“Jangan macam-macam dengan raja Jawa.” Demikian ucapan Bahlil Lahadalia dalam Munas Golkar.
Apakah benar Jokowi adalah “raja Jawa”? Sebelum kita terburu-buru menyimpulkan Jokowi adalah “raja jawa” atau bukan, patutlah kita membedah apa tolak ukur seseorang dapat dikatakan raja Jawa.
Konsep raja dalam sejarah Jawa simpang siur berkembang. Secara ideal konsep raja memiliki konsep yang tak mudah direalisasikan. Oleh sebab itu, para raja di Jawa memiliki caranya sendiri untuk menyematkan gelar raja pada dirinya. Yang tentunya penyematan gelar ini mengikuti situasi dan kondisi sosio-politik yang terjadi pada saat raja-raja itu bertahta.
Dalam sejarahnya, raja Jawa tidak pernah menjalankan lakunya sesuai dengan selayaknya lakon Makutarama dengan konsep Astabrata-nya. Asta berarti delapan, Brata adalah laku, maka Astabrata adalah delapan perilaku dewa. Meski konon dalam mitologi Jawa, konsep Astabrata diturunkan berturut-turut dari Rama hingga raja-raja Jawa yang sering kali kita dengar di sekolah. Terlepas dari itu, seorang dari Kadipaten Pakualaman memberikan pembelaan, bahwa seorang raja sudah sangat baik meski hanya dapat mengimplementasikan separuh dari Astabrata.
Lantas mengapa keraton Jawa yang Islam memiliki konsep tinggalan Hindu? Karena Hindu adalah tolak ukur untuk menjadi adhiluhung. Tolak ukur ini diberikan oleh kolonial pada paruh awal abad-19. Artinya, semakin keraton Jawa yang Islam itu menjadi Hindu, maka keraton Jawa mewarisi ke-Arya-an Hindu. Tentu ini menjadi modal yang cukup kuat bagi keraton Jawa untuk menjaga legitimasinya di zaman edan ini. Serta melakukan penaklukan-penaklukan seperti apa yang Arya-Eropa lakukan.
Selain Astabrata, konsep lain yang menjadi penentu seseorang mendapat raja di Jawa adalah adanya konsep pulung atau wahyu. Wahyu bagi raja memiliki sebutan wahyu keprabon. Wahyu ini merupakan titah dari Tuhan untuk memilih siapa wakil-Nya di bumi. Seseorang yang diramal dan mendapat wahyu, akan dengan mudah menjadi raja, menggalang pasukan, dan mendapat simpati dari rakyat. Konsep wahyu tentunya mempertimbangkan dua konsep pola kepemimpinan Jawa, yakni monarki pro aristokrasi dan monarki kontra aristokrasi. Monarki pro aristokrasi adalah konsep dimana dalam satu kekuasaan terdapat dualisme kuasa, sehingga raja bukanlah satu-satunya kuasa atas kerajaannya. Sedangkan, bertolak dari itu, monarki kontra aristokrasi menunggalkan kuasa atas kekuasaannya di bawah seorang raja. Dengan begitu, wahyu lebih dapat diimplementasikan pada konsep kepemimpinan berupa monarki kontra aristokrasi.
Pada masa Hindu, konsep kuasa mengadaptasi monarki kontra aristokrasi, dimana raja memiliki kuasa tunggal atas kekuasaannya. Ini terbukti dengan konsep kekuasaan di Majapahit yang berdasar dari kitab Kutara Manawa Dharma Sastra. Yang mana raja menempati puncak tertinggi hirarki kekuasaan bahkan di atas hukum. Karena raja adalah hukum itu sendiri.
Dengan hadirnya kuasa Islam atas Jawa yang melakukan de-Majapahitisasi, maka kerajaan Islam mengusung konsep monarki pro aristokrasi. Dimana dalam satu kekuasaan terdapat dua kuasa yang menjalankan kekuasaannya. Demak dalam hal ini mendapuk sultan sebagai pemegang kuasa, di sisi lain ulama juga diberi kuasa setara dengan raja.
Namun sebagai pemain baru, Sutawijaya yang ingin membangun dinasti Mataram, menunggalkan kuasa sebagai modal awal membangun kekuasaanya. Sutawijaya yang kelak dijuluki Panembahan Senopati menjadikan Majapahit sebagai patron sekaligus sumber legitimasinya. Karena Sutawijaya hanyalah batur sekaligus petani biasa yang mengandalkan bejo (untung) sebagai modal utama.
Siapa Raja Jawa?
Setelah tahu idealnya laku seorang raja, mari kita ulik, siapa orang yang berhak mendapat gelar raja dan bagaimana seseorang mendapatkannya. Ken Arok mendapatkan gelar raja setelah mengaku bahwa ia adalah titisan Dewa Brahma; Raden Wijaya mendapat gelar raja setelah menerima pulung di puncak Penanggungan; Raden Patah mendapat gelar raja setelah mendapat legitimasi dari Walisanga; Panembahan Senopati mendapat gelar raja setelah bersenggama dan mendapat wahyu keprabon dari dasar gua garba Nyi Rara Kidul.
Tidak cukup dengan itu, Sultan Agung mendapat gelar raja sekaligus keagungannya setelah menaklukkan seluruh Jawa. Amangkurat anaknya, mendapat gelar raja setelah membunuh 5000-8000 ulama beserta oposisinya yang berseberangan pendapat dengannya. Amangkurat II mendapat gelar raja setelah menghisap cahaya putih dari ujung penis ayahnya, serta dikoronasi oleh VOC di pantai Jawa Utara. Kisah-kisah ini membuktikan bahwa tidak ada raja dalam sejarah Jawa yang melihat Astabrata sebagai acuan. Barangkali Astabrata adalah wujud ideal selayaknya raja di Jawa yang hanya sebatas ide.
Setelah fafifu soal raja-raja lalim Jawa, lalu bagaimana dengan Jokowi? Pada dasarnya adalah siklus. Sejak kolonialisme eksternal (Eropa) menjajah Kepulauan Indonesia, muncul mekanisme-mekanisme kolonialisme internal. Mekanisme ini menjadi kutil yang menggerogoti dan melakukan bunuh diri kebangsaan. Siklus kuasa ini terpelihara hingga masa pascakolonial. Dimana kekuasaan pascakolonial juga menjadi penerus gerak laku kolonialisme internal. Dalam kasus spesifiknya, Sukarno dan Suharto sebagai Jawa melakukan laku yang serupa dengan apa yang kolonialisme ekternal-internal lakukan kepada daerah-daerah pinggiran. Jika kolonialisme Eropa menganggap daerah pinggiran non-Jawa sebagai terra incognita, maka penguasa pascakolonial melihatnya serupa. Terra incognita itu perlu diberadabkan dan lalu dieksploitasi.
Sebagai pewaris kekuasaan (meski melalui “demokrasi”), Jokowi memiliki tendensi atau bahkan telah menjadi neo-kolonialisme internal. Seperti apa yang telah kerajaan lama lakukan dan apa yang Sukarno-Soeharto lakukan. Setelah apa yang Jokowi lakukan dengan mengobok-ngobok trias politica, Jokowi sepertinya sedang bermain catur untuk menjadikannya sebagai raja yang memiliki kuasa absolut. Meski tak sampai mewujudkan situasi monarki kontra aristokrasi laiknya Soeharto. Namun dari gerik lakunya sudahlah pasti mewujudkan dalam bentuknya yang baru. Bahkan jika perlu dengan menjadikan dirinya sebagai hukum itu sendiri.
Jokowi sebagai raja tentunya berbeda dengan raja-raja Jawa pada umumnya. Jokowi bukanlah raja Solo dengan gelar Pakubuwana. Jokowi sudah pasti bukan raja Jogja. Jokowi juga bukan pula raja Jawa, Jawa secara spasial. Tapi sudah pasti Jokowi adalah raja Jawa, Jawa secara konsep. Laiknya Sultan Agung, Jokowi telah menyatukan “Jawa” di bawah supremasinya.
Bertandang ke Karo, Karo adalah “Jawa”. Berkunjung ke NTT, NTT adalah “Jawa”. Membuat IKN, IKN adalah “Jawa”. Laiknya Amangkurat, oposisinya adalah orang yang tak setuju anaknya naik dampar kedaton. Laiknya Pakubuwana II, sabdanya bukan sabda pandhita ratu, melainkan veni, vidi, hipokrisi.
Barangkali atau barang pasti, gelar “raja Jawa” pada Jokowi adalah akibat dari adaptasi konsep raja Jawa di masa yang lalu, lalu lahir dengan bentuknya yang baru.