dingin perapian
masihkah kita harus berjalan menyusuri jalan setapak ini dari ketiadaan dan ketidakpastian cuaca?
pada jalan yang kau tempuh, dari rasa sakit yang kau lawan bertahun-tahun, dari perih kesetiaanmu yang jauh pada palung yang tak bisa kutebak kedalamannya. semuanya telah kudengarkan. semua telah luruh ke dalam jiwaku. aku bayangkan kau sebagai malaikat kecil yang datang mengetuk pintu yang terbuat dari dahan pohon dari bukit-bukit ini.
lalu kita saling mendekap hangat, sebab di bukit ini, dingin menikam kita sungguh panjang—angin berkelebat begitu riuh dan kabut mengaburkan pandangan kita saat kau memeluk hangat bagian tubuhku yang luruh ini.
angin membawaku pada matamu yang sayu, melihatku dan akan terus seperti itu sampai kita tak lagi bisa berbicara apa-apa, sampai tak ada lagi yang bisa membuat matamu lembab dan basah—sampai dingin di bukit ini tak lagi dapat menikammu, sampai jarum jam di dinding rumah berhenti berdetak.
tak ada alasan bagi kita untuk saling bersedih, kau memeluk atas sesuatu, sampai kita tak lagi merasakan dingin cuaca di utara.
(Makassar, 2021)
–
dari mana datangnya peristiwa?
pertanyaan bergantian datang tak pernah benar-benar selesai di hadapan manusia. ia seperti laju kendaraan di jalan raya, berhenti di perempatan jalan, lalu melaju setelahnya. membangun monumen atas peristiwa olehnya, tapi lupa bertanya dari mana datangnya peristiwa?
kota telah kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan makhluknya. sebab kata-kata acap bertanya; mengapa kota tak pernah terlelap di waktu gelap. ingarnya terus terlintas di kepala?
remang jalan menyembunyikan kau darinya. ia kutukan, ia membenci dirinya yang lain. lalu pada bagian mana akhirnya kau menyiasati peristiwa yang kerap kau temui selepas bergegas dari satu persingahan ke persinggahan lain dari satu ruang ke ruang lain.
tak ada tempat di kota ini untuk bersembunyi, setiap ruangnya adalah mata kamera yang setiap waktu mengambil diam-diam bagian tubuh kita dalam segala suasana. kota merebut langkah kaki kita, yang terbiasa berjalan ke ruang gelap dan tersembunyi atau ke ruang ramai yang terang dan terbuka.
orang-orang di kota kerap menangkap dirinya sendiri dengan mata kamera di tangannya. lalu bertanya, tangkapan ini untuk apa pada akhirnya?
(Makassar, 2022)
–
batipuh pada sebuah pagi
lihatlah sunyi itu sebagai pertapaan yang duduk terpaku di halaman rumah yang ramai namun saling berjauhan.
saya berada di antara jarak yang tak dapat diukur oleh waktu, ruang, batas, emosi dan perasaan-perasaan yang lain.
saya berada di antara camar yang meraung setiap pagi di batipuh, peluk tubuhnya selalu mendekap hangat lengan-lengan saya yang rapuh ini.
tubuh saya membeku di dalam ruang atau di luar ruang, dingin menimpali hingga waktu yang tak terbatas, tetapi kehangatan emosi lesap bersama bayang-bayang seseorang yang kutinggalkan di tempat nun jauh di seberang celebes, di tanah leluhurnya pada sebuah tempat yang dingin juga berkabut di utara. saat kabut dan dingin tiba, saya seperti menghirup bau tubuhnya yang kukenali.
batipuh memahat segala ingatan saya padanya sekali lagi.
saat gelap tiba ia seperti tanah yang asing bagi peraduan yang jauh tak terbatas. saat terang tiba ia menjadi simpul yang enggan berajak dariku.
(Makassar, 2022)
–
membaca pinrang pada dini hari
cuaca memang tak pernah lepas dari ingatan kita padanya; pada tempat atau pada nama-nama yang tersenyum olehnya. pada tanah manapun kaki ini berpijak, padanya ia tertambat juga, seperti di kota ini pada dini hari yang sedang hujan malu-malu.
pinrang bagi saya adalah bukan hanya sekadar sebuah kota atau kabupaten di utara tetapi, ia lebih dari segala ingatan yang memahat ingatan saya padanya.
(Pinrang, 2022)
–
pada bagian mana cerita akan berakhir?
saat perahu melaju, merpati putih itu terbang di langit luas—saat udara yang dingin membasahi seluruh tubuh kami yang rapuh dan ringkih ini. tidak ada gigil hari itu, ia menjadi hangat, ia memeluk kami dari dalam perasaan terhalus yang tuhan titipkan pada kami.
mata kami yang basah ini tak napak, ia diselimuti hujan yang malu-malu. hutan batu, aliran sungai dan perahu melaju. kita melempar senyum pada segala yang menyambut, pada dahan pohon yang sesekali menghalangi pandangan, pada kecemasan yang tak pernah berakhir. kita tidak pernah tahu pada bagian mana cerita akan berakhir sebenarnya.
kita cukup tua untuk bersedih sebenarnya, tetapi kesedihan tak memandang usia bukan?
(Makassar, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA