Malam Bermula di Jatempanol
Dan kita jelma malam temaram
Kerikil, rerumput, dan umang-umang
berbayang hitam muram
Namamu menguar hilang
Kucing sepi sendiri cari teduh
Hujan mendarat nasib luruh
Kita ciutkan hal-hal di luar kendali kita
hingga detak-detik hidup
Nampak begitu terbata-bata
–
Malam dalam Kotamu
Malam berguguran
Dosa para raja terdahulu
Gulir hidup yang lamban
Beringin menderai dingin kelu
Pembangunan memang tak pernah jujur
Angin melayang pasrah
Batu dan beton ditabur
Tembok lumut pucat kalah
–
Malamku Mati
Di ujung puisi ini
Ada dingin Tembalang
dan tubuh hangatmu
Juga dua matamu
dan satu hubungan kita
yang kemudian mati
yang kemudian mati
yang kemudian
mati
Aku melipat lengan baju
ketika adzan dilafadz puisi
Perlahan, kata-kata kucangkul, membenamlah liang
Pada batu nisan terpajang
stanza pertama puisi ini
–
Malam Bertambah Malam
Hari terus pergi, tapi
Bahasa musnah sejak kita berpisah
Rasanya kian sulit menangkap puisi
Di jalanan kota yang jengah
Melantang suara knalpotku
Deru, raung, rintih, cari, gigil,
seperti memanggil namamu
Laju mesin kupacu kemudian
Kelebat kau kurasa meruang
Kambang pelan di awan-awan
Juga di kursi seorang penumpang
Dekap aku, tanganmu erat
dan hangat, menelusup ke hati
perlahan, kalimat demi kalimat
–
Malam Ketika Pertemuan Terakhir Kita
Kecuali punggungku—yang tak sengaja disentuh—dua mulus telapak tanganmu— ketika motor buncang—melindas polisi tidur itu, perpisahan kita sungguh biasa saja— seperti perpisahan-perpisahan pada umumnya. Kecuali kakimu—yang iseng menendang—kaki kursiku di kedai kopi— ketika kita khusyuk menghitung mobil merah di parkiran, aku yang malang pantas kau tinggalkan—jika disanding lajur hidupmu yang mujur. Kecuali helm di kepalaku—yang terantuk dengan manja—kaca helm kuning di kepalamu—karena kau sibuk dibuat nikmat sejuk angin kota.
Kau hilang—hidup ini tak berhenti—barang sedetik, barang sejengkal. Ketika malam tiba, tidurku nyenyak—satu yang sulit dipungkiri … adalah di Jatempanol aku mengenang Tembalang—dengan penuh remuk di dada sebelah kiri.
*****
Editor: Moch Aldy MA