Melakonkan Ingatan, Mewariskan Solidaritas: Catatan Ziarah Makam Eyang Soerjopranoto

Lestari

4 min read

Suara perangkat gamelan gender mengiringi awan yang kian sore kian kelabu. Di suatu sudut Desa Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta, puluhan orang berbondong-bondong mengunjungi Makam Rahmat Jati atau Makam Gambiran. Sore itu tak ada keranda yang disingkap, tak ada yang berpulang ke Rahmatullah, dan bulan ini juga bukan bulan puasa di mana ritual ziarah biasanya dilakukan dalam tradisi Islam-Jawa. Namun, di tanah lapang depan makam telah tersaji tenda dan tergelar tikar untuk ziarah. Rombongan yang kurang lebih terdiri dari 50 orang menghadiri makam Si Raja Mogok alias Soerjopranoto. Saya termasuk salah satu peserta yang mendaftar untuk mengikuti ziarah tersebut.

Soerjopranoto, putra sulung Pakualam III mendapatkan julukan Si Raja Mogok dari kaum kolonial Belanda karena perbuatannya yang acap kali mengorganisir para buruh di Yogyakarta untuk mogok kerja, terutama pada periode 1917-1920. Saya sendiri jarang sekali mendengar namanya. Dalam pelajaran sejarah semasa di bangku SMP-SMA, nama adiknya, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara  lebih sering terdengar. Ziarah ini tentu mengajak kita untuk mendoakannya. Namun, terlebih dahulu memperkenalkan Soerjopranoto sebagai sosok yang anti penjajahan dan memperjuangkan solidaritas kelas.

Baca juga: 

Usai iringan gender menyambut para warga berkumpul, ziarah dibuka oleh seorang pria yang berpakaian adat Jawa. Lengkap dari blangkon, surjan, dan jarik. Ia menginstruksikan warga yang hadir mengenai syarat dan norma yang sepatutnya ditaati kala mengikuti ziarah. Mulai dari larangan masuk ke makam bagi para perempuan yang sedang haid, larangan untuk meminta apapun kepada arwah leluhur yang dimakamkan, dan anjuran untuk berpikir jernih serta tidak mengucap kata-kata kasar. 

Pria bersurjan tadi mengajak rombongan peziarah untuk berdoa hanya kepada Allah SWT atau Tuhan dalam kepercayaan masing-masing. Kemudian, ziarah dilanjutkan dengan acara serupa tahlilan yang diisi dengan ceramah dari peneliti makam-makam tua sekaligus dosen sosiologi agama UIN Sunan Kalijaga bernama Gus Yaser Arafat.

Soerjopranoto dalam Lintasan Masa Pergerakan 

Ceramah yang dituturkan Gus Yaser kental dengan narasi historis mengenai Soerjopranoto. Terlebih narasi tentang gerakan-gerakan sosialis yang diinisiasi olehnya. Melalui ceramahnya, Gus Yaser menceritakan  kiprah Si Raja Mogok yang turun langsung ke masyarakat akar rumput. Ia menentang kaum Belanda yang menjadi petinggi industri karena telah memecat pegawai pribumi karena bergabung dengan Sarekat Islam. 

Di zaman pendudukan Belanda, Sarekat Islam menjadi salah satu organisasi yang mengancam keberadaan pemerintah kolonial. Pergerakan-pergerakan massa yang memberontak Belanda lahir dari organisasi tersebut. Hal tersebut nampak dari data-data yang ditemukan Takashi Shiraishi. Dalam bukunya yang berjudul Age in Motion, Siraishi menerangkan bahwa dalam periode awal berdirinya Sarekat Islam di tahun 1913 telah terjadi beberapa aksi mogok dari pekerja-pekerja Pabrik Gula Ceper (Surakarta). Soerjopranoto sendiri juga menjadi bagian dari Sarekat Islam (SI) dan menjadi pemimpin SI cabang Yogya. 

Selanjutnya, Gus Yaser juga menjelaskan inisiasi Soerjopranoto mendirikan tentara buruh. Gerakan sosial lainnya dari Si Raja Mogok adalah pendirian koperasi bernama Mardi Kiswa. Lalu, ia juga mendirikan sekolah liar atau sekolah alternatif yang terdiri dari beragam kursus bernama Adhi Dharma. 

Cerita-cerita mengenai perjuangan Soerjopranoto menyentil pikiran saya untuk berkata bahwa ia merupakan tokoh penting dalam politik pergerakan di masa kolonial. Ketika berbicara tentang politik pergerakan di masa penjajahan, kita cukup sering mendengar Semaoen, Darsono, dan Tjokroaminoto. Pun di ranah pendidikan, kita sering mendengar adik Soerjopranoto yaitu Ki Hajar Dewantara. Padahal, kita bisa melihat banyaknya inisiasi Soerjopranoto dalam lanskap politik pergerakan di masa penjajahan. 

Aksi nyatanya dalam mengorganisir buruh sebenarnya terekam melalui aktivasi sebuah serikat pemogokan buruh bernama Personeel Fabrieks Bond atau Perserikatan Pekerja Pabrik Gula. Ia mentransmisikan semangat bersolidaritas  dan antikolonialnya kepada para buruh di pabrik gula sekitar Yogyakarta. Laiknya gulma, pergerakan itu menyebar dan menjalar. Diterangkan Gus Yaser bahwa pada akhir 1919 PFB mencapai 10 ribu anggota di seluruh Jawa. 

Gus Yaser Arafat (sumber: koleksi pribadi)

Prinsip antikolonial dan kesetaraan kelas Soerjopranoto memang begitu kuat dan terpatri. Ia membuat pernyataan tegas dengan kawan-kawan buruhnya, “Tidak ada orang yang boleh menjadi tuan bagi manusia lainnya”. Prinsip itu juga tak sekadar menjadi seruan orasi. Diceritakan pula oleh Gus Yaser bahwa ia berani merobek ijazahnya di depan petinggi kolonial dan hengkang dari posisi dalam pemerintahan. Kebangsawanannya pun ia tinggalkan juga.

Selain membicarakan kiprah Soerjopranoto, Gus Yaser menceritakan tentang Si Raja Mogok di usia menjelang kepulangannya ke Rahmatullah. Soerjopranoto melakukan Tapa Pandita, sebuah laku bagi orang Jawa untuk bersiap-siap menghadapi kematian. Laku tersebut didasari dengan pandangan bahwa kematian itu tidak perlu ditakuti, tetapi perlu disambut. Kemudian, laku bersiap-siap di sini artinya mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Soerjopranoto memiliki caranya sendiri dalam melakukan Tapa Pandita. Salah satunya adalah membuat kliping dari kumpulan khotbah hari Jumat yang diterbitkan dalam koran Kedaulatan Rakyat. Ia juga menulis berbagai renungan spiritual. 

Warisan di Antara Barisan Nada Pelog Slendro

Usai memberikan ceramah, iringan gamelan dan alat musik lainnya berupa gitar bass dan keyboard mulai mengalun. Kali ini, ada lantunan suara dari seorang perempuan dan laki-laki. Perempuan yang menyanyi mengeluarkan suara melengking khas sinden. Lagu tersebut barangkali dinyanyikan dalam bahasa Jawa krama inggil karena ada banyak kata-kata yang tidak begitu familiar bagi saya. Barisan melodi yang terdengar menggunakan nada pentatonik khas langgam Jawa. 

Kalimat-kalimat yang saya dengar dan masih mampu saya pahami setidaknya berkata demikian.

Sabar hawa nafsu kendih

Lan betjik marang sasama

Ngaral ywa ginawe sedih

Seiring dengan lengkingan suara sinden itu ada frasa-frasa lain yang terus melagu. 

La illaha illallah

La illaha illallah

La illaha illallah

Musikalisasi drama (sumber: koleksi pribadi)

Lirik lagu yang dinyanyikan perempuan tadi sejatinya diambil dari tulisan-tulisan Soerjopranoto yang dibuatnya dalam masa Tapa Pandita. Melalui dua baris pertama tembang yang berarti menahan hawa nafsu serta berbuat baik terhadap sesama, terlihat betapa Soerjopranoto masih resisten dengan kehidupan yang acap kali bertumpu pada material semata. Setelah melewati masa-masa pergerakan, prinsip bersolidaritas itu masih ia rawat.

Dramaturgi Sosial Ziarah

lantunan lagu itu rupanya juga mengiringi dua sosok yang berjalan dari arah yang berlawanan. Kedua sosok ini tubuhnya ditutupi kain coklat memanjang hingga menutup kaki. Mereka jalan membungkuk dan membawa keranjang berisi bunga setaman. Namun, ada yang nampak surreal dari sosok-sosok ini. Kepalanya terbuat dari goni, bentuk wajahnya tak merata. Bulat dan berisi di pipi, tetapi matanya begitu kecil dan nampak kosong. Rambutnya telah memutih dan berantakan.

Representasi Semar (sumber: koleksi pribadi)

Kedua sosok tersebut bukanlah sosok dari dunia lain. Para pengunjung lainnya juga menoleh ke arah kedatangan mereka. Sosok-sosok itu memang dihadirkan oleh penyelenggara ziarah sebagai representasi dari Semar, tokoh dalam cerita pewayangan yang digemari Soerjopranoto.

Baca juga:

Ziarah ini memang nampak sangat berbeda dari ziarah yang biasanya kita temui. Alih-alih membuat makam yang sudah sepi semakin senyap, ziarah ini menaruh iringan musik dan nyanyian, tahlilan dan ceramah yang menjadi sebentuk lecture performance, hingga dua pemeran Semar. Semua itu dijahit menjadi suatu jalinan dramaturgi sosial ziarah. Ziarah ini memang sejatinya pertunjukan penutup dari rangkaian festival Enam Tubuh Si Raja Mogok yang diadakan Komunitas Sakatoya.

Para pengunjung tetap dikondisikan untuk bisa khusyuk dan mengirim Al-Fatihah kepada Soerjopranoto serta keluarganya sebelum Gus Yaser memulai ceramah. Meski awalnya tentu asing bagi pengunjung non-Muslim seperti saya, tetapi ziarah ini tetap bisa dinikmati sebagai pertunjukan dan pengalaman spiritual. Ceramah Gus Yaser sangat membantu karena ia menonjolkan banyak aspek sosial yang dilakukan Soerjopranoto.

Usai kedua sosok Semar melewati depan panggung, para pengunjung dikondisikan untuk bersiap-siap memasuki makam Eyang Soerjopranoto.

Dalam tradisi Islam-Jawa, ziarah telah menjadi sejenis ritual yang umum dilakukan. Bahkan, tak hanya menjelang Idul Fitri saja. Namun, Amalia dan segenap penampil tidak menjadikan ziarah sebagai agenda yang repetitif saja seperti mendoakan leluhur dan menabur bunga. Ada memori-memori tentang Soerjopranoto yang diaktifkan kembali melalui ceramah, tembang Jawa, dan kedua pemeran Semar.

Ceramah menjadi medium pengingat dan transmisi pengetahuan tentang semangat, prinsip, dan inisiasi-inisiasi yang dilakukan Soerjopranoto. Tembang Jawa yang melagukan ajaran-ajaran Soerjopranoto tentang pentingnya merawat solidaritas dan kesetaraan. Melalui pertunjukan yang diberi judul Merapal Piwulang Sampai Pulang, ziarah menjadi upaya baru untuk merayakan ingatan, terutama bagi sosok yang tak tenggelam dalam privilese ikatan darah biru, namun sebaliknya, berpihak kepada yang ditindas dan dicurangi.

Meski Belanda telah lama ditendang dari negara kita, ketimpangan kelas menjadi mata rantai yang tak pernah putus hingga hari ini. Buruh-buruh masih terus memperjuangkan untuk upah yang layak, jam serta beban kerja yang tak mengeksploitasi diri mereka. Merayakan memori tentang Soerjopranoto menjadi penting untuk selalu mengingat para buruh, kelompok yang hingga kini masih rentan ditindas. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki 

Lestari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email