Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Alkisah dan Puisi Lainnya

Eka Nawa Dwi Sapta

1 min read

alkisah

pada suatu pagi yang murung,
maut datang telanjang
bersama hawa dingin yang mencekik,

katakanlah wahai kehidupan,
akulah kematian,
katakanlah kematian,
akulah kehidupan,

ia menyiah kelambumu, menyia gorden,
dan membuka jendela kamarmu,
namun kau nyaman terbenam dalam selimut tebal,
setelah semalam menangis putus asa,

aku datang membawakan engkau berita gembira,
tuhan telah mengutusku
untuk menyampaikan dua rahasia,

maut duduk di tepi jendela,
kedua sayapnya membeku,

pertama, surga tidak ada,

di terasmu yang sunyi,
sandal jepit membanjir,
anak kucing jingga berendam
sembari menyusu,
sementara anak kucing hitam
memejamkan mata perlahan,
bersama kedua tangan maut tertangkup,

kedua, hidup itu ilusi.

(2021)

sajak kemarau

juli terasa gersang dan rengat,
dan waktu entah sejak kapan berjalan lambat,

karatkarat dari tiang lampu jalan
luruh diterpa angin
dengan kasar,
jatuh pada lekuk parit,

kemarau sedang merasuki harihari kau kembali
seperti ulat
merangkak, merambat
menggerogoti daundaun bugar,

dan kekayuan ringkai,
pasrah pada musim
sebab siklus
adalah ritus yang harus,

ada mata air sekarat
bersembunyi di dalam sumur
dilindungi tumpukan batu bata merah rapuh,
yang lama-lama merenggang,

ada lumut mati mengeras,
disiksa kemarau tanpa belas kasih,

ada seekor capung kehilangan satu kaki
terbang berisik sebelum mati diterkam kucing,

ada seorang pemuda sial
yang hidupnya tak sehari pun mengenal
hujan di bola matanya.

(2021)

mudik

jumat kelabu,
ketika kau pergi meninggalkan desamu,
ia masih belia polos yang tak mengerti apaapa,
tetapi ketika kau pulang,
pada kamis siang empat tahun kemudian,
desamu sudah tidak perawan,

lihat, ia dicumbui lelaki dari kota
menjamahnya,
mencabut akarakar
dan mengisap sungainya,

kau biarkan ia digusur berkalikali,
berkalikali, berkalikali, berkalikali
sampai dia menjerit
lalu mati,

tidak lagi kau cium aroma rumput kering,
kleneng sapi dan derap langkah
bocahnya diburu petang,
atau wanitawanita mengambin ambung di kepala,
malam hanya menyisakan orangorang
yang memikirkan uang, uang, dan utang

ketika desamu mati,
kau dan rumahmu raib menjadi cerita.

(2021)

Kamar 313

kamar yang pernah kutinggalkan
malam ini aku kunjungi
kardus-kardus pakaian telah dikemas
perabotan terserak,
sawang menempel di ujung rambutku

angin menggoyang tirai jendela,
di ujung kaki ranjang bertingkat
ranjang tua, tempatku pernah memejam,
aku membeku jenak,
memilih duduk di sana,
mengingat kesepian-kesepianku yang berlalu
berganti kesepian-kesepian baru,

ada banyak kardus-kardus di luar
siapakah yang menyembunyikan
kesepian-kesepian mereka di situ?

di setiap malam, aku merindukan,
kesedihan-kesedihanku yang tak pernah kusut
yang hadir dalam suasana hitam dan putih,
dalam pejam, aku tak ingin bangun,
damai di sini,

kamar yang pernah kutinggalkan
kembali aku datangi,
kuharap,
ini ruang istirahatku terakhir.

(2021)

bunga matahari

di atas gunungan abu lembap
kubenamkan benih bunga matahari,
angin dingin semilir membelai rumpun bambu,
memelukku dari belakang seperti kekasih
yang merana sejak lama,

para jangkrik tak berwujud menghibur
melantunkan kidung damai,
lagu tentang semalam hujan,

aku khawatir
dalam sepuluh, dua puluh, tiga puluh milyar tahun lagi,
mungkinkah aku masih dikenang?
aku bertanya, aku tidak tahu,
yang aku tahu rumput miang dan ilalang
telah berkalikali hidup mati
mereka mampu kukuh bertumbuh
semampu desah angin meniupkan kesempatan,
siapakah yang memberi mereka kesempatan?

(2021)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email