Pedagang Martabak dari Mars

Mengedepankan Asesmen Berbasis Viva Voce

Alfian Bahri

3 min read

Dosa terbesar pendidikan Indonesia yang jarang dibahas adalah proses asesmen. Entah itu asesmen sumatif atau formatif, keduanya menjadi ladang kesalahan utama. Para pelaku pendidikan sebenarnya mengetahui, tapi tetap saja menutupi dan terus melakukannya.

Saat musim pembagian rapot tiba, “perintah bayangan” mengenai besaran nilai yang harus ditulis sudah berseliweran. Alasan yang ditempelkan biasanya untuk membantu murid. Perilaku ini semakin mengkhawatirkan seiring aturan semua siswa wajib naik kelas.

Asesmen yang seharusnya difungsikan sebagai koreksi dan refleksi, berubah menjadi ajang pencitraan. Hal ini justru telah dilumrahkan sebagai konsekuensi kebobrokan sistem. Baik siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, mahasiswa, dosen, orang tua, dan masyarakat berusaha tutup mata, alias tahu sama tahu.

Sebelum ujian nasional (UN) dihapus, berapa banyak sekolah yang terlibat dalam perjokian dan pembocoran soal? Dalam setiap sidang skripsi, berapa banyak dosen dan kampus yang pura-pura tidak melihat plagiarisme skripsi mahasiswanya? Semuanya tahu, tapi tetap saja melakukannya.

Baca juga:

Pendidikan Indonesia agaknya belum siap menerima fakta tersebut. Dari sanalah kejahatan asesmen dimulai. Tentu kalau diungkap menyeluruh dan tegas, permasalahan ini akan membuka kotak pandora pendidikan. Bagaimana nanti akan diketahui betapa banyaknya siswa atau mahasiswa yang dibuat lulus, dapat ijazah, dan nilainya memuaskan. Padahal secara praktik dan fakta hasil pembelajaran, semua variabel yang diperoleh tidak cukup menjelaskannya.

Asesmen Berbasis Dialog Lebih Relevan Saat Ini

Tidak ada jaminan model ujian apa yang membuat siswa benar-benar terevaluasi. Baik ujian lisan maupun ujian tulis, keduanya berpotensi disisipi kecurangan dari dalam maupun luar. Bila memang tidak bisa dihindari, sebaiknya orientasi pembicaraan perlu digeser pada model mana yang bisa meminimalisi kecurangan itu, yakni tes tulis atau tes lisan.

Stephen Dobson, Professor and Dean of Education and the Arts Central Queensland University Australia, dalam studinya menemukan kecurangan dalam ujian lebih bisa ditekan melalui ujian berbasis lisan (viva voce). Tidak ada murid yang meniru pekerjaan temannya, menyembunyikan kertas berisi jawaban dalam baju mereka, atau menulis contekan di lengan. Semua tersajikan dalam wujud pikirannya yang autentik. Hasil studi tersebut juga diafirmasi oleh temuan rekan lainnya di universitas.

Dobson juga menjelaskan temuannya dalam bukunya, Assessing the Viva in Higher Education (2018), salah satu contoh negara yang berhasil menerapkan tes lisan pada pendidikannya adalah Norwegia. Negara berjuluk Land of Midnight Sun itu masih menggunakan viva dalam program-program pascasarjana. Hingga beberapa waktu lalu, ujian lisan juga mereka gunakan dalam pendidikan sarjana dan menengah. Setidaknya dilakukan satu ujian lisan dalam satu mata pelajaran secara acak. 

Lebih lanjut, Dobson memandang bahwa viva adalah bentuk asesmen yang kaya. Proses ini mempertimbangkan kualitas konten dan kemampuan menjawab dari para murid. Ujian lisan juga menawarkan kesempatan bagi murid untuk menjelaskan dan mengklarifikasi apa yang sebelumnya sudah mereka kumpulkan. Hal ini tidak memungkinkan dalam suatu asesmen yang murni tertulis.

Melihat hal itu, reorientasi asesmen dalam pendidikan Indonesia bisa coba digulirkan. Ujian lisan perlu coba diintensifkan sebelum dijadikan basis utama asesmen. Tujuan utama perubahan ini tentunya untuk sebatas meminimalisasi kecurangan. Hadirnya ChatGPT dan chatbot lainnya bisa dijadikan momentum. Perkembangan teknolgi artificial intelegence yang kian cepat membuat semuanya menjadi relevan untuk dijalankan.

Strategi ini pada akhirnya akan membawa ke pengalaman autentik murid dalam ujian dan belajar, yakni saling menjawab dan bertanya dalam waktu nyata (realtime). Konsep resiprokal ini tentunya tidak memberi ruang jeda dan penundaan. Tidak seberapa penting seberapa jauh akurat dan benar jawabannya. Tujuan utamanya harus difokuskan pada orisinalitas jawaban. Seberapa jauh murid memahami pikirannya?

Selain itu, bagi murid pengalaman ujian lisan akan membawanya kepada kebiasaan berani bersuara, berani berpendapat, dan berani menjawab. Pada akhirnya, kebiasaan tersebut juga sejalan dengan orientasi pertumbuhan sikap dan nalar kritis dalam pendidikan karakter masyarakat digital.

Tantangan Asesmen

Baik ujian lisan maupun ujian tulis memunyai tantangan dalam implementasinya. Ujian tulis memang diakui lebih efisien. Namun perlu dipahami juga bahwa tantangan terberatnya sebenarnya bukan pada soal atribut ujian, melainkan tentang sikap terhadap hasil ujian itu sendiri. 

Poin refleksi selama ini jarang dikedepankan. Hasil tes selalu disikapi dengan upaya pencitraan hasil. Keberanian mengatakan kebenaran atas hasil lebih sering tumpul. Padahal itu yang utama dan diperlukan dalam konsep asesmen.

Hasil belajar wajib dibuka apa adanya. Akan sangat percuma bila pada akhirnya hasil akhir selalu ditampilkan dalam perekayasaan. Sebab, asesmen pada akhirnya wajib menjadi koreksi, evaluasi, dan refleksi yang murni, baik bagi murid ataupun guru.

Baca juga:

Budaya asesmen yang berorientasi citra harus diminimalisasi. Sekolah swasta ketakutan tidak dapat murid kalau sampai ketahuan banyak siswanya tidak lulus. Sekolah negeri juga ketakutan ditegur pemerintah kalau sampai ketahuan kurang bisa bersaing. Dari kecemasan itulah tujuan asesmen menjadi belok arah. Jual beli soal masih saja langgeng. Tutup menutupi hasil sudah dilumrahkan. Kegiatan supervisi berakhir di bawah meja dan amplop-amplop. Itulah tantangan utamanya.

Pendidikan Bukanlah Dewa

Sekolah dalam hal ini harus memahami bahwa pendidikan bukanlah tentang kesempurnaan dan keberhasilan. Pendidikan adalah hanya sebatas upaya mencapai itu. Dan yang paling penting, pendidikan adalah tentang diri manusia itu sendiri, di mana ada kurangnya, ada cacatnya, ada buruknya, ada kesalahannya, dan ada ketidakcukupan lainnya.

Seluruh elemen baik sekolah, orangtua, pemerintah, dan masyarakat wajib meletakkan dasar konsep ketidaksempuranaan diri manusia. Bila pendidikan gagal dipahami pada level tersebut, niscaya pencitraan akan terus langgeng. Dan itu buruk bagi pendidikan itu sendiri, sebab pendidikan terjebak pada tubuh dan wajah palsunya.

Itu sebabnya, saya tidak ragu mengatakan bahwa pemalsuan hasil asesmen adalah dosa terbesar pendidikan Indonesia. Dari sanalah pangkal segala upaya perubahan menjadi sia-sia. Mau sampai kapan kita ingin dilihat baik? Bukankah berjalan dengan keadaan apa adanya merupakan sebaik-baiknya pelajaran?

 

Editor: Prihandini N

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email