Saya cukup sering ikut diskusi sekaligus ngopi bersama bapak-bapak masyarakat bawah di desa. Terlebih ketika pemilihan legislatif maupun eksekutif sudah dekat. Ada dinamika tersendiri yang terbangun di tengah-tengah ruang dikusi tersebut. Diskusi itu begitu intens dan tak mengenal teoritis, tetapi berangkat dari realitas yang ditangkap secara langsung.
Saya merasa perkumpulan tersebut seolah-olah mengindikasikan semangat revolusi yang telah lama dicita-citakan. Ya, sebuah revolusi yang berangkat dari harapan-harapan masyarakat bawah yang kerap kali tak didengar.
Mereka kadang pesimistis atas harapannya sendiri. Meminjam pemikiran Arthur Schopenhauer soal pesimisme, sikap tersebut hadir ketika keinginan atau harapan berbanding terbalik dengan kenyataan yang dikehendaki. Bagi Schopenhauer, kita senantiasa didorong oleh kemauan, dan kemauan sendiri adalah sumber penderitaan, sebab kita tidak dapat dan tak kuasa mewujudkan kemauan itu di saat yang sama. Namun, apakah penderitaan itu menyurutkan kehendak mereka atas aspirasinya? Saya rasa tidak sepenuhnya, karena berkat penderitaan-penderitaan yang dialami, kesadaran dan optimisme selalu tumbuh walau medannya cukup terjal.
Baca juga:
Di sisi lain, sikap pesimis itu timbul saat mereka beranggapan bahwa mereka hanyalah masyarakat bawah. Mereka hanyalah bagian kecil yang tak memiliki daya (tidak menguntungkan) bagi para calon yang maju, baik dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Artinya, ada fenomena politik yang jauh dari nilai kemaslahatan bersama yang dipertontonkan. Dan fenomena tersebut hampir selalu menjadi keresahan tiap pemilihan umum hampir dilaksanakan.
Bahasa dan Kekuasaan
Satu hal yang sering luput dari pandangan kita adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang berkepentingan di dunia politik. Tanpa bahasa, para calon yang maju tak akan bisa menjelaskan paradigma, konsep, atau gagasan yang akan ditawarkan ke publik. Tanpa perantara bahasa, mereka tak akan mampu menanggapi isu-isu yang berkembang, yang berpotensi dijadikan ‘wacana-wacana politik’ untuk memenangkan hati para pemilih. Namun, yang lebih genting untuk kita ketahui adalah, apakah bahasa yang dibawa oleh tiap calon benar-benar merepresentasikan keadaan sekitar dan itikadnya untuk membenahi nasib bangsa ini? Sayangnya tidak selalu demikian.
Sudah banyak isu yang dipoles melalui beragam cara. Salah satunya bahasa “menjamin kesejahteraan rakyat”, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, dan sosial dengan seabrek janji program yang dianggap mujarab mengentaskan persoalan bangsa ini. Sayangnya, isu yang terbit dari kehidupan rakyat bawah belum betul-betul menjadi isu strategis dalam visi-misi para tiap calon. Semuanya manis di awal dan pahit di akhir.
Saya teringat Pierre Bourdieu, sosiolog sekaligus filsuf Perancis. Ia pernah mengatakan bahwa bahasa yang hadir di sekitar kita jangan melulu dipahami sebagai sarana berkomunikasi antarindividu. Menurutnya, bahasa juga menjadi medium kekuasaan, sebab lewat bahasalah para individu mengatur, mengejar kepentingan, dan memperagakan kompetensi praktis mereka.
Lewat pernyataan Bourdieu di atas, kiranya dapat artikan bahwa bahasa yang diproduksi oleh orang-orang yang maju di dunia politik bisa jadi hanyalah permainan untuk meraup keuntungan pribadi dan golongan semata, seakan-akan isu yang muncul di tengah kehidupan rakyat kecil tak lebih sekadar ‘arena politik’ demi mendongkrak elektabilitas calon. Barangkali karena itulah harapan dan isu dari masyarakat bawah kerap terpinggirkan. Sangat mengkhawatirkan!
Lumrahnya, bahasa itu berwajah wacana-wacana, isu-isu, dan janji-janji, yang kemudian bertebaran di media sosial dan baliho-baliho di pinggir jalan. Di mana pun terdapat wacana, isu, dan janji, maka di situlah rupa-rupa bahasa akan terbit berdasarkan kehendak individu yang berkepentingan. Dan tugas kita adalah mengawal dan mengkritisi itu semua berlandaskan pada nilai-nilai kearifan dan kebermanfaatan untuk keberlangsungan kehidupan bangsa ini ke depan.
Baca juga:
Alarm Panjang
Walaupun sudah begitu banyak keluhan yang muncul, terutama dari masyarakat kecil sendiri, sampai hari ini harapan dan aspirasi mereka jarang disentuh atau didengar. Lantas apa jadinya jika mereka sudah ditetapkan sebagai calon terpilih tetapi kinerjanya masih tak memuaskan. Artinya, bisa jadi ada sesuatu yang tertinggal atau dilewatkan oleh para calon. Jika pola permasalahan yang sama terus terjadi, berarti bisa dipastikan bahwa perpolitikan bangsa ini jalan di tempat.
Seharusnya persoalan-persoalan semacam itu wajib menjadi agenda utama bagi orang-orang yang akan maju di pemilihan umum. Mereka mesti memiliki rasa tanggung jawab disertai tekad kuat untuk lebih proaktif memperbaiki atau memperbarui budaya-budaya politik yang sudah kusut. Untuk menuju budaya-budaya politik yang lebih baik, problem yang lama harus diselesaikan terlebih dahulu. Agar demokrasi ini tak melulu diwarnai nuansa politik yang mengundang kejenuhan, diperlukan usaha-usaha menghidupkan demokrasi sesuai fitrahnya.
Lantas kemudian, bagaimana cara yang bisa ditempuh untuk mendengar aspirasi masyarakat bawah serta memperbaiki budaya politik sekaligus demokrasi? Salah satu jalan keluarnya adalah kampanye. Namun perlu digarisbawahi, kampanye seperti apa yang dinggap layak menjembatani capres dengan masyarakat bawah ini? Tentunya kampanye yang implikatif bagi masyarakat. Kampanye implikatif, bisa kita pahami sebagai usaha mereformasi kampanye-kampanye dari yang sebelumnya, kampanye yang lebih menekankan dampak untuk masyarakat tanpa terlalu banyak huru-hara. Caranya adalah dengan lebih mendekatkan diri kepada masyarakat dan memantau secara langsung kondisi-kondisi sekitar daripada sekadar mengadakan acara besar yang dihadiri ribuan orang, yang ujung-ujungnya hanya diisi bagi-bagi kaos pasangan calon, kuis-kuisan, nyanyi-nyanyian bersama, lalu menebar janji yang belum tentu ditepati,
Saya yakin bahwa harapan masyarakat bawah adalah kenyataan yang telah mereka hadapi dalam hidup sehari-hari. Tidak sarat akan formalitas, pengakuan, dan unsur politik praktis. Harapan-harapan itu hadir dan mengalir tanpa dibuat-buat. Tetapi lagi-lagi, mengapa aspirasi harapan dari kami kerap terpinggirkan begitu saja?
Editor: Prihandini N