Malik dan Seluruh Keyakinannya

Syifa Amalia

4 min read

Malik yakin betul dirinya punya banyak waktu luang untuk memikirkan batas tipis antara keinginan yang tumpang tindih dengan kenyataan yang harus dijalaninya. Tangan kanannya mengambil alih kemudi setir mobil, sementara tangannya yang lain terus memegang pelipis kirinya yang masih berdenyut karena lebam.

Andai saja tidak banyak orang yang melihat, Malik mungkin sudah habis digebuki oleh preman-preman pasar yang sengaja disuruh supaya ia segera membayar utang-utangnya. Dari semua kesialannya, setidaknya ia beruntung atas satu hal bahwa dirinya tidak mati hari ini. Barangkali belum saatnya.

Semenjak memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengadu nasib di kota besar, Malik tahu bahwa ia tidak selalu bisa mendapatkan keinginannya. Selalu ada saja hal yang berbenturan dengan kenyataan. Kalau boleh memilih ia pasti akan melakukan apa pun asal hidupnya tak perlu merasa khawatir lagi. Alih-alih merasa aman dan tentram, Malik justru makin merasa ketar-ketir lantaran harus menanggung beban untuk melunasi semua utang-utangnya.

Jauh sebelum dirinya terlilit pusaran utang, Malik sudah terlebih dahulu berutang janji dengan Anjani, perempuan yang bersedia membina bahtera rumah tangga dengannya. Anjani luluh dengan semua keyakinan dan keteguhan Malik, meskipun kala itu Malik tidak punya apa-apa untuk membuktikan janjinya. Meski demikian, Malik adalah Malik dengan segala keyakinannya yang tak bisa diganggu gugat.

Keyakinan itulah yang akhirnya membuatnya tergiur memulai bisnis dengan Ramli, tetangganya yang sering mengajaknya ngobrol ngalor-ngodul di warung kopi ujung gang. Iming-iming bakal dapat duit cepat, siapa yang tidak tergoda. Sebenarnya, Anjani sudah mewanti-wanti Malik untuk tidak dekat-dekat dengan Ramli yang tidak jelas juntrunganya itu.

“Apanya yang tidak jelas, sih? Kamu kan sudah lihat sendiri, kata Ramli ia dapat untung banyak dari usaha yang online-online itu,” ujar Malik menggebu-gebu.

“Mana buktinya? Sekarang itu orang masih begitu-begitu saja. Aku dengar bininya pergi dari rumah bawa anak-anaknya. Kamu mau aku begitu?”

“Meski usaha-usaha sebelumnya nggak balik modal, tapi kata Ramli kali ini bakal untung besar.”

“Apa yang kamu harapkan dari modal katanya-katanya saja?”

Tapi bukan Malik dan keyakinannya kalau ia tidak nekat mengambil risiko untuk apa yang dirasa benar. Baginya, lebih baik gagal daripada hidup dalam penyesalan karena tak punya keberanian untuk memulai.

Keesokan harinya, Malik sudah siap dan rapi untuk pergi ke rumah salah seorang yang kondang dan kaya raya di kampungnya. Sebut saja orang kaya A. Malik datang untuk meminjam uang dan memulai bisnisnya dengan Ramli. Orang kaya yang picik itu memang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang yang habis akal seperti Malik dan Ramli.

Tak lama setelah mereka mendapat uang pinjaman, kabar buruk tentang mereka tersebar ke seluruh penjuru kampung. Mereka kena tipu bisnis bodong yang mereka lakoni di Facebook. Malik mengurung diri di rumah selama beberapa hari. Tidak mau makan dan minum semenjak itu.

Tepat pada hari kelima, Malik memberanikan diri untuk keluar menuju warung kopi ujung gang. Biasanya tengah malam, ia baru pulang membawa secercah harapan yang akan ia bagi dengan Anjani. Percakapan sebelum tidur mereka berkutat tentang bualan teman-teman Malik sejenis Ramli yang percaya bahwa akan ada cara mudah yang membuat mereka keluar dari lingkaran kemiskinan.

Sebenarnya Malik bisa mendaftarkan diri ke pabrik, berbekal ijazah sekolah menengahnya. Bukannya ia tidak punya keahlian apa-apa selain luntang-luntung di rumah. Fisiknya masih bugar dan ia bisa kerja serabutan apa saja asal dapat tambahan uang. Malik sudah pernah mencoba kerja di pabrik garmen yang saat itu bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun, tahun lalu pabrik itu melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran. Malik adalah satu dari ribuan pekerja yang terdampak tanpa diberi pesangon.

Semenjak saat itu, Malik tak pernah mendapat panggilan kerja lagi. Satu kali mencoba, dua kali, tiga kali, empat kali Malik masih menanti bahwa akan ada pabrik lain yang dapat menampungnya. Namun, angka sepuluh sudah lama terlampai dan ia memutuskan untuk berhenti berhitung. Maka beginilah hari-hari Malik sekarang. Duduk ngobrol di warung kopi sembari mencari inspirasi untuk ia bagikan kepada Anjani sesampainya di rumah nanti.

“Aku kepikiran mau bisnis lagi,” dengan tatapan penuh keyakinan, Malik berkata pada Anjani.

Dengan separuh kesadaran yang dimiliki, Anjani hanya berpikir bahwa saat mengatakan hal itu Malik mungkin sedang ngelindur. Entah ia dapat darimana lagi omong kosongnya kali ini. Tetapi rupanya Malik sungguh-sungguh. Keesokan harinya, Malik sudah siap dan rapi untuk pergi ke rumah orang kaya A.

Omong kosong itu, rupanya tidak berhenti cukup sampai di situ saja. Ada banyak lagi obrolan sebelum tidur yang ndakik-ndakik sampai Anjani tidak peduli lagi apa yang akhirnya suaminya tekuni. Ketika Malik mengatakan akan mencoba berbisnis ini dan itu, Anjani selalu mendapati Malik yang berangkat pagi lalu bersiap-siap pergi ke tempat yang tak Anjani ketahui. Malik keliling mendatangi orang-orang kaya lainnya yang ada di kota. Tujuan Malik kali in tidak hanya orang kaya A tapi juga B, C, dan seterusnya.

Terakhir kali, Malik pulang membawa sebuah mobil pickup. Dengan mobil itu Malik cukup sering pulang pergi dengan isian yang macam-macam, mulai dari barang jualan pedagang di pasar, bahan bangunan hingga hewan ternak milik Pak RT. Ia cukup senang menjalani pekerjaan barunya sebagai tukang angkut. Anjani pikir Malik sudah mulai menghasilkan uang. Maka, pada suatu pagi Anjani mendapati suaminya sama sekali tak memiliki apa-apa barang sekadar diminta uang belanja.

“Memang tidak ada kok, kenapa aku harus bohong segala?” sergah Malik ketika dicecar Anjani rentetan pertanyaan yang belum sempat dijawabnya namun sudah disusul pertanyaan baru lagi.

“Terua kamu kerja uangnya ke mana? Kamu buat judi, main perempuan?” nada suara Anjani sudah kelewat tinggi. Kali ini ia sudah benar-benar naik pitam.

“Jangan mengada-ada, aku nggak seperti itu.”

“Seharusnya kamu bisa lihat Ramli sekarang. Dia sudah tobat. Nggak ketipu bisnis bodong di Facebook. Kerjanya jelas, pasti dapat duit,”

Malik sudah lama tidak bertemu Ramli semenjak kejadian kebangkrutan usaha mereka. Namun, memang kabar terakhir yang ia dengar, sekarang Ramli buka bengkel sendiri di rumahnya. Istri dan anaknya sudah balik lagi ke rumah.

Sebenarnya Malik tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada Anjani kalau bunga utang yang diberikan oleh orang kaya itu makin lama makin menjerat dirinya. Bahkan nyawa Malik rasa-rasanyanya tidak cukup untuk mengganti semuanya.

Hari itu, Malik sedang berada di perjalanan ke rumah orang kaya A untuk meminta belas kasih agar diberikan kelonggaran melunasi utangnya. Ia memang disambut dengan baik oleh orang kaya yang berperawakan tambun dengan muka agak bengis itu. Ketika hendak pamit berjalan menuju mobilnya, sebuah pukulan mendapat di perutnya, pipinya, kemudian berkali-kali sampai ia tersungkur di tanah.

Ia mencoba mengemudi dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya. Teleponnya terus berdering menampilkan nama Anjani. Ia mencoba menjawab dengan suara samar. Mungkin di tenggorokannya bersarang ludah bercampur darah. Namun tidak ada suara yang bisa didengar.

***

Malik berjalan gontai untuk sampai di muka pintu rumahnya. Baru sampai di teras, Anjani menghampirinya dengan memasang wajah gelisah dan panik. Malik tidak pernah melihat raut wajah itu sebelumnya.

“Anakmu sakit. Panasnya tinggi,” kata Anjani bersautan dengan isak tangisnya sendiri.

Apa pun yang keluar dari mulut Anjani saat itu tidak terdengar lagi di telinga Malik. Lelaki itu sudah lebih dahulu tenggelam dengan pikirannya sendiri. Ia tidak mungkin datang ke orang kaya itu lagi untuk pinjam uang untuk membawa anaknya berobat.

Sesaat kemudian, Malik mulai mengetik sesuatu di layar ponselnya. Tidak lama berselang, ponselnya berdering.

“Halo, Ramli?”

Malik masih menunggu suara di seberang sana menjawab. Terdengar nada putus tak lama berselang. Ada jeda kesunyian yang cukup panjang. Entah sampai kapan. Kali ini Malik tidak yakin.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Syifa Amalia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email