Ketika tiba waktunya, Oey Djien akhirnya datang menjemputku dengan mobil kijang tua peninggalan orang tuanya. Seperti kuda yang kehabisan napas, En menaiki besi tua itu menapaki jalan curam, melintasi rute sulit di beberapa kabupaten hingga tiba di pelosok Sulawesi Tengah seorang diri. Dia terlihat necis dan tampan dengan kacamata hitam saat turun dari mobil meskipun usianya sudah lima puluh tahun lewat sedikit. Baju polo merahnya terlihat menyala di kulitnya yang putih. Dia peluk aku di teras rumah setelah cukup lama tak jumpa.
“Rambutmu sudah mirip kapas. Tak ada warna hitam lagi. Tapi parasmu tak berubah.” Ujarku.
“Ahhh Jangan terlalu lama berdiri, ayo bersiap. Bisa saja orang di sini curiga karena aku orang asing. Mana ranselmu?” Balasnya.
“Aku sudah siap sejak tadi. Tapi kamu tak mau istirahat dulu barang sejenak.”
“Ahhh kau ini. Tak usahlah nanti ada warga yang bertanya-tanya. Nanti saja di jalan.”
Segera aku berpamitan dengan tetanggaku Nenek Aji di samping rumah dan menitip salam untuk semuanya. Sebagian besar penduduk desa telah turun ke sawah sejak pagi. Kubopong tas ransel ke belakang mobil buatan jepang itu. “Nyalakan mobilmu En. Kunci rumah juga sudah kutitip di Nenek Aji.”
Kami berdua singgah sejenak di sebuah rumah tua milik Paman Moa yang terletak di ujung desa berbatasan dengan jalan poros provinsi. Aku mendatangi lelaki tua yang sedang duduk di teras rumah. Paman Moa hidup sebatang kara dengan seorang anaknya yang pagi itu juga berangkat ke sawah.
“Paman, Aku pamit berangkat ke kampung halaman. Cukup banyak bantuan Paman selama aku tinggal di sini bertahun-tahun.” Kupeluk tubuhnya yang kurus sekering ranting.
“Kamu jangan lupa memberi kabar, pegang teguh moral kuminis dan kembali ke sini bila ada waktu, Nak.” Ujarnya haru sambil memalingkan tatapannya mengawasi seekor sapi mengais rumput.
Kutatap gerbang desa di balik spion untuk terakhir kalinya. Asap knalpot kijang mengepul seperti awan hitam di atas aspal menuju jalan pulang ke arah Selatan Sulawesi.
Sudah berpuluh tahun aku tak pulang ke Makassar. Semenjak teror putih itu aku berpindah-pindah tempat tinggal. Organisasi partai di kampusku hancur terseret gelombang pengganyangan. Naluriku untuk bertahan hidup begitu kuat seperti tanaman liar yang tumbuh di sela tembok. Aku pernah jadi gembel di Karebosi, pindah dari rumah ke rumah, lalu terakhir aku sempat numpang di rumah En di dekat pelabuhan selama sebulan pada pertengahan tahun 1966. Aku dan En merasa was-was jika saja tentara dan milisi datang memergoki kami sewaktu-waktu.
Keluarga En dan penduduk sekitar pelabuhan juga tak luput dari kejaran tentara karena sebagian besar mereka adalah kader dan simpatisan partai dari kalangan Tionghoa. Mereka pergi jauh bersembunyi di seluruh penjuru mata angin. Hanya En seorang yang memutuskan bertahan.
Informasi dari Iskandar, kawan kami bintara muda yang mengidolakan Soekarno mengabarkan bahwa aku dan En adalah dua orang yang paling dicari oleh atasannya. Kami berdua kader muda partai yang selamat dan memimpin organisasi mahasiswa sayap partai saat itu. Tahun 1967 partai memutuskan mengambil jalan bawah tanah meskipun telah berantakan ditinggal sebagian besar pimpinan teras yang dieksekusi tentara dan milisi. Kami masih memegang keyakinan perlunya membangun kembali partai yang porak-poranda dengan menjunjung tinggi tripanji partai ala Mao Tse Tung tapi militer untuk kesekian kalinya menghancurkan partai di Blitar Selatan sehingga memupuskan harapan kami.
Sewaktu mendengar kabar dari Jawa, aku dan En yang berada di Sulawesi bergerak bersama dengan kawan-kawan yang masih setia terhadap partai. Kami menjalin kontak dengan yang lain secara sembunyi-sembunyi dan berangkat ke Sulawesi Tengah membangun barisan gerilyawan dari sana. Singkat cerita, Hanya dua informan kami yang selamat dari kejaran kaum kontra revolusi di kota ialah En dan Iskandar.
Iskandar adalah kawan seperjuanganku dari LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi) yang diintegrasikan ke tentara AD pada awal tahun lima puluhan. Aku dari laskar berbeda dan tidak berminat bergabung secara resmi di tubuh tentara regular. Keakrabanku terbentuk secara ideologis semenjak sering berjumpa di rumah Ah Kong di Djampea. Ah Kong adalah paman En dan kami bertemu juga secara intens dengan En di sana. Aku, En, dan Iskandar lalu mempelajari filsafat marxisme dan sejarah pergerakan Indonesia era Kolonial Belanda di bawah bimbingan Ah Kong. Aku dan En dulu seringkali diajak Iskandar ke rumahnya bekas tangsi KNIL Belanda tak jauh dari Stadion Mattoanging.
Suatu hari tahun 1962 ketika Soekarno berkunjung ke stadion untuk berpidato kami bertiga berada di tepi jalan berusaha menembus kerumunan massa untuk melihat presiden Indonesia itu, tapi usaha kami gagal akibat ledakan granat yang menewaskan beberapa pengawal presiden dan puluhan orang yang berada dekat iring-iringan konvoi.
Waktu itu Iskandar melompat dan membuka tubuhnya demi melindungi aku dan En dan merelakan punggungya tergores pecahan kaca ketika granat di lempar orang di sebrangku.
“Kamu tak apa-apa?” Tanyaku gemetar menyaksikan genangan darah di mana-mana.
Iskandar pucat pasi dan melihat bajunya basah oleh darah, “Ini pasti teror Kontrev dari gerombolan DI/TII. Kalian tidak usah takut. Kalian berdua tidak akan mati mendahuluiku.” Jawabnya tanpa rasa takut.
Aku dan En membopong Iskandar ke rumahnya yang berjarak tak jauh dari lokasi kejadian lalu diobati oleh kawannya sesama tentara.
Itu adalah kenangan paling jauh kami tentang Iskandar. Kabar terakhir yang kudengar tentangnya adalah desas-desus yang mengatakan jika Iskandar dijebloskan ke RTM Rajawali dengan beberapa tentara yang lain akibat teror putih yang melanda seluruh Sulawesi Selatan pada masa itu.
Kami menghabiskan waktu sehari di jalan menuju pulang kembali ke kampungku. Kami tiba di Makassar siang hari dan membawa mobil berputar-putar mengelilingi kota Makassar yang telah berubah sejak aku meninggalkannya tiga puluh tahun lalu. Kami mengakhiri perjalanan dengan mengaso di Karebosi. Angin berembus sepoi-sepoi menerbangkan daun-daun kering dan membawa kesejukan di sekitarnya. Aku turun dari mobil dan menggali kembali kepingan memori yang cukup lama terkubur di tanah ini. Beberapa kali partai mengadakan pertemuan akbar di tanah lapang ini dan seluruh lapisan organisasi buruh, mahasiswa, tani, budaya, nelayan dan kaum kere hadir bersuka cita menunggu pidato dari petinggi partai.
“Bukankah kita bertiga dulu sering bermain bola di sini juga bersama Iskandar. Selain itu Iskandar sering belajar berpidato ala Soekarno dan menjiwainya sepenuh hati. Kamu tentu masih ingat banyak hal Bung?” Tanya En bersemangat.
Aku terdiam cukup lama seperti patung raksasa pemain bola di sisi utara. “Ya, dan kita duduk di atas rumput menyaksikannya. Dan seingatku, kau juga pernah mengajariku naik sepeda onthel di tempat ini En.”
En mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya, membagi sebatang denganku dan bertanya apa yang akan kulakukan setelah ini. Aku menanyakan hal yang sama kepadanya.
“Melanjutkan hidup,” kata En sambil mengembuskan asap ke udara. “Mau bagaimana lagi? Aku punya anak-istri yang harus dikasih makan. Bagaimana denganmu?”
“Aku belum tahu,” kataku. “Tapi yang utama adalah aku sudah kembali. Itu yang penting. Seperti kamu, aku juga akan melanjutkan hidup. Pertama-tama dengan mencari kembali keluargaku. Mereka pasti berpikir aku sudah mati.”
“Apa kamu yakin masih ada keluargamu yang tersisa di kota ini?”
“Tidak tahu,” kataku. “Tapi aku yakin mereka masih hidup.”
“Seberapa yakin kamu tentang itu?”
“Seperti keyakinanku bahwa Iskandar masih ada dan berkeliaran di kota ini,” aku berpaling ke En untuk melihat reaksinya. Ia memberikan tatapan tak percaya kepadaku, lalu membuang muka untuk mengisap rokoknya panjang-panjang. En menggeleng-geleng tak percaya.
“Kalau kita berdua masih diberkahi kehidupan sampai sekarang, mengapa tidak nasib yang sama terjadi dengan Iskandar?” kataku. “Semua kemungkinan masih bisa terjadi.”
“Itu berbeda,” kata En tanpa melihatku.
“Berbeda apanya?” Tanyaku memburu.
“Iskandar sudah melihat takdirnya sedari mula,” kata En. “Kau ingat apa yang dibilangnya waktu itu? Dia akan mati mendahului kita. Memangnya alasan Iskandar tak mau pergi dari kota ini karena apa? Dia sudah tidak melihat jalan lain. Sementara kita berdua harus lari karena melihat peluang untuk hidup. Kita berdua takut mati. Kita akan menjalani masa tua kita dengan mengingat-ingat Iskandar.”
En ada benarnya meski aku masih tak ingin memercayai hal itu. Aku mengisap rokokku yang kini terasa pahit. Kami berdua terus duduk di sana, mengenang, menceritakan ulang, dan membayangkan hal apa yang menanti kami di masa depan sampai matahari sore pertama yang kulihat setelah kembali ke sini tenggelam di balik puncak gedung-gedung kota kami.
*****
Editor: Moch Aldy MA