Kronologi Hidup (ku) dan Puisi Lainnya

Elok Fauzia

1 min read

Kronologi Hidup (-ku)

Sepekan yang lalu
Dua pasang bola mata menganga
Dari balik jendela
Kemudian termangu
Mendengar warta yang telah terbit
Pada surat kabar dini hari
Berisi potret pusara
Yang acap kali
Sesak oleh mumi-elegi

Sepekan berikutnya
Ditemani bola mata lain
Sepasang bola mata kembali termangu
Lalu termenung
Memikirkan mitos hidup
Yang melanglang buana
Seiring bertumbuhnya waktu

Ibarat berbisik dalam tubuh-bola-mata,
Bertutur sejawat di sisinya:
“Perlu kau tahu
Konon katanya
Dari air kembali ke air
Dari api kembali ke api
Dari udara kembali ke udara
Dan dari tanah kembali ke tanah

Namun jasadmu,
Dari amorfati—
Kembali ke reminisensi.”

 
Sayembara Kopi

Siang tadi,
Ibu memasak ubi
diaduk dengan iba
untuk perjamuan malam
kepada abi

Ubi dihidangkan bersama abu
dimakan pula oleh babi
pada pertigaan jalan sempit
menuju kota alit yang karbit

Usut punya usut
ubi ibu basi
tercampur asap industri
juga arsenik: mimpi

Ibu, abi, dan babi tetap hidup
bersama abu

Di awan-gemawan senja
dengan matahari yang jingga
kuning langsat bercampur
kemerah-merahan darah
oleh babi yang ditembak mati
tadi pagi

Tamat.

 

Tanah Api

Di tanah, depan teras rumah
dari celah ranting pohon
hamba muda memandang
dua umat bernegosiasi

“Permisi, adakah yang menjual tangsi?”
paman tua bertanya pada penjual sate kelinci

“Di seberang jalan nampaknya” pria paruh baya menimpali

Berjalan ke arah depan, paman tua tak mendapat tangsi
berjalan lagi ke arah samping
dan belakang,
tiga ekspedisi membuat
paman tua bersorai; tangsi didapatnya dengan bonus utopis

Tangsi bersama utopis
seperti bermetamorfosis
kemudian seperti bertaut
lalu mewujudkan oligarki

Paman tua membawa oligarki
dan merawatnya
hingga dewasa
hingga berbaur
dalam usianya yang tidak lagi tua

Sembari merapikan dada dan punggung
berkata paman tua:
“Merdekaku
adalah merdekamu
juga kening-kening di badanmu
juga sayap-sayap di kakimu
tubuhmu yang lungkrah-gundah akan selalu muda
dan hidup dalam pangkuan sebuah tirani
yang meregenerasi secara kontinu.”

 

Di Ujung Hayatmu, Baskaraku Tetap Terbit dari Timur

Dua-puluh-lima, tempo hari. Kabarnya, seekor ikan tengah beradu
bergulat dalam kompetisi
Ia pulang membawa royalti
juga bingkisan berisi: kepala; dua tangan; dan dua kaki

Tak lama kemudian ikan menjadi insan
Membawa trambesi di bahu, juga tahu susu di matanya yang layu

Insan mati muda
Di tangan dan punggung seorang ibu yang terkapar
akibat menanggung beban negara

Bersabda Ibu kepada insan:
“Atmaku, pada sepertiga tubuhmu
Akan tetap ada
Dari tangan dan kaki yang selalu menengadah
Jua tulang-tulang liat nan elastis
Mereka akan tumbuh bersama Mozart, Beethoven, dan Albéniz.”

Insan tertawa
lalu tidak jadi—
menjenguk mati.

 

Ibarat Kapal yang Berlayar Hingga ke San Diego

Di atas awak kapal yang sedang melaju
di pagi yang tak secerah sabtu-minggu
Aku masih terpaku
pada limapuluh hari lalu

Kala malam yang ranai
Kaubawa aku ke tanah-tanah melandai—
bersama visi-misi
Yang kautimbun dalam urat nadi
—yang hingga kini
> boleh jadi
menolak mati <

“Apakah arti abadi di dunia ini?” Tanyamu terhadap budak lata nan nista

Belum usai
Kautamatkan akan bingkai-bingkai
Yang terurai
Lalu lamunanku berai

“Permisi sai!
Destinasimu
Sudah sampai.”

 

(Gresik, 5 Januari 2022)

Elok Fauzia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email