Lahir di Cirebon. Kini tinggal dan nguli di Cirebon. Instagram @wahyu_rusnanto

Lidah Mamah

Wahyu Rusnanto

4 min read

Malam idulfitri lima tahun lalu, saya mulai menyadari Mamah kembali dari kematian dan bersemayam di lidah saya. Mamah atau mungkin ruhnya, kembali ke dunia dan sengaja menjadikan lidah saya sebagai induk semangnya. Ini pasti mengherankan, sebab rasanya tak mungkin bagi orang yang telah mati bisa kembali dan bahkan bersemayam di bagian tubuh seseorang. Namun saya bersumpah, saya merasakan kehadiran Mamah di lidah yang bahkan sering disebut tidak sempurna oleh orang-orang itu.

Berkali-kali saya mengatakan tentang Mamah yang tinggal di lidah saya kepada kakak dan adik lelaki saya. Tapi, mereka tidak percaya dan berkata bahwa itu hanya halusinasi sebab saya belum bisa menerima kepergian Mamah. Mereka mengatakan, kesedihan yang datang ketika ditinggalkan seseorang sangat mungkin menimbulkan halusinasi. Alasan ini bertentangan dengan keyakinan saya—sebab kehadiran Mamah begitu kuat. Namun, kakak dan adik saya bersikeras itu hanya perasaan saya saja karena memang terlampau sering bersama Mamah.

Mamah memang paling dekat dengan saya dibandingkan dua anaknya yang lain. Mungkin karena saya satu-satunya anak perempuan yang dia miliki, dan mungkin, karena dahulu saya pernah sakit panas disertai kejang yang hebat—katanya, ketika itu Mamah sempat menyelipkan sebuah sendok ke dalam mulut saya agar tidak mengatup, entah apa maksudnya—sehingga, perhatiannya bertambah semenjak itu.

Di antara anak-anaknya, sayalah yang selalu ada di dekat Mamah dari pagi buta hingga malam menjelang. Sedari kecil saya memang telah disiapkan Mamah untuk menjadi wanita yang baik bagi keluarga. Semenjak Papah pergi meninggalkan kami, Mamah menyiapkan saya untuk menjadi perempuan mandiri. Kata Mamah, Papah pergi ke luar negeri untuk mencari jalan paling baik menuju Tuhan. Maka, ketika Mamah telah hidup seorang diri, ia memperlakukan ketiga anaknya dengan berbeda-beda. Kepada kakak, Mamah hanya menyuruhnya sekolah yang benar sehingga kelak menjadi pintar dan dapat menjadi pelindung adik-adiknya. Adik saya hanya diminta mencontoh kakak dan belajar mengaji kepada ustaz yang ada di musala.

Namun, dibanding mereka, hanya saya yang mendapat perlakuan paling berat. Saya harus bangun pagi-pagi untuk sembahyang dan membantu Mamah pergi ke pasar serta menyiapkan sarapan. Sepulang sekolah menyapu seisi rumah, sementara Mamah akan mencuci pakaian kotor. Sore menjelang magrib, sepulangnya mengaji, Mamah akan meminta saya mencuci piring sementara ia memasak untuk makan malam. Rutinitas pekerjaan inilah yang membuat saya terkadang cemburu kepada saudara saya.

Mamah pernah berkata,”urusan rumah bukan urusan lelaki, pamali.”

Meski begitu, ada satu hal yang tidak dibeda-bedakan oleh Mamah, sebab hal ini tidak bisa ditawar-tawar, persoalan itu adalah agama. Aku tak mengerti mengapa Mamah sangat ketat untuk persoalan tersebut. Padahal dapat dikatakan anak-anaknya tidak terlalu menyukai peraturan Mamah untuk hal ini.

Bagaimana tidak? Kami, anak-anaknya diharuskan menempuh pendidikan di sekolah Islam, dari mulai Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga Alawiyah. Salat adalah yang utama. Mamah bisa marah besar apabila kami tidak segera ambil wudu ketika suara azan berkumandang, atau mengetahui kakak dan adik lelaki saya tidak berangkat ke musala untuk berjamaah.

“Salat itu tiang agama, runtuh agama jika umatnya tidak melaksanakan salat.” Mamah menceramahi kami sekali waktu sepulangnya salat tarawih di suatu bulan Ramadan, “terlebih lelaki, tidak cukup hanya melaksanakan salat, tapi harus berjamaah di masjid.”

Maka, dapat saya katakan, sebelum Mamah meninggal, setiap hari isi rumah tidak pernah absen dari teriakan Mamah, sebab ada saja yang membuat Mamah kesal hingga akhirnya memarahi kami. Terutama kakak dan adik saya yang sering mengeluh dan kadang enggan perihal pergi ke musala dan salat berjamaah di sana—sebab, jarak rumah dan musala memang terbilang jauh.

Mamah memang satu-satunya yang dapat membuat rumah ini ramai. Sepeninggalnya, rumah ini menjadi sepi, tak ada lagi ceramah yang biasanya bergema melalui dinding-dinding setiap harinya. Hal itu memang tidak bisa dipungkiri, sebab jasad Mamah juga membawa serta lidahnya ke alam baka. Namun, rupanya sepi hanya sampai malam itu—malam ketika Mamah kembali dari kematian. Meski, berkali-kali saudara saya menyangsikan dan menertawakan apa yang saya rasakan, saya tetap mengatakan Mamah ada di lidah saya setiap kali ada kesempatan. Sebab, ia menginginkan kehadirannya dirasakan oleh anak-anaknya.

***

Malam idulfitri, tujuh hari setelah kematian Mamah adalah waktu pertama kali saya merasakan kehadirannya di seruang mulut. Malam itu, rumah masih terasa lengang dan diliputi duka. Di luar, sahut-sahutan takbir yang berasal dari corong banyak musala tak berhenti terdengar, lalu, angin berkesiur masuk melalui ventilasi dan celah-celah rumah membuat suasana semakin dingin. Semua penghuni tak banyak bicara dan memilih mendekam di kamar, termasuk saya.

Saat itu saya sedang becermin sembari melihat wajah yang sembab karena terlalu sering meratapi kematiannya, kemudian sesuatu yang aneh dirasakan lidah saya, seperti ada yang masuk dan berdiam diri di sana. Saya menjulurkan dan melihat pantulannya di cermin. Awalnya tak ada yang aneh, namun saya terkejut  setelah beberapa detik mulai melihat permukaan lidah saya membentuk sebuah wajah, wajah Mamah.

Tak ada yang salah dengan penglihatan saya, memang wajah Mamah membentuk di permukaan lidah. Saya hafal betul bentuk mata sedikit sipit dengan kerutan di bawahnya, bulu alis tak terlalu tebal, hidung kecil sedikit bengkok ke kiri, dan bibir merah yang cukup tebal semuanya membentuk di sana. Saya tentu saja terkejut dan berlari menuju kamar kakak untuk memberitahukan hal ini. Namun, kakak bilang tak ada apa-apa di lidah saya dan berkata bahwa itu halusinasi akibat saya belum bisa menerima kematian Mamah.

kakak boleh saja tak percaya, tapi meski begitu, saya tetap merasakan kehadiran Mamah. Rasanya memang ia berniat untuk tinggal lama di lidah saya, mungkin hingga saya tua atau bahkan mati, dan hal itu justru membuat saya senang, sebab rindu yang saya rasakan hanya perlu diucapkan lewat lidah yang bahkan kini ditinggali mamah.

Hari-hari berikutnya setelah tahu Mamah bersama saya. Entah mengapa, Saya menjadi ingin sering berbicara dan mencoba membuat rumah ramai kembali. Rumah yang seminggu lebih tak tersentuh, saya rapikan sembari menghilangkan suasana duka. Sebab bagaimanapun Mamah tak ke mana-mana. Mulut saya ingin mengomentari apa pun, terutama mengenai saudara saya yang masih enggan beraktivitas. Maka, saya mengomeli mereka seperti Mamah mengomel juga, tentu saja terutama persoalan ibadah.

Rumah pun menjadi seperti sediakala. Saudara saya, walau awalnya enggan melakukan apa yang saya ingatkan, akhirnya menurut juga, sebab, kata mereka capek mendengar saya mengoceh terus.

Tapi apa peduli saya? Dorongan untuk berkata-kata terus berdesakan. Saya memahami ini sebagai keinginan Mamah untuk terus ada di hadapan anak-anaknya.

Hari-hari penuh ocehan terus bergaung di dalam rumah. Ocehan itu terus meluncur, meski mereka perlahan jengah dan selalu menghindar ketika saya mendekat. Namun, bagaimanapun ini keinginan Mamah yang selalu ia katakan setiap malam ketika saya becermin sembari menjulurkan lidah untuk melihat wajah Mamah yang tersenyum di sana.

“Buatlah mereka merasakan kehadiran Mamah,” ucapnya.

***

Ah, entah memang sudah waktunya atau memang saudara saya sudah terlalu jengah dengan segala ocehan lidah saya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan rumah. Kakak mempunyai kekasih dan ingin menikahinya, sehingga ia berpikir kelak setelah menikah ia tak perlu lagi tinggal di rumah. Sedangkan adik, diterima di sebuah perguruan tinggi di luar kota. Tak lama lagi, mereka akan meninggalkan saya—meninggalkan Mamah.

Sebelumnya saya dan Mamah tentu merasa sedih dengan keputusan yang diambil oleh mereka. Sebab, bagaimanapun Mamah telah bersusah-payah kembali dari kematian, dan saya telah berusaha untuk menghadirkan Mamah untuk mereka. Namun, kami menyadari hidup memang tak bisa dibendung. Maka, Mamah memutuskan  berhenti tinggal di lidah saya dan akan pergi ke surga. Saya menentangnya dan menuntut agar Mamah tetap berada di sana selamanya, tetapi Mamah bersikeras sudah waktunya ia benar-benar pergi.

Malam ketika Mamah mengatakan hal itu, demam menyerang tubuh saya. Panas dan gigil datang bersamaan membuat saya hanya bisa meringkuk sembari memakai pakaian berlapis di atas ranjang. Tubuh saya kaku dan ada sesuatu yang membuat saya tak dapat mengendalikannya. Lalu, tiba-tiba wajah Mamah yang melekat bertahun-tahun di lidah terbayang ketika pandangan saya tiba-tiba kabur dan perlahan gelap.

***

Saya tersadar di sebuah kamar berdinding putih dan penuh aroma obat. Kakak mengatakan semalam saya mengalami kejang. Ia menemukan saya terjatuh dari ranjang dengan tubuh bergetar hebat, katanya saya mengigit lidah saya sendiri, sehingga membuat darah meluap dan memenuhi seruang mulut. Adik saya bercerita bahwa kakak sebisa mungkin membuat mulut saya terbuka, bahkan dengan mencungkil gigi saya yang terkatup kuat dengan sebuah sendok. Namun, sekeras apapun kakak berusaha ia tak dapat menyelamatkan lidah saya.

Mendengar segala cerita mereka ada yang sesak di dada saya, kemudian, saya hanya bisa menatap langit-langit berwarna putih. Kakak dan adik lekat menatap saya dengan iba. Mereka meminta maaf sebab tak bisa menyelamatkan lidah saya. Saya tidak peduli, dan menatap mereka dengan amarah bergejolak di dalam dada. Ada yang lebih saya sesalkan ketimbang selembar lidah, yakni Mamah yang tidak bisa diselamatkan oleh mereka.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Wahyu Rusnanto
Wahyu Rusnanto Lahir di Cirebon. Kini tinggal dan nguli di Cirebon. Instagram @wahyu_rusnanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email