Kota Ini Tak Pernah Tidur, Tapi Kau Selalu Lelah dan Puisi Lainnya

Widi Iskandar Rangkuti

3 min read

Kota Ini Tak Pernah Tidur, Tapi Kau Selalu Lelah

Kita—tulang belakang yang patah di antara gedung-gedung rakus,
berjalan tanpa bayangan, sebab lampu-lampu kota menelan habis.
Neon berkedip, tapi bukan untuk menyapa—
hanya mengingatkan: malam adalah shift berikutnya.

Di trotoar panjang, mimpi menguap bersama asap knalpot,
dan kau bertanya: di mana pagi?
Pagi ada, tapi sudah digadai,
tukar guling dengan lembur dan angka-angka yang tak pernah cukup.

Hujan turun, bukan sebagai nyanyian,
tapi sebagai mata air dari langit yang kelelahan menangis.
Genangan bukan cermin,
hanya kuburan bagi langkah yang sudah tak bisa pulang.

Tangan-tangan kecil menjajakan lelah,
di lampu merah yang lebih panjang dari doa ibu.
Sementara di balik jendela-jendela tinggi,
orang-orang makan kenyang tanpa perlu mengunyah.

Kota ini menelan tanpa bekas,
mengunyah nama-nama, menghapus jejak-jejak,
yang tinggal hanya dengung mesin dan detak jam,
tanpa jeda, tanpa akhir, tanpa tidur.

Dan kau, masih di sini,
di antara gedung-gedung yang terus tumbuh ke langit,
sementara tubuhmu semakin tenggelam ke tanah,
tak pernah tidur, tapi selalu lelah.

Hidup yang Tak Bertanya

Sudah tiba waktunya, nasib tak mau bersulang dengan harap.
Langkah-langkah berjalan entah ke mana,
menyusuri jalan yang tak pernah menanyakan arah,
seakan setiap persimpangan adalah lelucon yang dibuat semesta.

Pagi menganga tanpa tanya, malam bernapas tanpa sebab.
Di sela detik yang malas menua,
ada hati yang dibiarkan menggigil,
menghitung kehilangan tanpa berani menyebut namanya.

Aku berdiri di ambang ingatan,
mencoba melupakan yang tak ingin diingat,
tapi hidup, oh hidup,
ia tak pernah benar-benar mengizinkan kita pergi.

Ia tetap mengetuk di tengah sunyi,
memastikan kita masih ada,
masih mampu menatap langit tanpa bertanya,
masih cukup berani mencintai luka yang tak memilih sembuh.

Aku pernah berlari menjauh,
menyusup ke ruang-ruang yang tak memiliki pintu,
menutup mata, menutup telinga,
berharap sunyi bisa menjadi selimut yang membungkus segala yang tak ingin kutemui.

Tapi hidup selalu punya caranya sendiri,
menyelinap masuk melalui celah luka,
membuka kembali yang telah dikubur,
menghadirkan wajah-wajah yang seharusnya sudah pudar dalam ingatan.

Ia tidak butuh izin untuk datang,
tidak peduli kau ingin menolak atau menerima,
ia hanya akan ada, tetap ada,
menyentuhmu dengan ingatan,
menghantammu dengan kenyataan.

Dan aku?
Aku hanya bisa tertawa hambar,
karena pada akhirnya,
tidak ada yang benar-benar bisa pergi,
tidak ada yang benar-benar bisa melupakan,
sebab hidup akan terus berjalan,
dengan atau tanpa kita.

Tuhan dalam Batas-Batas Logika

Pada dini hari yang belum sempurna terjaga,
aku menyusun doa seperti pecahan kaca di genggaman,
tajam, ragu-ragu, hampir berani menyakiti.
Aku mengulanginya dalam kepala,
menghafalnya seperti mantra yang lupa makna,
mencari celah di antara bait-baitnya,
barangkali ada yang bisa kuhapus,
barangkali ada yang bisa kusederhanakan,
agar Tuhan lebih cepat mengerti apa yang kumau.

Tapi kau datang, mengetuk sunyiku
dengan sorot mata yang penuh rahasia.
“Kau percaya?” tanyamu, suaramu seperti bisikan
di antara angin yang kehilangan arah.
Ada sesuatu dalam pertanyaan itu
yang membuat keheningan terasa lebih berat,
seolah aku harus memilih
antara kebodohan atau kebohongan,
antara mengaku percaya atau jujur bahwa aku pun ragu.

Lalu kau ajak aku berteduh dalam dadamu,
ruang rahasia yang tidak terjangkau doa siapa pun,
tempat kau tanggalkan iman yang kau kenakan seperti jubah,
tempat kau menelanjangi ketakutan
dan menggantungnya di langit-langit yang penuh bayang-bayang.

Aku melihat Tuhan dalam cara kau meragukan-Nya,
dalam matamu yang menyimpan kenangan tentang doa-doa
yang kau bisikkan dalam kesepian,
tapi tak pernah mendapat jawaban.
Aku melihat Tuhan dalam tanganmu yang gemetar,
di antara luka-luka yang tak kunjung sembuh,
di dalam suaramu yang bergetar saat mengucap nama-Nya,
seolah ragu apakah Tuhan masih mendengar atau sudah berpaling.

“Apakah kau bersedia?” tanyamu lagi, kali ini lebih pelan,
lebih ragu, lebih dalam.
Aku ingin berkata ya,
ingin meyakinkanmu bahwa kepercayaan tidak selalu harus bulat,
tidak harus tanpa cela,
bahwa mungkin Tuhan tidak hadir dalam keajaiban,
tapi dalam hal-hal yang terlalu kecil untuk kita sadari,
dalam embusan napas yang masih bisa kita hembuskan,
dalam pelukan yang tidak pernah meminta imbalan.

Tapi sebelum kata-kata sempat keluar dari bibirku,
kau telah lebih dulu pergi,
meninggalkanku di ambang sunyi yang tak berujung.
Aku berdiri di persimpangan antara doa dan keraguan,
dengan bibir yang masih menyimpan bekas pertanyaanmu,
dengan hati yang entah mengarah ke langit atau ke tanah.

Dan untuk pertama kalinya,
aku tidak tahu kepada siapa aku harus percaya.

Mencumbu Senyap di Tubuh Malam

Peluk saja aku dalam—
gulita yang dulu kau bisikkan
sebagai cahaya samar, yang pudar sinarnya
yang dingin nadinya
yang rapuh nadanya
yang diam rindunya
yang nyalang matanya
yang mengeja setiap rekah napas yang tenggelam
dalam kelam tak bernama
yang lupa
yang nestapa

Aku tak ingin bertanya,
apakah kau masih mengingat bayang-bayang
yang kita sisipkan pada kelopak malam
yang kau janjikan tak akan gugur sebelum fajar
atau barangkali, kau telah lupa cara mengeja sunyi
yang dulu kita cumbu dalam desir angin
yang menari di sela-sela jari kita

Aku diam,
sebab aku tahu kata-kata hanya akan berakhir sebagai puing
reruntuhan yang pernah menjulang sebagai harapan
menjuntai di dahan-dahan perpisahan
yang tak sempat kita tebang,
yang tak sempat kita daur ulang menjadi temu

Tapi peluk saja aku dalam gulita ini,
di antara bisik-bisik yang tak lagi bernyawa
di antara rindu yang telah melapuk di udara
di antara aku yang masih ada, dan kau yang entah di mana.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Widi Iskandar Rangkuti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email