boleh dilihat. Tak boleh disaksikan. Kiriam menjual koteka itu. Merampasnya dengan tega. Orang kota mengatakan benda itu sebagai pernak-pernik. Aksesoris. Atau entah apa lagi mereka menyebutnya. Mereka bodoh. Membeli sesuatu untuk tidak dipakai. Hanya dipajang. Ditonton. Dikagumi. Diletakkan di dalam kaca yang selalu dipoles  setiap hari agar semakin bening. Mereka lupa. Dulu benda itu adalah pakaian. Yang dirampas begitu saja. Meninggalkan pemakainya telanjang. Menanggung malu. Juga pasrah tidak berdaya.

Mengingat semua itu menjadikan Dam semakin geram. Atau mungkin dia naif? Tidak jelas. Memang dari mana dia mendapat setiap butir nasi yang dimakannya? Dari mana dia mendapat semua kemewahan yang bagi orang Irian hanya mimpi. Dam akhirnya menemukan sebuah paradoks kesekian, setelah paradoks-paradoks hidup yang harus ditelannya. Siapa membenci siapa? Membenci Kiriam sama seperti menyumpah dan meludah di depan cermin. Memantul ke dirinya sendiri. Setiap hari hanya umpatan dari ruh-ruh manusia terzalimi yang selalu hadir. Selalu menguntit. Meneror. Dalam keadaan terjaga maupun ketika tidur. Dam ingin lari, menerobos rimba berduri yang mereka ciptakan. Tapi semuanya nihil. Kosong. Dam selalu saja terengah-engah. Akhirnya hanya sanggup duduk dengan tatapan kosong. Mengabaikan Kiriam yang terus saja memanggil namanya dengan suara tak jelas, mirip lenguh kambing.

*****

Editor: Moch Aldy MA

safi sahri
safi sahri Penulis dan Imajinator Ulung. Aku akan menjadi penulis buku best seller Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email