Bagi sebagian orang mungkin menulis puisi merupakan laku sunyi dan makrifat. Membutuhkan energi lebih untuk menyuarakan pesan yang tak tersampaikan lewat pidato-pidato atau mimbar bebas. Tak jarang beberapa di antaranya melakukan riset dan perenungan yang mendalam untuk menghasilkan sebuah karya yang ‘menyuarakan pesan’. Sayangnya usaha-usaha untuk ‘menyuarakan pesan’ tersebut kadang terjebak pada narasi-narasi besar, sehingga meninggalkan realitas kecil di sekitar.
Peristiwa kecil dan subtil sering tidak terjangkau karya sastra. Barangkali pembahasan mengenai seorang penjaga burjo yang memaksa kerja walau sedang deman belum menjadi perhatian. Apalagi kepikiran untuk menuliskan benda-benda dalam rutinitas keseharian. Bantal dan kasur di kamar yang seringkali hanya menjadi perlengkapan menuju alam mimpi, dalam waktu bersamaan bisa jadi menjadi saksi atas peristiwa di atasnya.
Memang tidak mudah untuk menuliskan sebuah persoalan dari pinggir. Diperlukan usaha lebih untuk melakukan eksplorasi semacam ini. Dan itulah yang telah diusahakan Lugas Ikhtiar melalui puisi-puisinya dalam buku perdananya, Perabotan & Ingatan.
Upaya Menyuarakan Kesaksian Perabotan
Perabotan seringkali dipandang sebagai barang remeh-temeh. Hanya sebagai pelengkap dalam kisah-kisah tokoh utama. Namun, di tangan Lugas Ikhtiar perabotan menjadi muasal kisah-kisah itu bermula. Bahkan menjadi saksi bisu dalam tiap kisah banal yang dituliskan dengan nakal. Dan tak jarang menyimpan ingatan dan rahasia yang sulit dituturkan dengan lugas.
Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Interlude tersebut terbagi dalam dua bab yang sama dengan judulnya, yakni Bab Perabotan dan Bab Ingatan. Dalam Bab Perabotan Lugas memasukkan puisi yang berisi memori tentang benda-benda. Sedangkan pada Bab Ingatan dia memasukkan ingatan lainnya. Ya, sekali lagi ini menunjukkan betapa sulitnya menuliskan kedalaman perabotan melalui medium sastra. Sehingga untuk menerbitkan buku perdananya, Lugas menambahkan ingatan lain di luar perabotan sebagai pelengkap karya.
Puisi-puisi Lugas ditulis dengan bahasa yang nakal. Dia mengoyak bahasa baik secara morfologis maupun sintaksis. Tak jarang dia memasukkan diksi yang aneh dalam puisinya yang njlimet. Seolah dia terinspirasi sekali dari Beny Satrio yang dia catut namanya pada bagian prolog.
Membaca puisi-puisi di buku ini kita akan dibawa keliling rumah–yang entah milik siapa; aku, kamu, atau Dia. Berbagai perabotan menciptakan kisahnya sendiri. Saksi hidup bagi orang-orang di sekelilingnya.
Pada puisi berjudul Ranjang 2, kita akan diajari cara tidur yang baik agar tidak terlindas realita. Pada larik sehat ginjal, paru-paru, jantungmu/serahkan saja pada BPJS & pejabat eselon III kita diajak untuk patuh dan terkesan menyerah pada nasib. Namun, tetap saja berusaha melawan dengan sudah waktunya/ketemu dengan tidur tanpa birokrasi.
Dari Kritik hingga Spiritualitas
Tak hanya mengkritik kebijakan pemerintah, melalui puisinya Lugas menohok kita untuk menengok rutinitas keseharian, sesederhana membaca kitab suci. Hal itu tertuang dalam puisi Rak Buku.
kau menyimak para filsuf bertengkar
& sastrawan membicarakan gaya penulisan
sementara kau biarkan
agama terpojokkan tanpa sidik jari
pernah singgah pada tubuh kitab suci
Perihal spiritualitas, Lugas menciptakan ruang yang luas pada puisi-puisinya. Pada beberapa puisi dia berkisah melalui cara beribadah umat Muslim, tetapi pada puisi yang lain dia juga menulis dari sudut pandang umat Kristiani. Sementara di puisi lainnya lagi tidak dijelaskan dengan lugas melalui cara apa dia berspiritual. Namun jelas, ini merupakan upaya transendental dalam hubungan manusia dengan Tuhan, bagaimanapun caranya.
Agaknya menuliskan karya sastra dengan tema agama menjadi komoditas yang laris belakangan ini. Begitu pula dengan penulisan sudut pandang agama yang berbeda. Menarik sebenarnya usaha semacam ini dibahas lebih lanjut dalam gelanggang sastra. Tentu ini tidak terlepas dari latar belakang penulis dan juga peristiwa-peristiwa yang mengiringinya. Namun, sayangnya banyak pula yang hanya menunjukkan usaha coba-coba tanpa pendalaman materi–isu, konteks, dan sumber.
Selain cara bertutur yang nakal, puisi-puisi dalam Perabotan & Ingatan juga menawarkan bentuk yang unik sekaligus aneh. Keunikan tersebut terletak pada penggantian konjungsi dan preposisi. Hal ini dapat kita lihat pada larik kebahagiaan/kedamaian yang dijanjikan dan Bunda Maria berhuma/& Yesus disanjung dalam puisi Malam Telah Pulang, Mei!
Tampak sekali Lugas berusaha menawarkan kebaruan, khususnya dalam simbolisasi kata. Tentu pula hal ini bukanlah hal yang lazim dan masih menjadi perdebatan dalam kaidah Ejaan Bahasa Indonesia. Tapi sayangnya ia bukanlah Afrizal Malna yang diwajarkan ketika menuliskan karya dengan gaya yang nyeleneh.
Di dalam buku Perabotan & Ingatan, Lugas menyebut banyak sekali nama dalam puisi-puisinya. Barangkali itu merupakan nama-nama tokoh yang menyimpan ingatan-ingatan–baik dan buruk–dalam benaknya. Sehingga lengkaplah narasi akan ingatan, nasib, kritik dan spiritualitas dalam kelimapuluhsembilan puisi dalam Perabotan & Ingatan.
***
Editor: Ghufroni An’ars