Persepsi tentang pemerkosaan seringkali terbatas pada situasi yang terjadi antara dua pihak yang belum memiliki ikatan yang sah. Namun, dalam konteks pernikahan pun terdapat potensi terjadinya pelecehan seksual. Banyak orang beranggapan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi dalam suatu pernikahan. Anggapan ini bermula pada doktrin oleh Lord Matthew Hale pada abad ke-17 di Inggris. Ia mengatakan bahwa;
Dalam KUHP lama pemerkosaan yang dikenal adalah perkosaan yang terjadi di luar perkawinan (Pasal 285). Maka dari itu, perkosaan dalam pernikahan atau marital rape hanya dapat dikategorikan sebagai bentuk dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Konsekuensinya, korban tidak dapat mengadukan pelaku dengan tuduhan pemerkosaan.
Baca juga:
- Perempuan dalam Siklus Kekerasan Seksual
- Kekerasan Seksual: Melawan Kriminalisasi dengan Solidaritas
Terminologi marital rape berasal dari bahasa Inggris. Marital sebagai sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, sedangkan rape berarti perkosaan. Adapun maksud dari pemerkosaan itu sendiri adalah pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Menurut Suharti Mukhlas, aktivis perempuan dan mantan direktur Rifka Annisa Women Crisis Center, marital rape mencakup segala bentuk aktivitas seksual yang dilakukan tanpa persetujuan (consent) dalam hubungan suami istri, baik yang tercatat secara hukum maupun tidak. Ia menegaskan bahwa definisi marital rape pada dasarnya sama dengan pemerkosaan pada umumnya, yang membedakan hanyalah lingkup kekerasannya yaitu terjadi dalam konteks hubungan pernikahan.
Marital rape digolongkan sebagai Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan dalam ranah personal. KBG dalam kategori ranah personal adalah bentuk kekerasan yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti fisik, seksual, ekonomi, dan psikis. Misalnya kekerasan fisik meliputi menampar, memukul, dan lain sebagainya. Kekerasan seksual mencakup pemaksaan hubungan tanpa persetujuan serta pelecehan seksual. Kekerasan ekonomi terjadi ketika pelaku mengontrol pendapatan korban atau tidak memberinya nafkah. Sementara itu, kekerasan psikis melibatkan ancaman dan kekerasan verbal yang berdampak serius bagi keadaan mental korban.
Dalam laporan hasil Catatan Tahunan (CATAHU) oleh Komnas Perempuan pada tahun 2023, mencatat sebanyak 98,5% KBG dalam ranah personal dilaporkan ke Badan Peradilan Agama (BADILAG), lembaga layanan, dan Komnas Perempuan. Data ini menunjukkan penurunan sebesar 0,62% dibandingkan dengan tahun 2022 (99,12%). Namun, kekerasan seksual tetap menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan kedua setelah kekerasan fisik dengan angka sebesar 28%.
Marital Rape meskipun terjadi dalam ikatan pernikahan, tetap dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk kekerasan yang merendahkan martabat korban. Tindakan ini sering kali dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi, mengakibatkan trauma fisik, psikologis, dan emosional yang mendalam bagi korban. Hal ini diakibatkan dari budaya patriarki yang membuat pelaku menganggap dirinya superioritas atas korban. Faktor lainnya adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran diri korban bahwa dalam sebuah ikatan pernikahan pun, ia selaku istri memiliki hak-hak asasi penuh atas diri dan tubuhnya sendiri.
selain itu, stigma yang melekat pada masyarakat bahwa permasalahan rumah tangga apalagi menyangkut hubungan seksual adalah ranah privasi yang sebaiknya tidak diketahui oleh orang lain dan sebagian dari masyarakat tidak menganggap adanya pemerkosaan dalam rumah tangga, semakin membuat korban ditempatkan pada posisi subordinat atau inferior.
Setelah KUHP tahun 2023 disahkan dan akan berlaku pada tahun 2026, terdapat perluasan definisi tentang perkosaan pada Pasal 473 Ayat (1). Jika dibandingkan dengan KUHP lama seperti yang dijelaskan pada paragraf kedua artikel ini, maka perkosaan bisa terjadi pada setiap orang (termasuk dalam pernikahan) yang ditandai dengan ancaman dan kekerasan memaksa dengan tujuan ‘bersetubuh’. Selanjutnya pada Ayat (6) hanya dapat dilaporkan jika atas pengaduan korban (delik aduan).
Marital rape dapat digolongkan sebagai tindak pidana perbudakan seksual yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada Pasal 13 yang berbunyi:
“Setiap Orang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual, dipidana karena perbudakan seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas kita dapat mengetahui perbudakan seksual memiliki bobot lebih dari eksploitasi seksual karena perbudakan seksual dilakukan tidak hanya dengan menempatkan di bawah kekuasaan pelaku secara melawan hukum tetapi juga menjadikan korban tidak berdaya.
Baca juga:
- Setop Menikahkan Korban Pemerkosaan dengan Pelaku!
- Pekerjaan Rumah Menyediakan Aborsi Legal bagi Korban Perkosaan
Perbudakan penandanya adalah “menempatkan di bawah kekuasaannya dan menjadikannya tidak berdaya”. Perbudakan ditandai dengan adanya pembatasan ruang gerak pada korban yang dalam unsur pasal diwakili oleh “menjadikannya tidak berdaya”. Pengalaman korban menunjukkan tidak berdaya dapat terjadi sebagai kondisi psikologis. KBBI mengartikan daya antara lain sebagai: 1) kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak; 2) kekuatan, tenaga (yang menyebabkan sesuatu bergerak dan sebagainya); dan 3) akal, ikhtiar, upaya. Artinya, tidak berdaya tidak semata tidak memiliki tenaga atau kekuatan, tapi dapat juga berarti kehilangan kemampuan berpikir dan bertindak.
Menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya bisa berarti menyekap, mengurung, atau mengendalikan. Mengeksploitasi secara seksual apabila mengacu pada pasal eksploitasi seksual berarti mendapatkan keuntungan atau memanfaatkan anggota tubuh. Artinya perbudakan seksual dapat memiliki dua tujuan, yaitu memanfaatkan sendiri tubuh atau anggota tubuh korban dan mendapatkan keuntungan dari perbuatannya.
Meskipun terdapat upaya-upaya hukum dalam melindungi korban, kasus perkosaan dalam pernikahan umumnya tidak dilaporkan karena masyarakat menganggapnya sebagai topik tabu yang tidak layak untuk dibicarakan secara terbuka dan dianggap memalukan. Stereotype dan kontruksi sosial budaya atas dasar agama yang mengakar dengan erat dalam sistem patriarki menjadi salah satu hambatan tersendiri dalam memberantas kasus marital rape. (*)
Editor: Kukuh Basuki