morally bankrupt woman who can't even call herself a feminist

Cilaka

Sofiana Martha

5 min read

Demit, mungkin itulah kata yang seharusnya tidak pernah, bahkan sekalipun, disinggung oleh bapakku ketika aku lahir.

Aku terlahir di hari Jumat, tepatnya Jumat Kliwon. Ketika azan Zuhur berkumandang, ibuku mengeluarkanku seperti mengeluarkan gumpalan yang selama sembilan bulan nyaris membunuhnya. Saat itu hujan deras disertai suara-suara tonggeret (padahal biasanya mereka hanya berbunyi ketika sore dan malam hari). Saat itulah, seorang bayi laki-laki yang sangat biasa dari keluarga biasa-biasa saja terlahir, bukan di puskesmas ataupun rumah sakit, tapi di gubuk remang-remang milik seorang dukun bayi legendaris di dusun kami.

Saat itu, bapakku bercerita bahwa ia tidak bisa mengazaniku. Sempat terjadi perdebatan pula apakah aku patut diazani atau tidak, karena buyutku orangnya kejawen. Akhirnya, bapakku tidak mengazaniku karena merasa dirinya najis setelah terkena darah persalinan. Mbah kakungku, seorang juru kunci makam di dusun, mengambil alih. Ia mengazaniku, tanpa paham bunyi apa yang dilantunkan mulutnya sendiri. Lirik dan nada, semuanya hafalan.

Mbah Padoli adalah dukun bayi yang membantuku keluar ke muka bumi. Ia pulalah yang pertama menyadari kutukan yang ada pada diriku ketika aku tidak berhenti menangis selama semalaman penuh semenjak lahir. Ia mengatakan dengan giginya yang runcing-runcing, hitam, dan merah penuh sirih. Semburan ludahnya masih bisa kubayangkan. Orangnya memang sudah mati ketika aku kelas 2 SD, tapi aku tetap masih takut pada ingatan tentang wajah dan suaranya. “Anak ini berbeda, dia bisa ‘melihat’. Ini pasti dari mbah canggah¹-nya yang dulunya tabib, Mbah Dolah. Ia punya berbagai macam keris dan kesaktian, ia melindungi dusun ini. Melindungi pun berarti ia harus melawan dan menyangkal, apa pun yang dilihatnya, dan seberapa pun buruknya itu.”

Dalam wujud konklusinya, aku bisa melihat demit. Mengapa dan bagaimana bisa? Tak ada yang pernah tahu. Mendengar kabar itu, ibuku nyaris pingsan lagi, bapakku komat-kamit merapalkan suratan pendek, dan ngedumel dengan bahasa Jawa kasar, tentang betapa sesatnya keluarga ibuku dari buyut-buyutnya. Ibuku menolak mentah-mentah dan minta aku disembuhkan.

“Disembuhkan bagaimana, Nduk? Ini adalah anugerah. Karunia! Mau ditutup matanya pun, dia masih akan peka. Maumu begitu saja?” Mbah Padoli pasrah, dia juga tidak tega melihatku menangis terus tidak berhenti-henti.

Tangisanku akan mereda hanya jika Mbah Padoli berada di sebelahku persis. Jika ia keluar kamar saja, aku langsung menangis. Seolah-olah begitu banyak dedemit yang ingin mengajakku bicara, atau bahkan menculikku ke dunia lain.

Ibuku mengangguk mantap. “Apa pun risikonya, Mbah. Lebih baik seperti itu. Bisa melihat demit bukanlah anugerah, itu kutukan.”

Bapakku hanya mengangguk, tidak punya komentar. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sekotak buah hatinya yang lain, kumpulan bahan untuk ngelinting. Beranjak keluar dia dari kamar kecil yang remang tersebut menuju ruang tamu. Duduk sambil memegang kepalanya yang hendak copot. Keluarganya sejak dulu sudah menentang pernikahannya dengan ibuku—karena desas-desus orang dan memang nyatanya keluarga ibuku sangat kejawen. Ini di Dieng, Wonosobo, semua yang terlalu kejawen tanpa akulturasi atau embel-embel Islam pastinya akan dipandang sesat.

Akhirnya, Mbah Padoli mengangguk. Ia segera menyuruh bapakku untuk mengambil beberapa tanaman di hutan sebelah rumahnya, dengan semua perintahnya yang detail, seperti harus yang itu dan jangan sekalipun memetik yang daunnya hanya empat. Begitulah, bapakku yang memakai peci dan sorban pun rasanya ingin membanting kedua benda tersebut karena merasa malu.

Setelah didapatkan semua bahan tersebut, Mbah Padoli mulai meraciknya. Entah dicampuri apa semua itu, yang jelas kata bapakku baunya apek (pastinya). Kemudian campuran itu di-loloh-kan (dimasukkan dan dikeluarkan kembali) ke mulutku. Setelah selesai, barulah ditaruh di sebuah kalung yang bisa dibuka tutup dan disematkanlah kalung antidemit itu pada seorang bayi laki-laki malang, yaitu aku.

Bertahun-tahun setelah ritual tersebut, aku memang “sembuh”, meski memang tidak sepenuhnya. Aku masih begitu peka, pada apa pun yang ingin mengajakku bicara. Kisah tentang kelahiranku itu menjadi buah bibir segenap anggota keluarga. Aku merangkai kronologinya dari berbagai sumber yang bercerita selama aku tumbuh besar.

***

Sekarang, aku berkuliah di sebuah universitas di Semarang. Jauh dari rumahku, sangat berbeda suhu, dan yang jelas menyebalkan. Semua itu kulalui dengan biasa saja, sampai hari itu tiba.

Wis yo? Aku pulang ke Dieng dulu, nanti kau nyusul saja. Sekalian pulangnya ke sini kubawakan beras atau sangu dari ibumu, terus juga aku sampaikan yang baik-baik ke orang tua itu.”

Kang Jihad, temanku itu pergi dari pekarangan kosku. Saat itu, aku tidak punya firasat apa pun. Yang kutahu, ibuku berkata di telepon beberapa waktu lalu bahwa di malam Jumat dua minggu lalu adalah hari peringatan ke-110 tahun mbah canggah-ku meninggal dunia. Umur ini juga mungkin fiktif saking tuanya orang tua itu. Berdasarkan cerita-cerita yang aku pernah curi dengar, orang zaman dulu memang banyak yang berumur panjang. Konon, Mbah Dolah berumur panjang karena sepanjang hidupnya selalu marah-marah. Aku pun tak tahu mengapa.

Aku tidak tahu, tapi perasaanku sangat tidak nyaman. Aku memasuki kamar kosanku dengan gundah, memutuskan untuk berjalan-jalan saja keliling kompleks. Sekitar beberapa jam setelah itu, aku pulang. Menemukan bangkai seekor kucing hitam, tepat di depan pintu kamar kosku.

Ibu kosku yang kebetulan lewat pun menegur. “Mas, aku tahu kau senang banget sama kucing, tapi apa sampai mati begini di depan pintumu? Sepertinya ini bukan kucing yang suka kemari?”

Aku meneguk ludah, apa pula ini? Seekor kucing hitam mati di depan pintu kamar kosku—ketika suasana hatiku sedang sangat tidak nyaman? Ini bukan lelucon. Masa bodo dengan salat, akan kutengok primbon. “Nggih, Bu. Mohon maaf ya, nanti biar saya kuburkan.”

Aku semakin tidak nyaman. Kucing itu sepertinya mati tiba-tiba, tidak ada luka bekas gigitan, sabetan, atau apa pun. Ia benar-benar mati, seolah terkena serangan jantung. Kuangkat bangkainya dan kuamati, mata kanannya terbuka, tapi mata kirinya tertutup. Aku tidak paham, yang jelas ia sudah mati, harus segera dikubur sebelum ibu kosku protes lagi.

Aku pergi ke kebun belakang kos, lumayan jauh karena harus melewati pekuburan. Baiklah, ini memang malam Jumat kliwon, tapi yang jelas aku tidak pernah takut demit. Pernah pada suatu malam, saat aku sangat lelah setelah pulang mendaki dari Prau, sebuah/seekor/seorang demit menyerupai perempuan berambut panjang sedang duduk di dapur rumahku. Waktu itu bukannya takut, aku sangat marah sampai memaki-makinya. Sejak saat itu, demit hanyalah sebuah/seekor/seorang hal biasa meski sedikit mengganggu.

Mulailah kukeduk tanah sedikit demi sedikit, udara malam begitu basah dan terasa mengigit kulit. Aku sepenuhnya yakin rasa itu bukan terlahir dari takut, tapi dari wegah atau malas. Kenapa pula kegundahan ini datang sedari tadi? Lalu ada kucing mati? Aku tidak peduli lagi. Kukeduk terus sampai tiba-tiba tanganku merasakan sesuatu yang mengganjal.

Gusti Nu Agung, yang kupegang sekarang adalah buntalan putih, berbau anyir, bertuliskan sesuatu dengan huruf dan bahasa yang tak kupahami, dan bertali. Tidak butuh waktu lama sampai aku menyadari bahwa yang sedang kupegang adalah semacam jimat atau apa pun sebutannya, yang jelas kuyakin benda itu mengundang demit.

Sejak insiden kuntilanak yang kumaki-maki itu, tak pernah lagi aku takut pada demit, tapi detik itu pula aku terkencing, merembes di kolorku yang memang sudah sepatutnya dicuci sejak kemarin.

Copot taline, Mas. Aku njaluk tulung, copot taline.

Suara itu tiba-tiba terdengar, meniup tengkukku. Bukannya istigfar, hatiku justru mengumpat asu, celeng, dan sebagainya. Aku tahu bahwa di depanku sekarang, sepasang kaki yang sangat pucat dan tidak menapak sedang menanti aku mendongak. Aku tak peduli, tanganku gemetar dan kuputuskan untuk melawan suara demit itu. Talinya aku biarkan, buntalan itu kemudian kutinggalkan saja dan kututup ala kadarnya dengan tanah kembali. Bangkai kucing itu kemudian aku tumpangkan padanya, kututup lagi dengan tanah, kemudian aku lari tunggang langgang. Entah itu kencing atau tahi yang keluar di celanaku, aku sungguh sudah tidak peduli. Ketakutan atas “kepekaanku” kembali dan suara-suara itu masih menyumpah-nyumpah di telingaku.

***

“Bali cepet, Le! Jihad di Temanggung kecelakaan. Mata kirinya dioperasi dan dokter bilang sudah tidak berfungsi lagi. Masih di rumah sakit. Coba kamu jenguk dia, jarene dia benar-benar pengin ketemu kamu.”

***

“Aku lihat kucing hitam di jalan besar, kemudian aku banting setir. Aku ora paham maksudnya apa, tapi tiba-tiba aku pengin ngomong denganmu. Mbuh jarene (mungkin saja) kamu tahu sesuatu.”

***

“Sejak kamu pulang, kamu ini baunya aneh. Ada demit yang ngintil kamu dari Semarang? Ada urusan denganmu yang belum selesai? Sing sabar, Le (yang sabar, Nak), mengko kabehane rampung (nanti semuanya selesai). Kalau kita tahu ada yang butuh bantuan dan tidak kita tolong padahal kita mampu, itu abai namanya. Tolong saja, siapapun dia, manusia atau demit.”

Ibuku berkata seolah lebih rela anaknya diculik demit dibanding menetap di rumah berlama-lama. Aku bukan penganut kejawen dan bukan umat Islam yang taat, tapi nasib buruk tetap menimpaku seperti karma atas dosa-dosa yang kerap diceritakan dalam tradisi kejawen atau dalam kitab suci. Konsep kesenangan bisa berbeda-beda antar keyakian, tapi mengapa penderitaan selalu sama tak pandang agama? Karena risih dibujuk melulu oleh ibuku, maka aku pun bergegas ke Semarang. Hari masih pagi, motor baru dipanaskan. Setelah bersalaman, ibuku masuk dan aku melaju. Aku tahu tapi tak ingin membahasnya dengan ibuku, perempuan dengan rambut panjang terurai itu sudah duduk di belakangku sejak tadi, senyum ganjilnya tampak dari spion, sepanjang jalan kami tak bicara.

Sekarang aku paham, mengapa semasa hidupnya Mbah Dolah selalu marah.

***

 

¹Orangtua dari kakek/nenek buyut

 

Editor: Ghufroni An’ars

Sofiana Martha
Sofiana Martha morally bankrupt woman who can't even call herself a feminist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email