Sebuah lukisan tergantung di dinding rumah Jabrik, seorang buruh tambang pasir yang doyan mengundi nasib di gelanggang sabung ayam untuk mencoba peruntungan. Bukan sebab dibeli dari seorang seniman di galeri sehingga lukisan itu menjadi milik Jabrik. Tetapi pemberian dari seseorang yang tidak ia kenal, seorang laki-laki setengah tua, sebab ia telah berbuat baik kepada orang itu.
Laki-laki setengah tua itu berpenampilan tidak biasa. Ia mengenakan tudung bambu dan pakaiannya terlampau besar untuk tubuhnya yang kerempeng. Di lehernya menggantung kalung dari untaian biji-biji yang entah biji apa, Jabrik tak tahu. Wajah lelaki itu ditumbuhi berewok yang tidak teratur. Lelaki itu tidak mengenakan alas kaki. Dan ia berjalan ditemani sebuah tongkat dari kayu.
Pada suatu waktu, menjelang magrib, ketika rona merah telah mewarnai langit, laki-laki setengah tua itu tiba-tiba mendatangi rumah Jabrik. Laki-laki yang mengaku sedang dalam perjalanan mencari sesuatu itu, mengeluh lapar dan meminta makanan kepada Jabrik. Ketika laki-laki itu telah duduk dengan tenang dari segala kepayahan yang mula-mula bergelayut di sekujur tubuhnya, Jabrik memberanikan diri bertanya, “Bapak dari mana dan hendak ke mana? “
Tidak langsung menjawab, tatapan laki-laki tua itu malah menumbuk dinding papan yang ada di depannya dan seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Sesuatu seperti apa yang sedang Bapak cari itu? “
Lelaki itu menoleh pelan menatap Jabrik, meletakkan tudung bambunya di atas meja, lantas mengusap janggutnya yang panjang dan mekar, lalu berkata, “Cinta”. Ketika mengatakan “Cinta” lelaki setengah tua itu memancarkan air muka layaknya seorang tua yang bijak, sehingga Jabrik menangkap bahwa “Cinta” yang dimaksud lelaki itu bukanlah sekadar cinta antara dua insan.
Jabrik pun meladeni laki-laki tua itu dengan sepiring nasi dan sepotong ikan goreng tongkol, satu-satunya lauk yang ada di meja makannya. Tetapi laki-laki setengah tua hanya mencicip makanan itu beberapa suap saja, lantas meminta dibuatkan segelas kopi. Jabrik pun tidak keberatan untuk menghidangkan segelas kopi yang semestinya menjadi jatah untuk sarapan paginya esok.
Setelah segelas kopi telah tandas oleh lelaki itu, ia beranjak pamit. Jabrik menyempatkan diri bertanya sesuatu, “Boleh saya tahu, siapa nama Bapak?
Tetapi lelaki itu mengabaikan pertanyaan Jabrik. Ia berlalu begitu saja tanpa menoleh lantas lenyap dari pandangan Jabrik di sebuah belokan di ujung jalan. Akan tetapi Jabrik merasa penasaran dengan sosok itu, ia segera berlari menyusul ke arah lelaki itu berlalu tetapi ia tidak mendapatnya lagi, seolah-olah laki-laki itu telah lenyap ditelan bumi.
Beberapa hari kemudian, Jabrik menceritakan peristiwa yang menurutnya tak biasa itu kepada dua orang kawannya. Mendengar kisah yang dituturkan Jabrik, kawan-kawan Jabrik di tambang pasir terkesima. Mereka mencoba menebak-nebak siapa gerangan pemberi lukisan itu.
“Orang itu pasti bukan sembarang orang, dan lukisan itu bukan sembarang lukisan, “ duga Perong. “Itu lukisan keramat dari seorang pengembara.”
“Kasihan, bisa jadi dia seniman yang lukisannya tak laku-laku.” Boncel menimpali.
Mendengar dua pendapat itu, Jabrik lebih tertarik dengan pendapat Perong. Ia berpikir bahwa lukisan itu adalah benda antik, benda keramat dari zaman raja-raja yang apabila dijual harganya bisa sampai ratusan bahkan milyaran rupiah. Sehingga, ia mulai memperlakukan lukisan itu lebih istimewa dari memperlakukan dirinya sendiri.
Lukisan itu ia lapisi dengan kaca, agar terhindar dari debu. Pada bingkainya, ia balurkan minyak wangi melati yang baunya semerbak. Dan ia letakkan lukisan itu di ruang khusus, yang ia gembok agar tidak dicuri orang. Saat tidur malam atau saat bekerja di siang hari, Jabrik selalu waswas, khawatir lukisan antik itu dicuri orang. Lebih dari semua perlakuan khusus tersebut, semenjak lukisan itu ada, Jabrik sibuk mencari informasi kolektor barang antik yang suka membeli lukisan kuno.
Pada suatu malam, ketika Jabrik belum juga menemukan seorang kolektor, rumahnya terbakar karena tumpahan lampu minyak yang melahap kain gorden. Kejadian itu bermula ketika Jabrik sedang khusyuk mengagumi lukisan itu, dengan berbagai macam tafsir yang ia kemukakan di kepalanya mengenai makna dari lukisan yang hanya berupa sosok berambut panjang bergelombang yang tampak dari belakang. Bahkan jabrik bekerja keras untuk menerka apakah sosok dalam lukisan itu seorang wanita ataukah lelaki.
Jabrik dilanda panik, saat api tengah memakan setiap sudut rumah. Ia tidak memikirkan sesuatu yang berharga untuk diselamatkan kecuali lukisan itu, Jabrik melompat keluar jendela dan terguling di rerumputan dengan lukisan yang erat dalam pelukannya, sehingga Jabrik tidak punya apa-apa lagi setelah musibah kebakaran, kecuali seonggok arang dari rumahnya yang terbakar, dirinya, dan sebuah lukisan.
Setelah kehilangan rumah, Jabrik memutuskan pergi mengembara bersama lukisan itu untuk mencari kolektor barang antik, yang tidak pernah surut dalam angan-angannya karena ingin menjadi kaya raya.
Semakin jauh Jabrik pergi mencari, menjadi semakin lusuh dan kurus badannya. Menjadi kedodoran dan compang camping pakaiannya. Ia tak sempat pula mencukur berewok yang tumbuh di wajahnya, hingga menjadi liar seperti semak belukar.
Lantaran perjalanan mencari kolektor barang antik yang terlampau jauh, membuat putus sepasang sandal Jabrik, dan kakinya menjadi pincang akibat tusukan duri dan kerikil. Jabrik terpaksa memungut sepotong kayu di jalan untuk menopang tubuhnya saat berjalan. Sebab waktu perjalanan yang lama itu pula, kaca lukisan itu retak dan akhirnya pecah, jadilah lukisan itu telanjang sebagaimana semula.
Lantas pada sebuah siang yang sangat terik dalam perjalanan itu, kepala Jabrik terasa terbakar. Jabrik tak tahan dan menyalahkan matahari. Dan untuk menolong kepalanya dari sengatan matahari, mau tak mau, ia terpaksa mengendap-endap, mencuri sebuah tudung bambu yang bertengger di kepala orang-orangan sawah.
Di saat yang sama, Jabrik merasa sangat lapar dan hasrat minum kopi datang begitu mendesak. Apabila ia membayangkan sepiring nasi dan secangkir kopi, maka meneteslah air liurnya. Demi menyudahi lapar dan haus, ia segera memeriksa kantung celananya. Tapi sayang, Jabrik baru teringat bahwa ternyata ia tidak memiliki uang di kantung celananya.
Jabrik akhirnya tidak punya jalan keluar kecuali menyinggahi rumah salah seorang warga, dari sekian banyak rumah yang ia lewati hingga waktu siang berlalu menyambut sore. Dengan menahan rasa malu, ia meminta makanan dan segelas kopi. Pemilik rumah yang ramah melayani Jabrik dengan baik. Tetapi masalah datang kemudian, ketika pemilik rumah bertanya, siapa Jabrik dan apa yang sedang ia cari. Jabrik terdiam sebentar untuk memikirkan jawaban, dan terpaksa berbohong demi terlihat berwibawa. Dengan wajah yang ia buat seteduh mungkin, Jabrik menjawab, “Cinta.”
Dan karena tidak punya sesuatu untuk membalas kebaikan pemilik rumah sebagai tanda terima kasih, maka Jabrik tidak punya pilihan selain merelakan lukisan itu sebagai hadiah.
“Sebentar, Pak!” Pemilik rumah menahan langkah Jabrik. “Siapa nama Bapak?”
Jabrik terdiam, ia enggan menjawab pertanyaan pemilik rumah, lantas berlalu dan ingin sesegera mungkin menjauh dari tempat itu.
(Makassar, 2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA