Jembatan Karel, Suatu Angan, Suatu Masa dan Puisi Lainnya

Wahid Kurniawan

1 min read

Jembatan Karel, Suatu Angan, Suatu Masa
: untuk PJ

Kita pernah hidup dalam soneta dua dentang. Patung raja meringis di bibir jembatan.

Seorang pemusik memainkan nada yang tak usai dalam sekian abad. Seorang penyair tak pernah menyelesaikan puisinya dan saban hari datang hanya untuk menunggu, sementara waktu lesap dalam udara yang menggigil, membeku. Arca enam abad melukiskan lara manusia, enam lampus gas memasok cahaya, tapi mana yang lebih kilau ketimbang sepasang mata penuh rahasia, dan masa yang disadap bersama?

Ada yang menanti untuk lekas dibaca, sedang kita berharap segalanya tak berhenti dan dentang tak lekas bergema. Tapi kita kadung menanam duri di sepanjang jembatan. Hingga penyair itu memungutnya; menggemakan dentang di baris ke-28 soneta.

Dan kita pun berjalan ke dua sisi jembatan yang berbeda.

Februari, Menghitung Waktu

malam masih membasah
februari mengenangmu
dengan lambaian
yang tak mengekalkan perpisahan

kita hanya orang yang kelelahan
katamu pada kopi yang tinggal ampas
asbak penuh puntung rokok
dan lampu yang memerah

kulepas baju bebercak aromamu
yang makin samar diluruhkan waktu
tergantung dan berangkali tertawa
atas malam yang terpaksa diselesaikan

14 hari hanyalah angka
tapi kita tetap menghitung waktu
pada tiktoknya kita mungkin tersesat
di antara kini dan masa lalu

malam belum lagi turun
tirai belum lagi disibak
dan kita barangkali yang memilih
buat berdiri di tempat masing-masing

di ruang ambang lupa dan ingat
sembari membayangkan
di hari ke-15
masih sangguhkah kita bertahan?

tapi toh waktu
hanyalah angka
cuma
angka

(Bandarlampung, Februari-April 2023)

Di Ambang Petang

Petang mengambang
dan kau menata rumah
yang berantakan
sambil mengenang tamu
yang pergi hari ini.

Kau menyenandungkan satu puisi
yang pernah kaubaca entah di mana:
“Aku begitu beruntung mengenalmu
tapi aku iri dengan lelaki kemarin
yang kaucintai dengan lebih hebat
sedang aku hanya sosok yang lewat.”

Lindapan Kenangan

Melindap kenangan
tertimpa lampu
yang dinyalakan
tangan waktu.

Lampu berpendar semarak
tapi dari mana sepi yang menyeruak?
Kenangan pun memainkan orkestra:
klakson, tawa, omelan.

Kenangan kehilangan warna
oleh hujan yang menderas
dan mengikis aspal
sejak tangis itu.

Angin menggoyang kenangan
luruh daun tawa
juga buah kebahagiaan
sedang yang tertinggal
hanya ranting penyesalan.

(Bandarlampung, Mei-November 2022)

*****
Editor: Moch Aldy MA

Wahid Kurniawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email