Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Wibu vs Semua Orang yang Tak Kalah Halu

Rizki Muhammad Iqbal

3 min read

Orang yang mencintai karakter anime itu nyata adanya. Meskipun karakter anime adalah entitas fiksi, tapi perasaan itu benar-benar nyata.

Pada tahun 2018 ada pria asal Jepang bernama Akihiko Kondo yang memutuskan untuk menikahi karakter anime (waifu) bernama Hatsune Miku. Fenomena manusia yang memiliki ketertarikan pada karakter fiksi ini dinamakan fictophilia.

Selain pria Jepang tersebut, pasti banyak dari kita yang pernah halu kalau sudah menyukai sesuatu. Halu adalah singkatan dari halusinasi, yaitu kondisi ketika seseorang mengalami gangguan persepsi yang menyebabkannya dapat melihat suatu yang tidak benar-benar ada.

Namun istilah ini tidak selalu digunakan seserius itu. Dalam bahasa anak muda di media sosial, halu sering digunakan ketika seseorang membayangkan sosok idola yang tampan atau cantik.

Pada umumnya orang bisa halu terhadap idol K-Pop atau artis tampan dan cantik yang sering nongol di berbagai media. Kemudian halu juga bisa dipantik dari karakter anime.

Biasanya orang-orang yang menyukai karakter anime ini disebut wibu, lengkap dengan segala stigma yang melekat pada istilah tersebut. Di dunia para wibu terdapat istilah yang merujuk pada istri dari pecinta anime yang dinamakan waifu, dan husbu sebagai kata serapan dari husband yang berarti suami dari para pecinta anime.

Sebenarnya perasaan ini hampir mirip dengan pengalaman membaca novel fiksi atau menonton film. Kita kemudian kagum terhadap salah seorang tokoh di dalamnya. Kemudian kita ikut kecewa jika tokoh tersebut meninggal atau karena ceritanya tidak sesuai dengan keinginan kita.

Model hubungan seperti ini dinamakan sebagai parasosial. Hubungan jenis ini juga terjadi pada seorang penggemar yang menjalin hubungan romantis-imajinatif searah dengan idolanya.

Bahkan sampai ada konsep Alternative Universe (AU) sebagai dunia alternatif bagi para penggemar untuk menciptakan cerita sesuai keinginannya dengan menghilangkan rujukan cerita atau karakter asli dari seorang tokoh fiksi yang disukainya.

Ada anggapan bahwa wibu bukan sekadar penggemar biasa. Kondisi yang mereka alami jauh lebih serius daripada itu. Tidak sedikit pula yang menganggap mereka adalah pengidap gangguan mental tertentu. Kondisi mereka di luar normal.

Banyak di antara para penggemar—misalnya wibu dengan fangirl—yang berkonfrontasi di media sosial untuk mengklaim mana yang normal dan tidak normal.

Biasanya para fangirl yang cenderung memenangkan konfrontasi dari para wibu. Alasannya bahwa idolanya adalah seorang manusia yang nyata. Sedangkan para wibu menyukai entitas fiksi.

Perasaan Suka Itu Tetap Bermakna

Karakter anime adalah rekaan manusia yang tidak bernyawa. Kalau kata Baudrillard, hal ini dapat dikatakan sebagai hiperrealitas, yaitu kondisi ketika terdapat penciptaan model-model sebagai duplikasi kenyataan yang tidak mewakili kenyataan apa pun.

Hiperrealitas memungkinkan seseorang untuk terjebak di dalam dunia rekaan di mana sesuatu yang imajiner seakan-akan adalah kenyataan. Hal ini menyebabkan seseorang menjadi halu, kemudian logika dan emosinya melebur.

Baudrillard juga menganggap kalau hiperrealitas adalah kepalsuan yang tidak bisa dimaknai secara mendalam. Tapi kalau kita lihat fenomena di mana para wibu benar-benar menyukai karakter anime sampai bikin halu terus, bukankah karakter itu bermakna mendalam?

Meskipun tidak nyata, tapi karakter anime bisa dimaknai oleh para wibu. Hal ini pernah dibahas oleh filsuf Amerika, Williard Van Orman Quine, dalam On What There Is tentang komitmen ontologi.

Komitmen ontologi adalah tolok ukur kita untuk membuat sesuatu menjadi “ada” tentang status keberadaan apa pun. Dia bilang kalau “is non-existent” dan “does not exist” adalah hal yang berbeda pada konsep penggunaannya.

Does not exist atau ketidakeksisan tidak perlu mempermasalahkan kenyataan yang dirujuk. Dengan begitu, tokoh fiksi tetap bisa eksis sebagai entitas di dalam ide atau pikiran.

Meskipun bukan hal yang ideal—seperti ketika kita berpikir bahwa Lionel Messi benar-benar ada meskipun belum pernah bertemu dengannya secara langsung—namun entitas di dalam ide bukan berarti tidak bermakna.

Selagi karakter anime itu bisa dipikirkan berarti ia dapat dimaknai sehingga menimbulkan perasaan suka ataupun cinta yang bisa jadi bermakna bagi seseorang.

Apa Salahnya Mencintai Karakter Anime?

Anggapan tentang normal dan tidak normal bermula dari cara berpikir yang biner. Artinya kita selalu menilai kehidupan berdasarkan hitam dan putih; benar dan salah; baik dan buruk.

Cara berpikir biner ini tidak terbuka pada sesuatu hal di luar kebiasaan yang umum. Orang dengan cara berpikir seperti ini cenderung menganggap sesuatu sesuai dengan kompas moral yang dominan dalam masyarakat.

Perlu diakui juga bahwa jenis hubungan romantis yang dianggap normal oleh kaum normies adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Di luar jenis hubungan tersebut, termasuk model parasosial seperti yang dijalin oleh wibu terhadap karakter anime, dan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang di luar normal.

Apa yang dianggap normal tidak lain adalah karena bentuk pengetahuan yang dilanggengkan dan diproduksi terus menerus sehingga membentuk suatu kebenaran yang bisa dijadikan rujukan tentang apa yang normal dan tidak normal.

Ketika apa yang dianggap normal itu dijadikan rujukan, ia akan menjadi standar ideal yang membenarkan adanya diskriminasi. Diskriminasi akan menjadi hal yang biasa saja karena objek yang dituju dianggap tidak normal hanya karena tidak seperti kebanyakan orang.

Mungkin selama ini penyebab dari segala jenis kekerasan adalah klaim kebenaran semacam ini. Bahwa yang dianggap benar oleh orang banyak boleh memaksakan kebenarannya pada pihak lain. Namun daripada kita fafifu wasweswos terlalu jauh, lebih baik kita mengerucutkan gagasan bahwa wibu yang mencintai karakter anime bukan suatu anomali di tengah realitas yang memang sudah sarat halusinasi.

Wibu juga biasanya tergabung dalam basis komunitas tertentu sebagai sesama pecinta anime. Bahkan hubungan sosial sesama komunitas para wibu ini cenderung kuat. Penelitian yang dilakukan oleh Raras Ayu, Rahmi Fauzia, dan Syarif Hidayatullah menemukan bahwa fanatisme para wibu terhadap anime tergolong tinggi.

Terbukti dengan banyaknya waktu yang dicurahkan oleh para penggemar anime ini untuk menonton atau membeli barang yang berkaitan dengan dunia anime. Fanatisme yang tinggi ini memiliki keterkaitan dengan sense of community (rasa saling memiliki dan solidaritas antar orang di dalam komunitas). Dengan kata lain, fanatisme yang tinggi memunculkan sense of community yang tinggi pula.

Jika suporter sepak bola memiliki sense of community untuk mendukung klub kesayangannya dengan rela melakukan apa saja, maka sama halnya dengan apa yang para wibu ini lakukan. Khayalan tentang kesejahteraan sebuah klub kesayangan—misalnya membayangkan klubnya juara liga—memiliki efek kegairahan yang sama seperti halunya para wibu.

Dalam tahap tertentu, wibu yang menyukai karakter anime sama saja dengan orang-orang pada umumnya yang mengidolakan sesuatu, mulai dari penyanyi favorit, klub sepak bola, partai politik, calon presiden, bahkan ideologi.

Semua orang sama-sama memiliki perasaan yang mengikat, sebuah pride, kasih sayang, ataupun keterikatan batin, hanya saja dengan objek yang berbeda.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email