Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Lonceng!

Kala Lail

9 min read

Ini adalah tentang balas dendam. Tak ada yang tak dimulai dari balas dendam. Dendam adalah falsafah pertama yang menggerakkan hidup. Dan yang kelak mengakhiri. Gunung yang dikerik punggungnya jadi ladang kentang itu. Isi perut pasirnya yang disebar ke mana-mana. Dinding-dinding rumah dan aspal jalan adalah percobaan dendam pertama. Ibu gunung. Nanti, suatu hari, beliau akan ngulet dan meruntuhkan dendam ke atas orang-orang tidur.

Kota diliputi kebingungan dan dendam baru. Anak-anak lahir aras-arasan. Orang tua mengutuk kesempatannya yang amat sempit. Buruh menimbang, manakah yang lebih laik dijalani, hidup dengan dendam atau mati lebih awal.

Kemiskinan mendendami kekayaan. Kekayaan mendendami kemiskinan. Dosa mendendami pahala. Kesedihan mendendami nasib buruk.

Entah dendam milik siapa kali ini. Tak lagi ada perkataan yang diucapkan dengan sungguh-sungguh. Hari ini kota masih amat bisu. Batu-batu menyerabut dirinya sendiri lalu melakukan perjalanan. Semacam perjalanan suci. Menuju ke timur. Tapi gunung itu pusatnya. Semacam pusar bayi.

Maka, sungai-sungai itu pastilah ari-ari. Lantas orang-orang sepulang kerja itu sebetulnya tak melakukan apa-apa. Mereka amat sia-sia. Tak berguna. Jembatan layang itu suatu hari pasti ambruk. Serakkannya ditimpa lagi dengan rumah baru. Orang-orang berjalan seperti biasa. Yang pernah ada cuma ingatan. Apabila semua ingatan hilang, orang-orang itu pastilah seperti tak pernah ada.

Tugas manusia tak lebih mulia dari seekor burung gereja. Aku tidak akan mengatakannya secara lantang. Tapi alun-alun terlanjur sepi. Orang-orang membatu di tempat mereka. Maka, sudah sepatutnya kukatakan keras-keras. Siapa tahu, burung gereja tadi datang. Ia pastilah lebih tahu letak pintu itu–yang bisa kumasuki untuk mengganti tubuhku.

: Wahai burung gereja. Burung yang mendiami kusen-kusen masjid. Burung yang menghitung jumlah tetes hujan di kota supaya pas. Burung yang tak membangun tikungan aspal. Burung yang tak membikin tembok keliling hanya untuk buang air. Burung yang tak butuh pekuburan untuk mati. Burung yang tak meninggalkan apa-apa kecuali cericit yang memantul-mantul di bawah kubah. Aku adalah Nabi Sulaiman.

Mungkin aku orang penting di sini. Aku tak pernah jadi orang penting. Lagi pula kenapa hanya tubuhku yang tak membatu. Soal ini mimpi siapa, itu tak penting. Apa bedanya yang mimpi dan yang nyata.

Ia datang. Burung abu-abu agak kecokelatan. Mendarat buru-buru di atas pagar besi. Sudah karatan. Entah apa fungsinya. Kota ini diisi hujan dan matahari. Mestinya Walikota tak perlu membangun sesuatu yang sia-sia.

Kau bukan siapa-siapa, kata burung gereja itu. Kau hanya pekerja biasa.

Di antara jepitan paruhnya ada benang panjang. Mengilat. Mengulur sampai jauh. Seperti garis lintang. Entah di mana ujung satunya.

Nabi Sulaiman pernah memberi tugas karena kami diselamatkan Nabi Nuh. Orang-orang itu terhubung dalam jaring. Tidak akan mati seseorang sebelum satu ujung benang bertemu satu ujung lainnya. Katanya.

Aku pernah selintas melihat tengkuk seseorang tersimpul semacam benang. Mengulur dan mengilat. Kukira itu tali milik maut. Makin pendek talinya, makin pendek jarak mautnya.

Bukan maut. Maut amat tersembunyi lagi dekat. Ia akan datang saat daun milikmu jatuh dari pohon Ringin Yang Satu. Kata burung itu. Ia sibuk mengelilingi leher orang-orang di jalan. Mengikat tali dengan paruh dan cakar pendeknya. Mereka membatu. Lebih mirip patung. Atau gerak lambat. Amat lambat.

Ia masih sibuk. Terus sibuk. Di alun-alun tak lagi ada batu. Bekas lubang di tanah menggembur di sana sini. Mirip kuburan. Siap dimasuki. Apabila orang-orang itu dilempar ke dalam, pastilah cukup. Alun-alun akan jadi pekuburan masal.

Tidak. Mereka tidak mati. Belum. Ini gerak lambat. Hampir di batas gerak. Hampir gerak.

Burung itu melompat dari satu pundak ke pundak lainnya. Masih mengikat. Tali-tali mengilat sejumlah ribuan. Mengulur panjang. Ada yang sampai jauh. Ada yang menyambung dengan orang di sebelahnya. Amat dekat. Hampir menempel. Semacam pelukan.

Semua orang tersambung. Katanya. Buruh pabrik kecap ini terhubung dengan pedagang bakmi itu. Di pabrik, orang ini terlalu banyak menambah garam. Pedagang di sana itu akan diprotes oleh pelanggan.

Jadi benar, kepakkan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian?

Bukan. Burung itu seperti sudah mempersiapkan jawaban. Dan pertanyaanku tampak tolol belaka. Ini bukan kepakkan dan tornadonya, melainkan penghubungnya. Tidak ada yang kebetulan. Semua sudah terhubung sejak kau mengucapkan sepatah kata atau tak sengaja tersesat di tempat ganjil. Suatu hari, kau akan berurusan dengannya lagi. Orang-orang menggerakkan semesta sendiri. Dalam jaring-jaring yang terhubung. Dalam gerak bumi ini, ada gerak-gerak kecil yang saling terkait. Nasib setiap orang tidak lain hasil sulamannya sendiri.

Jaring laba-laba. Bumi ini dibungkus jaring laba-laba seperti buntalan benang. Dan burung itu adalah pekerja Nabi Sulaiman. Tentu bukan malaikat. Sebab ia berbulu bukan bercahaya.

Misalnya, aku akan memegang salah satu benang itu. Dengan kepercayaan bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Aku bisa melakukan apa saja. Benar-benar apa saja. Barangkali aku bisa masuk ke dalam pikiran orang-orang.

Kata burung tadi, ini adalah hampir gerak. Belum sampai detik. Kecepatan cahaya. Apa pun yang secepat cahaya bisa melihat apa pun yang jarang dan sempat terlihat.

Kau bisa melihat buluku dalam kecepatan cahaya. Katanya. Dalam kelambatanmu, kau hanya akan melihat kilatan. Hampir-hampir menyatu dengan cahaya. Sekali kedip, aku sudah menyebarkan benang-benang itu ke seluruh kota. Namun dahulu kami adalah suara yang menggerakkan segalanya. Pada mulanya, dunia diciptakan dengan tiga lagu. Kau tak akan bisa mendengarnya. Lebih nyaring dari lengking lumba-lumba. Oleh karenanya, Nabi Nuh menyelamatkan kami. Kami punya tugas terlalu banyak. Kami mesti bernyanyi seterusnya. Sekaligus menyambung benang-benang itu. Dunia ini, Tuan, tak akan selesai kau pahami. Seluruh materi, yang berbentuk dibentuk oleh suara, dan yang tidak adalah suara itu sendiri. Cahaya lebih cepat dari suara. Tapi cahaya berasal dari suara. Maka, bersiaplah jika trompet akhir itu dibunyikan. Itu tandanya, seluruh lagu telah selesai dinyanyikan. Sehingga kita semua nanti akan berantakan.

Gunung berapi, lembah, muka laut, muka bumi, perut bumi, udara yang menjadi angin, semua bergerak dan menjadi oleh karena suara. Tak akan ada waktu tanpa gerak. Tak ada gerak tanpa suara.

Tiba-tiba suara cenggeret di pepohonan makin nyaring. Telah nyaring sejak lama. Selama ini suara frekuensi konstan itu telah menjadi latar suara di pendengaranku. Suaranya tak berhenti. Tak pernah berhenti. Setelah semua kendaraan, pembicaraan, dan layar-layar videotron di jalan itu berhenti, aku baru sadar, suara napasku serendah ini.

Ya, ya, kau benar. Cenggeret itu pernah membuat kesepakatan. Di atas sebuah bukit selatan. Di atas meja batu dolmen. Kami tidak akan memakan mereka. Dan mereka mesti terus menyalakan suara perutnya. Dunia tak boleh berhenti bersuara. Tanpa suara, semua akan berantakan dan melorot seperti pasir. Kita tidak tahu di mana ujung bawah semesta.

Ada suara yang tak kau dengar suaranya! Lanjutnya. Burung itu mendarat di salah satu bahuku. Mulanya adalah lonceng besar yang dipukul oleh tangan yang tak bisa kita lihat wujudnya. Sejak itu, semua bergerak. Yang meledak, meledak. Yang terangkat, terangkat. Yang mengada, mengada. Suara itu akan terus menggema. Dan kita ada di dalam suara lonceng. Satu suara menciptakan suara selanjutnya. Satu panjang suara menyambung dengan lainnya. Seperti ombak. Satu suara melahirkan teriakan bayi. Suara-suara berikutnya pun terjadi. Bisa jadi, tornado yang geram itu terjadi karena kau meneriaki lampu jalan suatu pagi. Bukan kepak sayap kupu-kupu! Suara telah membentuk kota. Apabila kau tak mencari tahu kenapa semua orang ini membatu, mungkin kota ini akan segera remuk.

Lagi pula, siapa yang amat ingin merasakan kota sesepi ini?

Pekerja yang tak lagi perlu memisahkan suara yang penting dan tak penting itu pastilah sudah terbiasa. Derak roda dan sambungan besi tak perlu didengar. Sirene ambulans. Gesekan jaket dengan jaket lain. Senar kentrung kena ujung kuku pengamen bau matahari. Klakson. Klakson. Klakson lagi. Orang-orang bicara. Orang-orang menawar harga. Orang-orang memaki jam kerja. Orang-orang memaki diri mereka sendiri. Semua suara itu, bagi beberapa pekerja, bukanlah sebuah suara. Melainkan denting lonceng yang sekali dipukul. Suaranya terus berdenging.

Tapi, pada suatu hari, barangkali. Masih barangkali, ia duduk di luar dan meminta pada sebuah pohon untuk memelankan semuanya. Bukan waktu, melainkan suara. Tanpa suara, waktu juga akan berhenti. Ada suara lain yang terus bicara. Dari dalam kepala. Kadang tak terdengar sama sekali suaranya. Dan barangkali, mungkin barangkali, ia lari ke toilet untuk mencuci muka. Lalu suara itu masih berdenging meski ujung kalimatnya saja. Suara semacam: Dengarkan. Kita sudah sejauh ini dan kenapa?

Jika tidak, ia mungkin terduduk di sana dengan kedua kaki kesemutan. Selama setengah jam. Ia memohon untuk mati saja. Pastilah di akhirat sana suara bisa diatur seperti tombol putar radio. Waktu tak penting. Maka suara juga tak penting. Di sana, orang-oranglah yang memukul loncengnya.

Tapi ia adalah May. Istriku. Istri kesayanganku. Apa yang mungkin terjadi padanya, di mimpiku!

May sudah biasa diam. Mungkin ia tahu semua rahasia suara. Ia ingin memusnahkan masalah-masalah kami dengan menghentikan suara. Ia tak pernah membicarakan alasannya mau menikah denganku. Pastilah bukan karena ingin bermimpi bersamaku. Kami jarang tidur bersama. Lagi pula, mimpi tak bisa dibagi. Mimpi adalah dunia pribadi. Suara dari kepala yang muncul dari ketakutan atau keinginan. Burung itu benar. Semua berasal dari suara.

Suara adalah akibat yang menjadi sebab.

Mungkin, jika aku punya keberanian sebesar penyair di seberang jalan itu, aku akan memukul paruh burung yang mirip kulit kuaci itu dengan batu. Lalu semua orang bergerak lagi. Membikin suara. Yang hampir tak berbentuk kembali kepada bentuk.

Tapi, penyair dari Semarang itu lebih putus asa dariku. Pasti. Pekan lalu ia mendatangiku. Mengganggu tidurku. Ia menaruh puisinya di pigura. Di Rudana. Di antara lukisan Agostino de Romanis. Pulau tersembunyi Siberut dan pulau Enigmatik. Mereka bilang, itu terobosan. Kubilang, bukunya tak laku. Malam itu, ia membredel bukunya yang belum sebulan terbit—yang tak laku!

Kover bukunya dikangkangkan di tengah galeri. Dalam kotak kaca 5 sisi. Semacam tubuh kosong. Katanya, buku puisi merupakan seni rupa. Media yang bisa ditangkap mata dan diraba. Titik, garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan. Dalam puisi, warna bukan suatu panjang gelombang cahaya atau campuran pigmen, melainkan interpretasi otak yang tak terbatasi oleh spektrum.

Puisi mestilah dapat diraba. Kubilang. Ia tak boleh memajangnya dalam pigura seperti lukisan. Puisi mesti disentuh dengan jari. Untuk merasakan warna-warna yang terikat dalam bahasa. Dan benda-benda ganjil. Hieroglif dan relief ditulis di atas batu, sehingga yang buta dan bayangan bisa membacanya.

Penyair itu amatlah putus asa. Itu pasti. Para seniman mencari petak pertapaan mereka masing-masing. Kasta berundak itu terdiri dari peniru dan pembaru. Semua ingin jadi pembaru. Dengan begitu, batas-batas yang belum terjangkau dapat dimulai. Ada batas yang bermuara pada lembah sampah. Pengulangan atau coba-coba. Ada batas stepa yang meninggikan. Penyair itu amatlah tak peduli jika mesti berkubang di lembah sampah dan berteriak lantang: Inilah seni yang kau gunjingkan karena dangkal sehingga khawatir akan mengotori kaki-kaki orang yang hendak menaiki stepamu!

Suara adalah gelombang. Ia bisa menggerakkan dan membentuk apa saja. Misalnya seluruh mimpimu ini. Tapi sebentar. Ini mimpimu? Pastilah kau tahu apa yang sedang terjadi. Ini ketakutanmu yang mana? Tanya burung itu.

Bukan. Ini lebih masuk akal sebagai keinginanku. Aku selalu ingin mendekati wajah seseorang. Sedekat mungkin. Memandangi kedua mata orang lain dengan saksama. Mengukur wajahnya yang tidak simetris. Melihatnya dari berbagai sisi. Komedo di permukaan hidung. Bibir hitam. Kantung mata. Beberapa uban di alis. Bulu hidung. Tulang pipi. Leher belakang hitam karena insulin. Keletihan yang mengayu di kening. Dosa-dosa yang tersembunyi. Aku ingin melihat semua orang dengan betul-betul, bukan selintas. Aku ingin mengamati mereka tanpa diberi pandangan sinis. Dan rasa malu. Aku ingin menyelinap masuk ke dalam mobil seseorang. Mengamati urusan orang lain. Gaya pakaiannya. Cara hidupnya. Bagaimana ia melihat orang-orang di jalan. Aku ingin duduk dan mencium bau badan anak-anak punk di trotoar. Tanpa permisi. Tanpa kenalan. Tanpa basa-basi. Aku ingin masuk ke gedung Walikota. Tanpa perlu menjadi orang penting. Aku ingin menyelinap dan melihat apa yang mereka biasa tertawakan. Aku ingin membuka berkas-berkas kepolisian dan membacanya di kursi kapolda. Aku ingin masuk ke rumah-rumah orang. Buruh pabrik. Kuli bangunan. Pejabat daerah. Pedagang pasar. Melihat lelucon rumah tangga macam apa yang mereka jalani. Mengamati bagaimana mereka bercinta. Apakah mereka betul jadi anak kecil di atas ranjang. Saling mencari kenikmatan itu. Apakah dimulai dengan puisi atau tanpa suara. Tanpa berkata-kata. Hanya napas memburu dan bau dua orang dewasa. Bau pekerjaan kasar dan bawang dapur.

Aku ingin menyelinap ke sana sini tanpa ada yang melihatku sebagai manusia bernama, berumur, berumah, berstatus sosial, berlatarbelakang, berbapak-ibu, berideologi, dan bermaksud ini itu. Aku ingin menjadi bayangan. Atau suara yang memantul-mantul di dalam ruangan. Aku ingin mengamati apa yang tidak bisa dan tak pantas diamati.

Aku juga ingin. Memandang wajah May. Sedekat mungkin. Aku tidak pernah melakukannya. Aku bisa tapi May adalah kucing hitam—dan jantan. Ia akan segera mencakarku dan memilih kata yang paling menyakitkan. Sekaligus benar. Kata yang paling benar. Misalnya: Begitukah caramu memandangi wajah perempuan feminin di Hotel Katrina? Atau: Kau tak akan mendapati apa-apa dengan tatapan itu. Kau tidak mampu menyelami mataku.

Aku bisa. Aku bisa menyelami kedua matanya. Di sana tak ada apa-apa kecuali rasa benci yang lucu. Saking bencinya, ia selalu menertawai kebencian itu. Ia benci padaku. Pada seluruh keputusan yang telah ia ambil. Ia amat benci pada ketidakberdayaannya sendiri. Ia benci karena memutuskan mencoba sesuatu hanya untuk memaki dunia dan membuktikan bahwa ia benar. Bahwa dunia selucu itu. Dan pekerjaan yang tiada habisnya itu menjebaknya. Dan pernikahan ini. May memerangkap dirinya sendiri. Dengan sadar dan dengan perlawanan.

Ia pernah bilang, intuisinya amatlah kuat. Saat kecil, ia melihat lingkar bianglala di pasar malam amat mengancam. Seperti roda yang sewaktu-waktu punya keinginan untuk menggelinding. Tapi ia adalah kucing hitam jantan. May selalu ingin menyergap bahaya. Pada akhirnya, ia melihat ibunya jatuh dari atas bianglala itu.

May selalu melihat pernikahan sebagai perangkap abadi. Perangkap yang semua orang datangi dengan suka rela. Begitu juga dengan pekerjaan. Pekerjaan kantor adalah ruang isolasi terjadwal. Tapi May, sekali lagi, ia adalah kucing hitam jantan. Ia amat benci dengan nalurinya. Insting tanda bahaya itu.

Karena di dalam bahaya itu, ada lelucon.

Ia bilang, bayangkan kau sudah diberi tahu oleh Sang Bahaya, tapi kau tetap melemparkan tubuhmu ke dalam sana. Dengan suka rela dan sadar. Suara tawa macam apa yang akan berdengung?

Bunyi lonceng besar itu telah membuat muka laut terus menerus menggelombang. Gelombang ombak laut kemudian tak akan pernah berhenti membuat suara. Dialah yang membentuk muka lembah dan gigir gunung. Kontur suara membikin kontur benua. Kata burung gereja berbulu coklat tanah itu. Masih di bahu kiriku. Dan serangga siang akan dilanjutkan oleh serangga malam. Terus menerus. Tanpa henti. Menjaga gelombang suara. Mengisi penuh bumi ini.

Ia tahu isi kepalaku, dan ia amat tak peduli. Apabila peduli, pastilah ia hanya akan bertanya, lantas apa yang disukai May?

Seseorang tak bisa terus-terusan membenci. Apalagi pada hidup yang netral. Benci adalah kalah. Dan kalah hanya milik mereka yang tak bisa melihat apa yang sebetulnya terjadi. Misalnya, ada yang membuatnya bangun pagi-pagi. Meski sebuah rasa benci. Kebencian menjaga daya hidupnya. Dan kegairahan yang amat sedikit dari kesenangannya pada mimpi. Cukup untuk membuatnya bertahan. Lagi pula, hidup itu soal bertahan atau menikmati.

Itu dua hal yang tak penting. Kata burung itu. Burung gereja paling tak masuk akal. Bukan kata-katanya tapi keberadaannya. Kau tak bisa bertahan tanpa menikmati kenikmatan hidup yang cuma lima detik sehari—itu amatlah banyak. Kau juga tak bisa menikmatinya tanpa bertahan lebih dahulu. Sekali lagi, itu bukan hal penting.

Istrimu, Mai, Mei..

May.

Oia, May. Apakah ia penting untukmu? Untuk keberlangsungan hidupmu? Untuk menjadikanmu manusia? Bukan untuk membuatmu bertahan dan menikmati, melainkan mengalami hidup itu sendiri? Seberapa penting? Tanyanya.

Aku tidak pernah memikirkannya. Apa arti penting? Apakah semakin penting sesuatu maka semakin kita membutuhkannya? Apakah Walikota yang tak pernah muncul wajahnya di pasar itu penting? Maka, benarkah kita membutuhkannya?

Burung itu tak menjawab. Atau memang pertanyaanku masih tolol belaka.

Mereka bilang cinta. Tapi aku lebih suka menyebutnya kebutuhan. Aku membutuhkan May. May membutuhkanku. Maka terjadilah pernikahan. Pernikahan pragmatis yang akan berjalan statis. Sesuai dengan kebutuhan.

Lagi pula, apa yang dibutuhkan May dariku? Sekali lagi, pasti bukan karena ingin bermimpi di ranjang bersamaku.

Ia butuh balas dendam. Kata burung itu.

Aku penasaran, apa yang membuat seekor burung memikirkan apa yang tak seharusnya ia pikirkan. Seekor burung membutuhkan enam ribu tahun untuk menjadi makhluk berpikir. Manusia butuh tujuh belas tahun untuk menjadi hewan.

May perlu membalas dendam. Pada Sang Bahaya yang nekat ia masuki. Tapi ia terlanjur kalah. Semakin berusaha mencari cara untuk balas dendam, ia makin bosan. Semua orang hidup dalam balas dendam. Rasa lelah dengan istirahat. Rasa lapar dengan makanan. Syahwat dengan bercinta. Balas dendam May pada kerinduan adalah menikahiku. Ia rindu pada ayahnya. Ia rindu pada bau tubuh seorang pria. Ia amat membutuhkan maskulinitasku. Entah untuk apa, tapi ia begitu saja membutuhkannya. Ia perlu mengisi kekosongan dalam ruhnya yang tak komplit itu. Kekosongan yang hanya bisa diisi dengan feminin-maskulin. Maka dengan begitu, manusia dapat menjadi sepenuhnya manusia.

Tapi, May tidak sefeminin itu. Ia adalah kucing hitam jantan. Maka dari itu, sebentar lagi aku akan bangun di atas dada perempuan feminin di Hotel Katrina. Aku juga punya kekosongan di dalam ruhku. Ruh maskulinku.

*****

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen berjudul Bourdou (12 November 2022).

Editor: Moch Aldy MA

Kala Lail
Kala Lail Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email