Di Perkampungan Padat Penderitaan Sudah Tidak Memiliki Tempat dan Puisi Lainnya

ilal mamduh

2 min read

di perkampungan padat penderitaan sudah tidak memiliki tempat

senin pagi
tiba-tiba gergaji & kayu
saling beradu
nasib
siapa di antara mereka
yang paling merasa sakit
yang menderita
yang sengsara
seketika aku
terbangun & terpaksa
pindah ke bising
jalanan & masih
kubayangkan
tidur di sana
tergilas
tergilas
putus
berserak
pupus
mimpi yang pernah
adakah yang masih utuh
untuk
kita tinggalkan dunia
yang kayak tahi ini?

waktu hujan turun sore-sore

telalu lengang & tegang Layla, ada banyak waktu bagi pikiran untuk memakan sepotong tubuh & menyisakan tulang yang hari-hari menyangga kesedihan lalu-lalang. aku sekarang selalu menangis waktu hujan turun sore-sore, di bawah langit ini kemacetan & kematian makin terasa sia-sia. sebab tidak ada yang bisa menahan air mataku; wajah-wajah yang tak kukenal —& memang hanya maut tak berjarak & lebih dekat dari bayang-bayang diri— lampu merah, angin, kota kita, lubang aspal, motor bebek, banjir, kaki lima, poster pilkada, ojol, papan iklan, kostum superhero, speaker gendong, kain jarik, empeng, gerobak, kotak amal, tiang beton, gedung —ah, terlalu banyak untuk disebut & diingat satupersatu, sedang jarak masih terbata-bata menyelesaikannya atau sedang menuntunku membayangkan adakah kematian yang indah & sederhana meski tidak sempurna —waktu aku mengendarai sepeda motor & jantungku tiba-tiba meledak tepat sebelum kepalaku menyentuh trotoar setelah ambulans yang terburu-buru mengantar orang sekarat menghantamku dari depan di simpang jalan; waktu itu giliranku sebab lampu telah bertukar warna serupa bendera duka —aku memang tengah bersiap, tetapi aku menjadi lepas kendali saat semua rasa sakit yang bersarang di inti jantungku seperti kawanan burung di hutan yang terbang tak beraturan akibat lolongan serigala atau menerka gejala dari bencana— lalu aku melaju & semua sepakat tidak ada yang boleh menghentikan sirine yang menyala makin nyaring itu. oh Layla, mungkinkah hukum & moral adalah megatron yang saat itu sedang menampilkan produk kecantikan. ah lupakan soal baik-buruk & penilaian manusia, di saat-saat mendesak & genting seperti itu aku sadar hidupku bukan milikku. apakah ini adalah kematian yang disyukuri orang-orang sebagaimana kelahiran & aku tidak perlu menangis lagi, barangkali untuk yang terakhir —tidak menyalahkan & menuntut siapapun termasuk tuhan— aku pulang, tenang, terselamatkan.

desember di pantai marina

waktu cuma angin duduk di beranda rumah yang kata leluhur kita pamali berlama-lama di sana sebab kelam malam & maut tengah berkejaran memburu jantung seseorang. & cuma aku di situ, masih menyimpan harum laut itu, mencari keinginan-keinginan yang menghilang di ujung sana. perahu-perahu kecil apakah ia pergi ke cakrawala, layaknya doa-doa. oh Layla, ulurkan tanganmu, naikkan aku ke kapalmu. seseorang telah menghilangkan kunci & tak sempat menunaikan nazar ke kubur kawannya yang jauh di desa ke seberang pulau, aku khawatir roda kendaraan kalah cepat dari desa-desa yang dihancurkan oleh negara & saat desember tak pernah gagal menggenapkan kesedihan menjadi tahun-tahun yang belum usai. tidak ada yang baru, tidak pernah ada yang baru. lihat langit marina menguning seperti buku-buku tua & aku masih mengingatnya. kelak kubacakan padamu Layla seluruhnya sebelum ingatan meluruh bersama usia.

desember di pantai bama

apakah gempa waktu membuat ingatan rentan
menjadi semacam barang pecah belah Layla?

apakah ini yang terakhir, Layla
kepada a.n

kau pulang & selalu saja begini. apakah nasib memberi aku
kesempatan & kau akan membaca tulisan ini. kalau tiba waktunya
kuaminkan, seluruh semoga. semenjak kau berangkat, aku masih
di sekitar sini saja. miskin & terus berharap belas kasihmu itu.

tidak seperti dalam dongeng hansel & gretel, aku terkurung & tidak tahu
bagaimana cara sampai padamu. berharap barangkali kau mau
berbaik hati menuntunku, menjatuhkan apapun di sepanjang jalan
sebagai tanda. misal memotong-motong bulan atau menggugurkan
bintang-bintang yang tersimpan di kedalaman matamu.

tetapi nasib telah menawanku kepada penyihir, oh mungkinkah
hanya tersisa nasib getir yang mesti dijalani, menjauh darimu
karena aku tak ingin berbagi. akhir yang bahagia hanya dalam karangan
cerita, lalu siapakah gerangan yang sudah menulis kisahku?

aku tidak bisa membayangkan bagaimana, kapan & di mana kita
bertemu. kemungkinan sudah menjadi milik dunia & aku yang akan
meledak bersama segera. sebab lebih mudah melihat kematian diri
dari nyala api di kamar gelapku sendiri.

oh orang-orang majusi menarilah kesepianku dengan rebab & mata
sembab ibu. hidupku kian padam & kau tahu, ada nyala dalam nama
terakhirmu.

poker 41 yang ke-1001
untuk sucangfam

tidak ada yang lebih tinggi
selain kartu-kartuMu

kocok ulang ayo kocok ulang
sampai kami menang

nasib berwajah waru
tukar berulang & percaya
pada kesempatan baru

buang angka-angka ganjil
kesialan kecil-kecil
selain as & raja-raja
& yang bernilai sepuluh

menunggu kami keberuntunganMu
adakah Kau ikut bermain kartu
di meja pertaruhan itu & telah gagal
maut menggenapkan kekalahan seribu

*****

Editor: Moch Aldy MA

ilal mamduh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email