Penggemar kretek, pemuja sepak bola indah.

Laut di Benakku

Faisal Akbar

5 min read

Sedari kecil, aku sangat ingin melihat laut. Aku ingin memandangi laut yang di atasnya mengambang perahu dengan layar yang terkembang. Laut di benakku adalah sebuah potret matahari yang perlahan tertelan, menyisakan sepenggal tubuhnya yang mengapung di antara cipratan ombak kala sore mendarat ke bumi. Setidaknya, itulah laut yang hendak kunikmati sendiri saat semua orang sibuk dengan tindak tanduknya masing-masing.

Namun sayangnya, entah nasib atau apa pun sebutannya, hingga umurku yang telah menginjak empat belas tahun, aku belum sekali pun menyaksikan laut sebagaimana yang biasa ditampilkan di teve atau dituturkan di radio butut kepunyaan Yah Bang. Kampung ini, yang sudah kutinggali sejak lahir, terletak jauh dari laut. Aku kadang merasa iri dengan orang-orang pesisir ketika mereka mengisahkan soal laut yang hanya berjarak sekian depa dari beranda rumah.

Dan, seperti yang dikatakan orang bijak, apalah arti seribu cerita dibanding sebuah perjalanan? Aku mengamininya. Oleh sebab itu, aku sering kali menanti hamparan laut di jendela kamar mungilku. Renungku, mungkin saja laut berkenan menghampiriku tatkala petang menjenguk, di saat kawanan burung camar beterbangan di angkasa. Aku kerap berandai-andai, apakah nyawaku masih bergulir sampai aku akhirnya berhasil menatap laut kelak?

Perihal laut ini, aku suka sekali menanyakannya pada Ma Ri. Aku tahu, Ma Ri adalah satu-satunya orang yang paling pandai berkisah tentang apa pun, termasuk hal-hal yang bahkan urung dialaminya secara langsung. Ya, Ma Ri juga belum pernah melihat laut. Tiada bedanya denganku. Kami sama-sama tak punya secuil pun impresi mengenai laut. Ma Ri dilahirkan, bersekolah, menikah, dan bekerja di kampung ini. Kakinya tak pernah sejengkal pun menapaki tanah asing. Kendatipun begitu, ia tetap saja mendongengkan laut kepadaku.

Waktu itu aku berusia enam tahun, kian dekat dengan jenjang pendidikan sekolah dasar. Demi melatih keterampilanku dalam baca-tulis, Ma Ri memutuskan untuk membacakan dongeng setiap sebelum tidur. Dalam ceritanya, Ma Ri selalu menegaskan bahwa suatu hari nanti aku akan menyaksikan laut yang sama sekali lain dari yang ada di benakku: tak ada sampan dengan nelayan di geladaknya, tak ada ikan yang melompat ke sana ke mari, bahkan tak ada tumpahan cahaya senja yang membanjiri permukaannya.

Ma Ri memberi tahu bahwa ketika aku beranjak dewasa kelak, aku akan mengamati laut yang sangat ganjil, terpaut jutaan tahun dari seluruh penampakan yang pernah aku jumpai di layar tancap. Saban kali mulut ini bersikeras bahwa aku pasti akan melihat laut biru yang berayun dari tepian pantai, tiap itu pula Ma Ri menyangkalnya lalu membuang muka ke langit-langit rumah, di mana ada sepotong lubang yang menganga lebar.

“Nak, coba tengok lubang itu.”

“Ya.”

“Percayalah, ketika kamu sudah matang nanti, laut yang kamu dambakan tak ubahnya seperti lubang itu.”

“Maksudnya, Ma?”

“Kelak, kamu akan mengerti bahwa laut yang ada di benakmu itu hanyalah berupa lubang yang mampu mengisap segala yang ada di depannya,” terang Ma Ri, “contohnya, seperti mata kita ini yang dari tadi tenggelam menatap lubang itu.”

Jujur saja, aku belum bisa memahami hakikat di balik ucapan Ma Ri tersebut. Bagiku, laut dan lubang mempunyai jurang pemisah yang sangat terjal, walaupun di sisi lain aku sedikit menyadari bahwa laut merupakan satu lubang raksasa yang dilingkupi miliaran galon air.

“Ya. Tapi aku tetap ingin memburu dan melihat laut yang ada di benakku.”

“Kenapa kamu begitu yakin?” Ma Ri tampak kelimpungan.

“Ma, ketika impian sudah bersemayam di dalam jiwa, apa lagi yang bisa meruntuhkan keyakinan seorang manusia?”

“Impian?”

Jeda sejenak. Ada pengumuman orang wafat dari pengeras suara surau.

“Nak, ketika sudah sempurna akal, kita semua akan melihat laut setidaknya satu kali seumur hidup,” suara Ma Ri kini bergetar hebat, “dan ketika momen itu tiba, cepat atau lambat, cobalah untuk menikmatinya, ya?”

“Tenang saja, Ma. Tanpa disuruh sekalipun, aku pasti akan menikmatinya. Aku janji.”

***

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Hanya ada rembulan yang bertengger di awang-awang. Aku melirik bus besar yang memuntahkanku menggelinding dengan iramanya yang sendu. Dan di sinilah aku, termenung dan terdampar sendirian di antara pancaran sinar lampu yang berkelip di sepanjang trotoar dengan hanya bermodalkan satu kemeja, tiga kaus pendek, serta satu celana jin yang tertumpuk ala kadarnya di dalam ransel cokelat pemberian Yah Bang.

Hari silih berganti. Aku belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Ijazahku itu, yang mulai lusuh karena terlalu sering kulipat, rupanya masih enggan membantu penghidupan. Lambat laun aku dilanda kebingungan. Sudah tiga indekos yang kusewa. Dua kali diusir. Uangku menipis. Paling tidak, dari sini aku mempelajari satu hal penting bahwa tak ada yang gratis di daratan ini, bahkan melamun pun tak bisa dilakukan secara cuma-cuma, mesti dibeli dengan alat tukar berupa waktu.

Aku meneruskan langkah. Di hari keempat, aku menemukan sebuah masjid yang berlokasi di sebuah simpangan. Suasananya cenderung sunyi. Di salah satu dindingnya yang bernuansa kuning gading itu, tertera tulisan kecil bahwa siapa pun boleh menginap asalkan meminta izin ke pihak pengurus terlebih dahulu. Alamat baik, bisikku dalam hati. Lantas aku bergegas mengetuk pintu yang berada samping masjid seraya mengucap salam.

Wa alaikumussalam,” jawab seseorang dari balik pintu.

“Maaf mengganggu, Pak. Begini, saya mohon izin untuk tidur di sini malam ini, apakah boleh?”

Orang itu, yang merupakan marbut masjid tersebut, dengan lembut mengawasi perawakanku. Ia menyimpan kata-katanya untuk sekian tempo setelah melihat pakaianku yang serbakusam.

“Ya, ya, silakan. Kalau boleh tahu, asalnya dari mana?”

“Rantau, Pak.”

“Masyaallah…. Mari kita ke serambi utama,” lanjutnya, “oalah sampai lupa, saya bikinkan teh hangat, mau?”

Sebelum aku sempat menolak, ia lekas-lekas menarik lenganku menuju serambi yang dimaksud. Selang beberapa menit, tersedia dua cangkir teh hangat di hadapan kami. Ia mengaduknya dengan gesit. Dari tabiatnya itu, ia terkesan sangat bersemangat menerimaku sebagai tamu.

“Tamu Allah itu tamu saya juga,” mulutnya mulai komat-kamit, “di sini semuanya sangat terbuka. Tidak terhitung sudah berapa orang yang sempat bermalam di serambi ini.”

“Apa tidak ada kejadian yang kurang mengenakkan?” aku mencoba mengakrabkan diri, “dari sejumlah masjid yang saya kunjungi, gerbang masjid umumnya akan dikunci ketika malam tiba.”

“Yah, bila ada yang kecolongan, misalnya, biarlah Tuhan yang membalas. Pihak masjid hanya ingin memfasilitasi perjalanan umat. Ingat, makhluk itu harus terus bergerak. Karena bukankah Islam sendiri adalah sebuah kata kerja?” jelasnya sambil terkekeh-kekeh.

Aku menebarkan senyum, kemudian menyeruput teh yang sedari tadi kugenggam erat. Entah apa yang terjadi, tapi rasa-rasanya, kami seperti sepasang sahabat tua yang sedang larut dalam obrolan masa silam.

“Begini, Pak. Kira-kira pekerjaan apa yang bisa saya lakukan di kota ini?” ujarku memberanikan diri, “saya hilang akal. Sudah empat hari saya luntang-lantung.”

Marbut itu tak serta-merta menanggapi. Ia justru mengisap kreteknya dalam-dalam lalu menyesap tehnya sampai tuntas. Sejurus kemudian, marbut itu menepuk pundakku, bersusah payah untuk menghibur. Tergambar di parasnya yang teduh itu bahwa ia tengah memilah beragam solusi di kepalanya.

“Ah, aku punya payung,” katanya, “terus terang, ini adalah payung yang sangat bagus! Nah, kamu lihat gerimis itu? Sekarang sedang musim hujan, dan hujan juga berarti keberkahan, kan?”

Aku hanya bisa melayangkan pandang ke arah rerumputan yang dibasahi guyuran air hujan. Seiring dengan itu, bisa kucium petrikor yang membubung di sekitar pelataran masjid, diembus semilir angin yang berarak.

“Kalau kamu mau, gunakanlah payungku itu. Untuk sementara, kamu bisa menjadi ojek payung. Ide cemerlang, bukan? Kerja dari satu gedung ke gedung yang lain.”

Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru menyambut gagasan marbut murah hati itu. Dan untuk kesekian kalinya, laut di benakku kembali berpendaran. Jiwaku seketika berbinar-binar. Khayalanku berkeliaran ke segala penjuru, menerobos tembok-tembok tinggi yang selama ini mengadang.

O, betapa aku sangat mencintai air yang menyelubungi laut! Aku dapat mengangankan hari-hariku di bawah naungan hujan. Untuk saat ini, aku sudah bisa menangkap potret laut di benakku yang terlahir kembali sebagai hujan. Sebab, bukankah air hujan berasal dari laut itu sendiri?

“Wahai laut, bersabarlah, aku segera datang.”

***

Bangku panjang ini bersarang di bawah pohon angsana yang rindang. Ini adalah tempatku melipir kala sore menerkam langit kota, dan di sini pula aku senantiasa bersila sambil bertopang dagu selagi puluhan klakson saling bersahutan. Dua musim hujan sudah terlewati, tapi aku tak kunjung bersua dengan laut yang ada di benakku.

Aku pelan-pelan melupakannya. Atau lebih tepatnya, mengabaikannya. Aku frustrasi. Dan, percaya atau tidak, aku bisa memerhatikan pohon angsana keparat itu mentertawakanku dengan puasnya.

Di kota sialan ini aku betul-betul melihat laut yang berbeda, persis sebagaimana yang diungkapkan Ma Ri. Aku tak setitik pun menduga bahwa aroma asin yang kuhirup bukan bersumber dari laut yang ada di benakku, melainkan dari keringatku dan para tukang gali yang sedang menggarap saluran air. Perkataan Ma Ri juga benar, burung-burung camar yang kuandaikan berjuntai di atas keningku itu hanya berupa kabel-kabel kusut dan papan reklame belaka.

Aku baru tersadar bahwa laut yang kutemui ini tak lebih dari sekumpulan manusia yang hanyut terkatung-katung tanpa awal maupun akhir: di dalam kereta dan bus kota saat senja menembus cakrawala, di pusat perbelanjaan ketika awal bulan singgah, di loket-loket rumah sakit, di pameran bursa kerja, di antrean sembako, hingga di gubuk-gubuk kumuh yang tergeletak di pinggiran rel.

Lebih dari itu semua, aku kini dapat melihat samudra yang menggenang di pelupuk mata, menghasilkan ombak yang berdebur kemudian jatuh mengalir ke pipi. Aku bisa merasakan amukan laut yang membasuh sudut bibirku dengan derasnya. Lautan luas itu akhirnya dapat kutatap secara gamblang tanpa halangan, meski aku sadar, itu bukanlah laut seperti yang ada di benakku selama ini.

Dan, sebagaimana janjiku pada Ma Ri, aku akan mencoba menikmatinya.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Faisal Akbar
Faisal Akbar Penggemar kretek, pemuja sepak bola indah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email