Bercumbu dengan Hantu

Christiaan

3 min read

Saya tertegun ketika menemukan satu dari kumpulan sajak Rendra yang mengatakan bahwa usia cinta jauh lebih lama dari usia percintaan. Seketika saya teringat kepada Shameel, kawan saya yang baru-baru ini diputuskan oleh Nisa, pacarnya. Tak ada alasan yang cukup untuk menjelaskan putusnya hubungan itu. Shameel kecewa, tentu. Kekecewaannya itu ia ungkapkan kepada saya nyaris pada setiap kesempatan kami bertemu. Teramat sukar bagi dia untuk memahami, bagaimana bisa sebuah hubungan diakhiri begitu saja, dengan cara seperti itu? Apa penyebabnya? Jenuh? Malas? Benih benci yang tumbuh akibat kesalahan? Atau apa? Shameel tak sedikit pun mengerti. Yang dia tahu, dia mencintai kekasihnya sekalipun ia telah dicampakkan. Baginya, cinta tidak mesti berakhir dengan berakhirnya sebuah hubungan.

***

Hari ini, sepulang dari kampus, saya berkunjung ke kedai kopi tempat Shameel bekerja sebagai barista. Begitu tiba, lekas saya ambilkan buku sajak Rendra dari tas saya, lalu membacakan satu sajak di depan Shameel. Sajak yang sangat relevan dengan kisah percintaannya itu. Dia lalu hanya manggut-manggut mendengar sajak Si Burung Merak itu.

“Ah, alangkah betul ini sajak!” Barangkali begitu isi kepala Shameel. Sebab memang demikianlah yang dirasakannya. Dia tidak berhenti mencintai gadisnya di saat gadisnya telah terang-terangan berhenti, atau setidak-tidaknya telah terang-terangan mengungkapkan niat untuk berhenti mencintainya.

“Ah, sajak ini benar-benar seperti yang aku rasakan.” Ujar Shameel antusias.

“Ya. Ada perasaan yang tak terbahasakan. Kalau kita sudah temukan kata untuk semua perasaan, tentu kita tidak butuh penyair lagi di dunia ini.”

“Aku kira hanya aku yang paham perasaan ini saking anehnya.”

“Ya, begitulah. Kau pikir kau berada di suatu tempat yang sama sekali belum terjamah. Bung, tidak ada tempat semacam itu di dunia ini. Penyair selalu sudah lebih dulu berada di sana…” kata saya datar sembari memasukkan kembali buku sajak Rendra ke dalam tas selempang.

Siang itu saya meninggalkan Shameel di kedai kopi tempat ia bekerja. Saat hendak membayar, ia menolak. Katanya, untuk merayakan mesin espresso baru di kedai itu. Shameel lalu hanya menarik dua batang rokok saya dari kotaknya. “Stok.” katanya datar. Mimik wajahnya masih menyisakan antusiasme dan keherananan pada sajak Rendra yang tadi saya bacakan.

***

Sialan! Saya melirik jam bundar di dinding kamar kos. Siapa pula yang menelepon pukul dua dini hari? Harusnya saya tak lupa menekan mode pesawat sebelum tidur tadi. Saya menatap layar ponsel. Terbaca nama Shameel. Ha! Barista patah hati itu rupanya. Mau tak mau saya terima juga panggilan itu. Toh, cukup sering juga barista ceking itu menyeduhkan kopi cuma-cuma buat saya.

“Bung! Betul nian sajak Rendra itu!” terdengar jelas suara cempreng Shameel. “Cinta kepada kekasihku sama sekali tidak berkurang. Tapi, bung…” terdengar antusiasme Shameel bertukar sendu. “Aku mulai bosan bercumbu dengan hantu….”

“Kau mabuk?” Saya memotong.

“Ah, jangan seperti itu, dengar dulu. Semua ini tentang sajak Rendra itu. Mari kita bicara soal sajak itu. Sajak itu bilang, seperti kau bacakan kemarin, usia cinta jauh lebih panjang dari usia percintaan, bukan?”

“Nah, percintaanku memang sudah selesai. Tapi cinta itu sendiri belum selesai, dan tak akan pernah selesai, bukan?”

“Ya, lalu? Cepat. Saya mau tidur.”

“Aku merasakan persis seperti yang digambarkan oleh sajak itu. Cinta kami benar-benar masih utuh. Rasanya, kami masih sering saling menemui satu sama lain. Dan… kami masih bercumbu seperti biasa. Seperti yang dulu kami lakukan. Tapi….”

“Tapi apa lagi?”

“Tapi bukan di dunia ini. Bukan dalam dimensi ini. Setiap kali dia datang mengunjungiku, yang datang adalah hantu.” Shameel menarik napas sejenak lalu melanjutkan. “Aku bukannya takut. Tidak, aku tidak takut hantu. Aku cuma bosan. Ya, kau tahu maksudku, bukan?” Shameel kembali menarik napas sebelum melanjutkan bicaranya.

“Cinta kami masih utuh. Soalnya adalah, aku manusia, dan dia hantu. Dan aku mulai jenuh hanya bercumbu dengan hantu. Dia harus jadi manusia lagi,” katanya. “Atau aku yang jadi hantu.”

“Ya, ya, saya mengerti.” Kali ini saya sungguh mengantuk dan tak lagi mampu mencerna semua omongan Shameel. Kalau tak mengantuk pun saya ragu bisa memahaminya. “Kau sudah cerita banyak. Setidaknya kau lega sekarang. Saya tak mampu lagi menahankan kantuk ini. Saya mau tidur. Ceritalah lagi besok. Saya akan ke sana sekira pukul satu siang.”

***

Siapa sangka Shameel akan melakukan hal semacam itu. Tadi malam dia menginap di kedai. Dari sanalah dia menghubungi saya. Dini hari itu dia membenturkan kepalanya ke mesin espresso yang baru dirayakannya denganku. Ia membenturkan kepalanya sampai pecah. Bagaimana dia menahankan rasa sakit saat melakukannya saya pun tak mengerti. Kalau memang mau mati, agaknya jauh lebih praktis dengan menyayat nadi? Atau minum racun? Atau gantung diri seperti kebanyakan orang? Betul tidak? Ah, entahlah, saya pun tak yakin bagaimana cara kebanyakan orang mati bunuh diri.

Saya cuma termangu memandangi kedai yang sudah diberi perintang dan polisi sibuk lalulalang mengurusi tubuh Shameel. Tapi aneh juga. Saya tidak merasakan apa-apa dengan semua pemandangan ini. Sampai-sampai saya menimbang-nimbang sendiri, apa yang seharusnya saya rasakan. Sedih karena ditinggal mati seorang kawan? Menyesali sepenggal sajak Rendra, yang boleh jadi telah mengilhami Shameel membunuh dirinya sendiri? Apa yang saya harus rasakan? Dan bagaimana saya harus merasakannya? Entahlah, saya hanya menyaksikan semua peristiwa ini sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi.

Selama berdiri memandangi kedai, serentetan pemikiran berkecamuk di kepala saya. Mulai dari menyumpahi Shameel yang bukannya membuatkan saya kopi malah mati, hingga ingatan pada perkataan Shameel soal bercumbu dengan hantu. Pikiran-pikiran itu kemudian terpental. Tak lagi saya pikirkan. Tiba-tiba saya merasai kekeringan pada kerongkongan saya. Saya benar-benar butuh segelas kopi kali ini. Saya berbalik, lalu meninggalkan kedai kopi malang yang hari ini harus kehilangan barista, pelanggan, sekaligus mesin espresso itu.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Christiaan

One Reply to “Bercumbu dengan Hantu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email