Arca atau tinggalan purbakala biasa ditemukan di daerah permukiman. Ini lumrah terjadi mengingat peradaban manusia telah lama dimulai di Pulau Jawa.
Penemuan tinggalan purbakala pun bukanlah hal baru. Sejumlah catatan yang berasal dari masa pendudukan Inggris maupun Hindia Belanda telah merekamnya. Mulai dari Raffles, Brumund, Ijzerman, Verbeek, sampai sejumlah laporan resmi dari lembaga purbakala yang baru dibentuk pada awal abad ke-20 ikut mencatat.
Catatan tersebut menjadi sumber data yang menarik hingga saat ini. Mereka biasa digunakan untuk menelusuri asal muasal arca yang ditemukan di sebuah tempat.
Baca juga:
Pemindahan Temuan Purbakala pada Abad ke-19
Aksi memindahkan temuan tinggalan purbakala telah terekam dalam catatan Belanda sejak abad ke-19. Pelakunya bisa orang Belanda maupun bangsawan Jawa sendiri. Mereka melakukan itu dengan berbagai dalih, salah satunya untuk memperindah sudut taman dan rumah mereka.
Ijzerman mencatat bahwa banyak orang yang menemukan arca di Yogyakarta, yang banyak berasal dari Prambanan. Mereka memindahkan arca-arca tersebut atas perintah raja-raja atau pembesar pribumi. Banyak di antaranya memang berakhir di halaman rumah residen. Pada tahun 1823, Residen Yogyakarta A.H. Smissaert harus melaporkan koleksinya kepada Presiden Komisi Purbakala di Jawa.
Ijzerman juga menyebut tentang adanya dugaan bahwa sejumlah arca yang berasal dari Candi Kalasan telah diambil. Arca-arca ini kemudian dipajang di sebuah keraton yang dibangun oleh Susuhunan Kuning di daerah Sambiroto. Peristiwa ini terjadi saat perlawanan orang Tionghoa pada 1740-1743. Christopher Reinhart dalam Upaya Belanda Menggali Peninggalan Purbakala di Negeri Jajahan mengiakan catatan Ijzerman. Para pejabat pribumi itu menggunakan tinggalan purbakala untuk menghias halaman atau taman dan tempat semadi mereka.
Saat berkunjung ke Candi Prambanan pada 1885-1886, Ijzerman menyebut tentang banyaknya arca ataupun benda purbakala lainnya yang ada di pesanggrahan di selatan Candi Prambanan. Benda tersebut diduga berasal dari daerah-daerah sekitar Prambanan. Pesanggrahan itu diidentifikasi terletak di dekat jalan utama Yogyakarta-Surakarta dan sebagian telah runtuh karena pembangunan jalur kereta api.
Keberadaan pesanggrahan ini juga disebut dalam Babad Bedhahing Kutha Yogyakarta yang ditulis oleh Bendara Raden Arya Panular. Panular menyebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwono III sempat singgah di pesanggrahan ini. Kunjungan ini berlangsung pada Desember 1812.
Kebiasaan memindahkan temuan juga dilakukan oleh orang Belanda. Di daerah Vorstenlanden Yogyakarta, landhuis Tanjung Tirto adalah salah satu tempatnya. Catatan dari orang Belanda kerap menyebutnya sebagai lokasi pemindahan dari sejumlah arca dan temuan purbakala lainnya. Di Tanjung Tirto, arca dan temuan purbakala lainnya biasa berasal dari Daerah Sorogedug. Memang ada juga landhuis Sorogedug, tetapi jumlah temuan yang dibawa tidak sebanyak yang ada di Tanjung Tirto.
Upaya untuk memindahkan arca tersebut memang bisa menjadi upaya penyelamatan. Sebab, pemindahan kerap dilakukan dari candi-candi yang sudah runtuh. Namun, proses pemindahan ini tidak disertai data yang lengkap. Alhasil, seperti apa yang dituliskan Ijzerman, tidak seorang pun dapat memastikan dari mana asal dari temuan-temuan yang dipindahkan tersebut.
Penegasan yang sama disampaikan oleh J.F. Scheltema dalam terjemahan Monumental Java: Sejarah Candi dan Monumen di Jawa (2018). Para pejabat dan pemilik perkebunan swasta biasa pergi mencari batu candi untuk hiasan rumah dan taman mereka. Banyak koleksi yang ditemukan di sekitar Yogyakarta dipindahkan ke perkebunan Tanjung Tirto. Mereka melakukannya dengan bebas, terlalu bodo amat untuk mencatat asal temuan-temuan tersebut. Karenanya, kita tidak mengetahui cerita dan makna temuan-temuan itu.
Baca juga:
Temuan Arca dan Tinggalan Purbakala di Masa Kini
Pemindahan temuan tinggalan purbakala yang telah berlangsung berabad-abad lamanya ini bukanlah kebiasaan baik. Kebiasaan pindah-memindah ini telah menjadikan asal-usul dari temuan tersebut hilang dan makin tak terlacak seiring dengan berjalannya waktu. Ini juga menyulitkan proses analisis temuan-temuan tersebut.
Untungnya, di abad ke-21 ini, kebiasaan pemindahan arca secara sembarangan sudah tidak ada lagi. Kebiasaan ini diganti dengan penyelamatan temuan yang berorientasi pada pelestarian. Tindakan ini pun sudah dilakukan oleh jawatan purbakala yang kini telah bertranformasi menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Kegiatan penyelamatan pun dilakukan dengan mendata deskripsi dari temuan tersebut. Keberadaan data tersebut menjadi bekal dalam analisis terkait nilai penting sebuah temuan. Benda temuan juga diselamatkan dengan memindahkannya ke lokasi yang lebih aman. Akan tetapi, bisa juga tetap berada di lokasi penemuan jika dipandang lebih baik.
Proses analisis tinggalan purbakala terkadang hanya bisa memuat deskripsi karena asal-usul benda tersebut tidak bisa diketahui. Namun, catatan tersebut akan tetap berguna, apalagi jika kelak di kemudian hari ditemukan bukti pendukung yang baru. Selain itu, keberadaan data tentang temuan tersebut akan melengkapi sejarah suatu daerah.
Maka, jangan ragu untuk melaporkan temuan benda purbakala kepada pemerintah, apa pun itu jenisnya, agar kelak generasi penerus bisa mengetahui dan memahami sejarah bangsanya.
Editor: Emma Amelia