Ketika Negara Kehilangan Semar

Eko Nurwahyudin

3 min read

Bagi manusia yang meruang dan mewaktu, eling dan waspada merupakan syarat mutlak untuk dapat selamat dan menyelamatkan. Hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan tak memiliki keduanya seperti menjalani ironi seekor orong-orong yang putus kepalanya – seperti Semar yang lepas dari raganya!

Melalui novel yang bertajuk Semar Mencari Raga, Sindhunata yang terilhami dari lukisan-lukisan Semar menggambarkan sebuah lelakon haru tentang huru-hara dari hari ke hari. Pada novel yang dibagi menjadi tujuh bab inilah penulis mengajak pembaca untuk merefleksikan keadaan negara yang sakit dan warganya yang tercekik paceklik. Ketidaktentraman lahir dan batin, permusuhan dan segala watak dan tindak angkara murka terjadi lantaran negara dan warganya kehilangan Semar.

Semar merupakan sosok yang paling samar. Ia merupakan mahluk langit yang sujud dalam raga yang membumi. Ia menjadi pemomong yang paling setia mencari raga untuk dimomongnya. “Apa jadinya penguasa tanpa kawula yang memomongnya?” (halaman 2)

Pada pertanyaan ini pembaca tak hanya diajak merefleksikan tentang pentingnya kritik (salah satu contoh pemomongan) untuk sehatnya pemerintahan dalam keadaan dewasa ini – pun, kritik dari seorang kawula yang memomong pemerintah mendapat tekanan sangat penting manakala pembaca dengan jeli melihat ruang dan peluang masyarakat untuk andil memomong pemerintah pada tahun 1996 dimana novel ini diterbitkan pertama kali. Tahun yang menurut laporan lembaga bantuan hukum sebut sebagai tahun kekerasan.

Pemerintah dalam hal ini Kurawa maupun Pandhawa setengah mati menjadi bingung tatkala kehilangan rakyat – kehilangan pemomongnya! Kehilangan pemomong bagi suatu negara berarti berpotensi besar menghilangkan negarawan dalam negara. “Seperti para Pandhawa, para Kurawa pun berpendapat, kelestarian kerajaan dapat dijaga, bila mereka memiliki Semar” (halaman 2).

Dalam samar kebingungan ekonomi politik dan kegundahan psikologi politik itulah partai Pandhawa dan partai Kurawa menemukan Semarnya masing-masing. Semar-Semar itu atas bisikan Sengkuni mereka adu.

Nampaknya bagi negara yang telah kehilangan negarawan – negara yang dipimpin berdasar hitungan untung rugi politisi, perkelahian antar rakyat memang diinginkan. Namun ketika rakyat telah berkelahi satu sama lain penguasa menjadi bingung dan kehilangan kuasanya untuk melerai. “Terjadilah perkelahian tiga Semar. Ketiganya berilmu sama, memperagakan kebiasaan yang sama pula. Baik Kurawa, mau pun Gathutkaca, Abimanyu dan Anoman menjadi bingung. Mereka berusaha melerai perkelahian itu namun tidak berhasil.” (halaman 5)

Kesintingan inilah yang diharukan penulis melalui tokoh Semar yang sejati. Pembaca diajak untuk mengingat kembali sangkan paran dumadinya. “maka kau adalah Semar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan.” (halaman 10)

Tak hanya berhenti mengingatkan kembali muasal dan tujuan manusia, Sindhunata melanjutkan dalam proses samar dari muasal ke tujuan manusia harus selalu eling lan waspada, ingat dan waspada. Ingat bahwa manusia telah mati sak jeroning urip, mati dalam hidupnya. Artinya, dalam hidup manusia dilarang untuk adigang, adigung, adiguna apalagi rakus terhadap kekayaan sampai harus menindas bahkan membinasakan sesamanya. Manusia harus memiliki standar cukup karena mereka hidup dalam samar – dalam ketidakpastian akan masih hidup semenit kemudian?! “Dalam hidupmu Semar, sudah terkandung kematian. Hanya kehidupan yang berani membawa kematian dalam dirinya, kehidupan itulan yang berlanjut dengan keabadian. Maka kau, Ki Nayantaka, tunjukanlah pada dunia, sehebat-hebatnya dunia ini, hanya kesudahanlah yang menjadi akhir baginya.”

Adapun mengamalkan mati sak jeroning urip itu dengan setia menyeimbangkan trilogi tauhid: menjaga keharmonisan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan sesama mahluk termasuk tanah air. “Semar telah bersatu dengan tanah. Ia mencintai tanah karena tanah adalah raganya” (halaman 15).

Pada bagian inilah, penulis menyentuh sisi spiritualitas dan religiusitas manusia untuk ingat bahwa manusia terdiri dari roh dan badan, bagian yang halus dan kasar. Manusia harus mati-matian menyeimbangkan dua hal yang bertentangan dalam samar dalam dirinya tersebut pun dengan manusia lain yang sama sulitnya menyeimbangkan hal bertentangan itu dalam diri mereka.

Maka, tak cukup manusia melihat dengan mata lahir dan mata batinnya sendiri dalam hidup yang begitu samar. Seperti Semar, manusia yang telah memiliki level hidup sebagai pemomong selalu melihat hidup yang samar dalam kewaspadaan. Melihat dengan waspada artinya melihat hidup yang samar tak hanya dengan mata kepalanya sendiri tetapi juga dengan mata orang lain.

Kebijakan pajak contoh nayata yang disinggung penulis. Alih-alih kebijakan tersebut dapat menjadi jalan untuk membangun kayangan justru menjadi penyebab kemiskinan struktural yang sungguh menindas petani. Adapun macam-macam pajak yang dihasilkan para cendekia di istana namun menindas antara lain wilah welit (pajak tanah), pengawang-awang (pajak pekarangan), pencumpling (pajak pintu rumah), pajigar (pajak ternak), penyoket (pajak memindahkan tanah), bekti (pajak sewa tanah), paro maupun pertelu (pajak urusan tanah lungguh), pasimpen (pajak nasi untuk tukang kebun kerajaan), pamili tojo (pajak untuk petugas irigasi sawah), tugel Gurung (pajak menyembelih ternak), pegundhal (pajak untuk memelihara gamelan), pasok dalang (pajak menyaksikan pertunjukkan wayang). Tak hanya urusan pajak, kesengsaraan petani kian berat dengan kebijakan kerig aji (kerja bakti untuk penguasa nigari) dan pancasan (kebijakan untuk mengurangi luas tanah-tanah petani (halaman 25-26).

Derita yang sudah sampai leher itu sekali lagi hanya dapat dicegah manakala manusia mencari Semar yang sejati. Semar yang selalu bersemadi – selalu terjaga, selalu eling dan waspada dalam sanubari. Semar yang terus menerus membangun kayangan dalam samar.

Akhirnya, apakah manusia yang bosan terhadap penderitaan lantas menggugat penderitaan tersebut pasti akan mendapat keselamatan dan kegembiraan? Entahlah. Tidak ada manusia yang tahu, karena roh mereka masih meruang dalam ragaNya dan raga mereka masih mewaktu bersama rohNya.

Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Eko Nurwahyudin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email