Novel Warisan merupakan karya sastra yang diterbitkan pada akhir abad ke-20, buah karya seorang penulis wanita berkulit hitam Afrika, Tsitsi V. Himunyanga – Phiri. Dia adalah seorang aktivis feminisme dan dengan demikian, pemikirannya itu tertuang betul di dalam novelnya, Warisan.
Menurut Budi Darma, di dalam pengantar yang dia sampaikan untuk novel yang memiliki judul asli The Legacy ini, Phiri berangkat dari realitas alih-alih hanya sekadar metafora atau permisalan pun imajinasi. Phiri tidak hanya menyuarakan kegelisahannya, tetapi menjadi wakil lingkungan, tempat kejadian itu berlangsung. Kejadian yang dimaksud ialah dominasi laki-laki dan bagaimana perempuan memandangnya. Dasar novel yang menjangkau kenyataan dan praktik di masyarakat, dan bukan tidak mungkin sangat dekat, bahkan merupakan pengalaman penulis sendiri, yang menurut Budi Darma masih terikat dengan adat lingkungannya.
Jika dilepaskan dari konteks budaya dan sejarah sekalipun, novel Warisan akan sesuai pada beberapa keadaan yang dialami oleh kaum perempuan. Ada sebuah canon, meminjam istilah yang dikemukakan oleh Maria Grever dan Siep Stuurman dalam Beyond the Canon, History for The Twenty-first Century, bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan sesuatu yang layak diterima. Hal itu tidak hanya terekam dengan baik di benak kaum lekaki, tetapi juga diamini oleh banyak perempuan. Oleh karena itu, mengubah pandangan tentang dominasi laki-laki dengan memperkenalkan perlawanan dari kaum perempuan dapat dipandang sebagai mengambil jalan yang menyimpang.
Pada kondisi tertentu, perlawanan terhadap perubahan cara pandang itu justru datang dari para perempuan yang menjadi pendukung berat akan canon tersebut.
Perlawanan di Tengah Lingkungan yang Mengancam
Novel Warisan berupaya menghadirkan sosok pendobrak atas dominasi laki-laki, yang menjadikan novel ini dapat pula diidentifikasi sebagai karya yang bercorak feminisme eksistensialis. Tokoh Nyonya Mudenda, dengan segala ketidakberdayaan dan keterikatan dengan adat, berusaha melawan canon itu. Keadaan yang dinarasikan oleh Phiri terkait dengan tradisi, tentu merupakan praktik yang telah dijalankan dalam masa yang cukup panjang. Akan tetapi, kita hanya akan menyorotinya pada masa novel itu ditulis, yang dianggap mewakili realitas pada masa itu pula.
Nyonya Ba Mudenda, setelah kematian suaminya, harus menyerah dengan kenyataan dan canon yang berlaku. Dia meyakinkan dirinya, bahwa takdir atasnya tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh laki-laki yang berada di sekelilingnya, bahkan oleh suaminya yang telah meninggal. Hal itu tercitra dengan baik pada kutipan berikut:
“Aku merasa seolah-olah aku memikul berat seluruh dunia di pundakku, karena putusan terhadap perkaraku akan berakibat bagi perempuan-perempuan lain. Boleh dikatakan, aku ini kelinci percobaan. Aku tidak punya kuasa untuk menentukan apa yang akan terjadi terhadap diriku. Kekuasaan itu terletak di tangan hakim.”
“… Apakah Si Hakim itu mempertimbangkan semua kerja dan usahaku yang telah kulakukan untuk kehidupan yang nyaman bagi anak-anakku, atau, apakah ia seperti orang-orang lain, yang menganggap bahwa perempuan harus selamanya tergantung – tidak mampu mengambil keputusan yang penting dan hanya dapat hidup di bawah perlindungan seorang laki-laki?”
Nyonya Mudenda kehilangan segalanya, akibat suaminya yang meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat. Dia harus berlapang dada dengan uang pensiun suaminya saja, sementara rumah mereka dikecualikan darinya. Phiri, perlu dengan tegas menyematkan jenis kelamin si hakim, yaitu laki-laki, demi menjelaskan bahwa tokoh Mudenda berada di bawah dominasi pria. Pembaca diajak masuk ke dalam pemikiran penulis dan tokoh Mudenda, yang mewakili perempuan Afrika pada abad ke-20, dalam memandang kaum pria mereka.
Ketika dikepung oleh kekuatan dan dominasi pria, tokoh Nyonya Mudenda dibantu oleh seorang pengacara yang berasal dari kaumnya sendiri, yaitu Nona Zulu. Pemilihan tokoh perempuan sebagai ‘dewi penolong’ atas kasus yang mendera Nyonya Mudenda merupakan sebuah daya dobrak yang diberikan oleh Phiri, sekaligus mewakili alam pikirannya bahwa perempuan hanya dapat berharap kepada perempuan.
Nona Zulu juga berperan sebagai tokoh yang menerjemahkan pandangan feminisme eksistensialis yang dipegang oleh Phiri. Nona Zulu digambarkan sebagai perempuan muda dengan semangat berapi-api, yang menolong kaumnya dari lingkungan sekitar yang tidak peduli. Phiri menumpukkan tantangan besar, melawan dominasi pria, di atas pundak seorang tokoh ‘mungil’ di lingkungannya.
Phiri pada bagian lain justru menempatkan perempuan dan laki-laki sejajar dan bersama-sama merendahkan perempuan lainnya. Hal itu digambarkan melalui bagian ketika pemakaman suami Nyonya Mudenda berlangsung. Saat itu perempuan-perempuan lain ikut menghina dan menuduhnya telah membunuh suaminya, serta melakukan kekerasan fisik kepadanya. Hal itu turut mencitrakan orientasi wanita Afrika pada abad ke-20 yang mayoritasnya masih memandang dominasi laki-laki sebagai sesuatu yang lumrah. Sementara itu, penghormatan dan saling dukung antara sesama perempuan masih merupakan barang langka. Pencapaian seorang perempuan juga dianggap tidak mungkin, dan oleh karenanya dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan.
Sementara itu, ada pula canon yang berakar dari ranah tradisi, yang menempatkan wanita sebagai sesuatu yang kotor setelah kematian seorang pria, suaminya, dan cara membersihkannya ialah melalui seorang pria lain pula, ipar laki-lakinya. Hal itu dialami oleh Nyonya Mudenda sepeninggal suaminya. Adik ipar laki-lakinya (mulamu), yang telah ia asuh semenjak kecil, dipercaya sebagai pembersih Nyonya Mudenda, dengan cara melakukan hubungan suami-istri. Phiri menyuarakan perlawanannya terhadap tradisi yang demikian ini. Laki-laki tidak hanya mendominasi, tetapi juga sekaligus menawarkan satu-satunya tempat bagi perempuan jauh di dasar kehinaan, dengan dalih pembersihan.
Harapan dan Lingkaran Setan
Phiri tampak sungguh sadar bahwa pengalaman pada masa lampau adalah sumber kecemasan yang timbul kemudian. Pikiran semacam itu tercitra di dalam flashback yang dihadirkan Phiri di dalam novel Warisan. Harapan Nyonya Mudenda, yang dapat dianggap sebagai kegelisahan atau kecemasan, agar anaknya baik perempuan maupun laki-laki dapat bersekolah ialah berdasarkan masa lalu yang dia alami sendiri. Akan lebih baik jika kita peroleh latar belakang Phiri dan masa lalunya, sayangnya informasi terkait hal itu masih sulit ditemukan. Phiri berpandangan bahwa bersekolah adalah misi penyelamatan. Harapan Phiri sepenuhnya berpusat pada sekolah. Sekolah dianggap dapat memberikan jalan keluar, setidaknya menjadi awal para perempuan dan laki-laki untuk dapat menulis mimpi.
Kita juga dapat menyimpulkan, jika tidak tergesa-gesa, bahwa pada abad ke-20 pendidikan masih belum dirasakan secara merata di Afrika. Akses terhadap pendidikan bahkan semakin sulit jika menyangkut perempuan. Para perempuan akan dihadapkan dengan paksaan untuk menikah di usia muda. Dengan demikian, sekolah merupakan jalan menanjak yang sangat terjal untuk dilalui. Phiri mewakilkan kesan ini kepada Nyonya Mudenda muda. Dia harus putus sekolah dasar demi menikah.
Cuplikan akan dukungan perempuan lain terhadap dominasi pria dan kelemahan kaum mereka sendiri, sebagai citra pemikiran perempuan Afrika abad ke-20, kembali tergambar pada adegan ketika ibu kandung Nyonya Mudenda kecil dan para ibu tirinya mendukung agar ia menikah dan menyatakan bahwa keberuntungan dan kebahagiaan itu terletak pada laki-laki yang akan ia nikahi. Ketangguhan perempuan dibuktikan ketika mengurus rumah tangga, bukannya dengan belajar di sekolah. Sekolah bahkan dianggap sebagai penyakit, yang akan membuat para lelaki menjauh, sebab pencapaian sang perempuan itu terlampau tinggi baginya.
“Sekolah tidak lain merupakan gagasan asing bagi kami, yang dibawa oleh para penjajah kulit putih untuk membujuk perempuan-perempuan muda agar menjadi malas. Seorang perempuan harus kuat dan mampu bekerja keras baik di rumah maupun di ladang. Adalah tugas perempuan untuk tinggal di rumah dan merawat suami serta anak-anak.”
Sekolah kemudian didominasi oleh laki-laki di Afrika pada abad ke-20, sementara para perempuannya, jika pun tidak dipaksa, telah terlebih dahulu menganggapnya sebagai sesuatu yang menakutkan dan membawa kerugian. Para perempuan Afrika abad ke-20 dicitrakan hanya berorientasi pada upaya menyenangkan hati para lekaki dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Sedangkan apa saja yang tidak mendukung bahkan menghambat ‘mimpi’ mereka itu dipandang sebagai musuh yang menakutkan. Mereka kemudian bersepakat dengan kaum lelakinya bahwa musuh-musuh itu harus dijauhi dan pantas disingkirkan. Demikianlah, pendidikan dianggap menyeret perempuan Afrika kepada gesekan dengan adat dan tradisi, dan kalaupun mereka memperoleh pendidikan, maka hanya sebatas yang bersifat domestik saja.
Phiri kemudian berpandangan bahwa di balik perempuan Afrika yang bersikeras menempuh pendidikan tinggi, ada hal lain yang lebih besar artinya harus dikorbankan. Hal itu yang menempatkan perempuan Afrika yang berkeinginan maju harus mengurungkan niatnya. Mereka yang ingin maju harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ibu mereka, meski mendukung keinginan mereka tetap tidak berdaya di hadapan sang ayah. Mereka yang sudah pasti sangat mencintai sang ibu, mengetahui bahwa akhir dari perjuangan untuk bersekolah adalah perceraian kedua orangtua. Demi menjaga kepentingan yang lebih besar, mimpi besar untuk bersekolah harus dikubur. Phiri dengan begitu juga menyadari bahwa perjuangan perempuan di dalam mendapatkan haknya, dapat menjadi sebab penderitaan perempuan lainnya, dan inilah yang menjadi tantangan berat bagi para perempuan Afrika abad ke-20 yang berorientasi melawan dominasi pria. Pria yang mereka lawan tidak jarang adalah ayah mereka sendiri, dan perempuan yang akan menjadi korban adalah sang ibu.
Hal menarik lainnya ialah, ada pandangan bahwa perempuan sebenarnya memiliki posisi penting di dalam sebuah keluarga. Meskipun tanggung jawab dan peran pria, dalam hal ini suami, mendominasi, tetapi perempuan tampil pula sebagai key role. Dalam pandangan Phiri, perempuan bagi masyarakat Afrika, terutama pada abad ke-20, ialah sebagai pemersatu keluarga. Ketika perceraian terjadi, maka hal itu dianggap sebagai kegagalan perempuan sebagai pemersatu. Oleh karena itu, Pendidikan yang hadir sebagai harapan juga masih dapat berbenturan dengan lingkaran setan yang sedemikian itu, sehingga mereka selalu saja tidak bergerak atau hanya akan kembali kepada kondisi semula.
***
Editor: Ghufroni An’ars