Permainan Penyembuh Trauma Semeru

Apriliya Wahyu Putri

2 min read

Setiap korban bencana pasti mengalami duka dan trauma. Melalui permainan sederhana, kami mencoba memahami makna dan menyembuhkan trauma penyintas letusan Semeru. 

Awal tahun ini,  saya bersama komunitas berkesempatan untuk berinteraksi dengan para penyintas erupsi gunung Semeru di kabupaten Lumajang yang meletus Desember 2021.

Kami merancang serangkaian kegiatan bertajuk Trauma Healing: Terapi Bermain Sederhana untuk Anak-Anak Penyintas Erupsi Gunung Semeru. Penyembuhan trauma ini memanfaatkan permainan tradisional yang kami sebut Engklek Ekspresi, menulis hal-hal yang disyukuri atau yang biasa dikenal dengan gratitude journaling, dan kegiatan menggambar yang kami sebut sebagai Menggambar Ekspresif.

Selama berada di sana, saya memotret memori dan ekspresi dari setiap penyintas yang saya temui. Saya menemukan spektrum emosi di balik persona mereka yang kelihatannya baik-baik saja.

Baca juga: Menghapus Trauma Poso dari Buyu Katedo

Interaksi langsung bersama penyintas membuat saya mengingat kembali apa yang dikemukakan oleh Dr. Elisabeth Kübler Ross sebagai “Stages of Grief” atau tahap-tahap kesedihan. Tahapan tersebut meliputi denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Tahapan-tahapan itu kemudian diakhiri dengan finding meaning sebagaimana dikemukakan oleh David Kessler—founder dari grief.com dan yang juga penulis buku  On Grief and Grieving bersama Dr. Elisabeth Kübler Ross.

Saya memang tidak melihat keseluruhan dari keenam tahapan ini. Dua hari satu malam tidak akan cukup untuk memotret ‘kompleksitas’ dari proses mental. Namun, saya bisa mengatakan, kami tidak pergi tanpa meninggalkan makna dan pulang dengan tangan hampa.

Gambar Emosi

Emosi adalah entitas yang sangat abstrak bisa menjadi lebih konkret ketika kita bisa menggambarkanya. Gambar di atas adalah buah tangan dari permainan Menggambar Ekspresif. Ketika melihatnya, apa yang terlintas di benak Anda? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada saya sendiri, saya akan mengatakan gambar tersebut adalah emosi anak yang menjadi lebih konkret. Gambar ini memberikan kita visualisasi terasering serta kendaraan yang berlalu-lalang.

Hipotesis saya mengatakan ketika erupsi gunung Semeru terjadi,  sebagian besar masyarakat sedang beraktivitas. Warna merah yang digunakan untuk menggambar garis di sepanjang jalan berperan untuk menjelaskan aliran lahar yang meluber menuju ke perkampungan.

Emosi yang ada di dalam gambar tersebut adalah sebuah kemarahan atau anger, yang berhasil diekspresikan pada media kertas. Di dalam kemarahan terdapat spektrum perasaan putus asa atau ketidakberdayaan. Perasaan marah mengantarkan manusia pada proses tawar-menawar atau bargaining yang melibatkan pernyataan “jika saja”, atensi pada penyesalan tentang apa yang dilakukan atau tidak lakukan sebelumnya.

Penyintas  mungkin menawar rasa sakitnya dengan berekspresi atau melakukan sesuatu untuk tidak merasakan sakitnya kehilangan, hal tersebut membuat beberapa dari kami sempat berpikir tidak ada jejak trauma di antara para penyintas karena mereka menunjukkan persona yang ceria. Namun, jika kita berani untuk melihat lebih jauh di dalam diri mereka ada kompleks-kompleks emosi yang berkelindan dan belum terurai. Carl Jung mengatakan ‘kompleks’ adalah hunian dari sekian jejak trauma serta konflik moral yang berada di luar kesadaran kita.

Engklek Ekspresi

Ketika bermain Engklek Ekspresi, saya melihat sebagian besar anak-anak melempar gaco dengan ekspresi senang dan malu. Saya memaknai hal tersebut sebagai proses menuju penerimaan atau acceptance. Mereka belajar berekspresi sesuai dengan kondisi hatinya. Saya pun memanfaatkan momen tersebut untuk mengajukan pertanyaan yang membuat anak-anak memiliki kesempatan untuk memilih, seperti: “Mba April boleh pegang tangannya?”

Jika mereka tidak menginginkannya saya menahan diri untuk tidak melakukannya. Dengan demikian saya bisa menyadari apakah mereka merasa nyaman atau tidak. Anak-anak memberikan saya gambaran jelas akan tulusnya perasaan yang mereka tunjukkan.

Penerimaan tidak berarti baik-baik saja dengan kehilangan, juga bukan akhir dari kesedihan. Ia berarti: mengintegrasikan kehilangan ke dalam kehidupan, sehingga dapat bergerak maju bersama realitas yang baru.

Saya melihat, sebagian masyarakat sudah mulai untuk menerima kenyataan baru dalam hidup. Mereka mulai mengolah kain-kain yang tidak layak untuk membuat ecobrick (bata ramah lingkungan). Bata-bata itu akan dimanfaatkan sebagai bahan primer untuk membuat peralatan rumah tangga—seperti kursi—dan pada proses pengolahan tertentu mampu untuk membuat dinding.

Pembuatan ecobrick ini diiniasi oleh pasangan suami istri bernama Russel Maier (Kanada) dan Ani Himawati (Indonesia) dengan memanfaatkan limbah, salah satunya adalah botol plastik.

Mengutip kalimat dari David Kessler, “To me, the goal of grief work is to eventually remember the person with more love than pain”—Bagi saya, tujuan dari kesedihan adalah untuk mengingat orang dengan lebih banyak cinta daripada rasa sakit. Saya pun lagi-lagi menemukan validasi akan apa yang pernah dikatakan oleh Dr. Viktor E. Frankl, “Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia—kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri”.

Sebagaimana tahapan duka, penyintas dan kita semua diharapkan pada akhirnya dapat menemukan makna atas apa yang sudah terjadi pada hidup kita – termasuk ketika bencana alam terjadi.  Kehidupan memiliki makna dan duka adalah bagian dari kehidupan.

Apriliya Wahyu Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email