Kronologi Hidup (-ku)
Sepekan yang lalu
Dua pasang bola mata menganga
Dari balik jendela
Kemudian termangu
Mendengar warta yang telah terbit
Pada surat kabar dini hari
Berisi potret pusara
Yang acap kali
Sesak oleh mumi-elegi
Sepekan berikutnya
Ditemani bola mata lain
Sepasang bola mata kembali termangu
Lalu termenung
Memikirkan mitos hidup
Yang melanglang buana
Seiring bertumbuhnya waktu
Ibarat berbisik dalam tubuh-bola-mata,
Bertutur sejawat di sisinya:
“Perlu kau tahu
Konon katanya
Dari air kembali ke air
Dari api kembali ke api
Dari udara kembali ke udara
Dan dari tanah kembali ke tanah
…
Namun jasadmu,
Dari amorfati—
Kembali ke reminisensi.”
Sayembara Kopi
Siang tadi,
Ibu memasak ubi
diaduk dengan iba
untuk perjamuan malam
kepada abi
Ubi dihidangkan bersama abu
dimakan pula oleh babi
pada pertigaan jalan sempit
menuju kota alit yang karbit
Usut punya usut
ubi ibu basi
tercampur asap industri
juga arsenik: mimpi
Ibu, abi, dan babi tetap hidup
bersama abu
Di awan-gemawan senja
dengan matahari yang jingga
kuning langsat bercampur
kemerah-merahan darah
oleh babi yang ditembak mati
tadi pagi
Tamat.
Tanah Api
Di tanah, depan teras rumah
dari celah ranting pohon
hamba muda memandang
dua umat bernegosiasi
“Permisi, adakah yang menjual tangsi?”
paman tua bertanya pada penjual sate kelinci
“Di seberang jalan nampaknya” pria paruh baya menimpali
Berjalan ke arah depan, paman tua tak mendapat tangsi
berjalan lagi ke arah samping
dan belakang,
tiga ekspedisi membuat
paman tua bersorai; tangsi didapatnya dengan bonus utopis
Tangsi bersama utopis
seperti bermetamorfosis
kemudian seperti bertaut
lalu mewujudkan oligarki
Paman tua membawa oligarki
dan merawatnya
hingga dewasa
hingga berbaur
dalam usianya yang tidak lagi tua
Sembari merapikan dada dan punggung
berkata paman tua:
“Merdekaku
adalah merdekamu
juga kening-kening di badanmu
juga sayap-sayap di kakimu
tubuhmu yang lungkrah-gundah akan selalu muda
dan hidup dalam pangkuan sebuah tirani
yang meregenerasi secara kontinu.”
Di Ujung Hayatmu, Baskaraku Tetap Terbit dari Timur
Dua-puluh-lima, tempo hari. Kabarnya, seekor ikan tengah beradu
bergulat dalam kompetisi
Ia pulang membawa royalti
juga bingkisan berisi: kepala; dua tangan; dan dua kaki
Tak lama kemudian ikan menjadi insan
Membawa trambesi di bahu, juga tahu susu di matanya yang layu
Insan mati muda
Di tangan dan punggung seorang ibu yang terkapar
akibat menanggung beban negara
Bersabda Ibu kepada insan:
“Atmaku, pada sepertiga tubuhmu
Akan tetap ada
Dari tangan dan kaki yang selalu menengadah
Jua tulang-tulang liat nan elastis
Mereka akan tumbuh bersama Mozart, Beethoven, dan Albéniz.”
Insan tertawa
lalu tidak jadi—
menjenguk mati.
Ibarat Kapal yang Berlayar Hingga ke San Diego
Di atas awak kapal yang sedang melaju
di pagi yang tak secerah sabtu-minggu
Aku masih terpaku
pada limapuluh hari lalu
Kala malam yang ranai
Kaubawa aku ke tanah-tanah melandai—
bersama visi-misi
Yang kautimbun dalam urat nadi
—yang hingga kini
> boleh jadi
menolak mati <
“Apakah arti abadi di dunia ini?” Tanyamu terhadap budak lata nan nista
Belum usai
Kautamatkan akan bingkai-bingkai
Yang terurai
Lalu lamunanku berai
“Permisi sai!
Destinasimu
Sudah sampai.”
(Gresik, 5 Januari 2022)