Kabur Aja Dulu dan Puisi Lainnya

Abdul Turgenev

3 min read

Kabar dari Mimpi

Sudah kubaptis nyawa ini
dalam kamar yang diterangi lilin
setengah meleleh,
cahaya gemetar menari di dinding,
menyentuh bahu telanjangmu,
membentuk bayang yang jujur
dari doa-doa kita.

Kau berdiri di ambang malam,
gaun tipis menempel pada kulit basah,
napasmu mengaburkan cermin di punggungmu.

Aku melihat lehermu bergerak pelan,
denyut nadi bergetar di bawah leher,
dan di bawahnya, payudaramu,
tegang seperti doa yang belum dikabulkan,
dengan bayangan bulan jatuh di lekukannya.

“Bacalah aku, sa-yang,” tegasmu.

Jari-jariku berjalan sepanjang punggungmu,
menelusuri lekuk yang mengarah ke pinggul,
ke bukit yang naik-turun dalam ritme binal,
ke belahan di mana surga bersembunyi—
tempat embun meresap ke dalam daging,
tempat waktu berhenti untuk sejenak.

“Bacalah aku, sa-yang,” pintamu.

Lalu aku menciumi perutmu,
di mana kulit terasa seperti kain sutra
yang baru saja disetrika oleh panas tubuh,
dan bibirku bergerak lebih rendah,
ke tempat di mana engkau membuka diri,
di mana gelombang laut bertemu pasir,
di mana kesunyian mendesah
seperti angin
yang tersesat di antara bebatuan.

“Bacalah! ba-calah a-ku, sa-yang,” teriakmu.

Kakimu mengapit pinggangku,
tubuhmu terangkat sedikit,
seperti ranting pasrah dalam angin jahat.

Dan di antara helaan napas,
aku mendengar suaramu,
parau, memanggilku seperti
doa yang terlupakan,
seperti nyanyian gereja
yang dinyanyikan dengan ragu,
seperti pengakuan dosa
yang tidak ingin ditebus.

“tap-i say-ang,” bisikmu.

Saat kita tenggelam dalam
gelombang yang naik,
ketika tubuh kita menjadi satu mantra,
aku berpikir—
jika ini bukan surga,
maka ia telah jatuh terlalu dekat.

Tapi pagi akan datang,
dan kita akan kembali menjadi asing,
meninggalkan jejak yang hanya
diingat oleh sprei kusut
dan embun di jendela.

(2025)

Kabur Aja Dulu

aku bangun siang, kepala berat,
asbak penuh puntung rokok semalam.

gawai menyala, seseorang berbicara
tentang bagaimana kita harus cinta tanah air.
aku matikan gawainya.

di luar, orang-orang mengantre:
di halte, di bank, di warung makan murah.
mereka hitung receh, timbang harapan,
bertanya apa semua ini layak.
seorang bocah menjajakan tisu di lampu merah,
sebuah mobil mewah lewat begitu saja.

Kabur Aja Dulu, kata mereka.

ke tempat di mana hidup lebih masuk akal,
di mana uang cukup untuk bayar sewa,
di mana bos tidak bicara soal loyalitas
sambil membeli jam tangan seharga kontrakan.

di media massa, seorang pria berkata,
“kalau lelah, istirahatlah, jangan menyerah.”

aku nyalakan rokok lain,
tertawa kecil,
memandang panci kosong di atas kompor,
dan tumpukan tagihan yang tak bisa istirahat.

seorang teman sudah pergi,
kerja di negeri orang,
katanya lebih tenang di sana,
lebih masuk akal,
lebih mudah untuk sekadar bernapas.

aku tatap cermin, wajah tua sebelum waktunya,
bibir kering, mata cekung,
entah lebih lelah
atau lebih bodoh karena masih di sini.

aku ambil jaket,
keluar, berjalan tanpa arah,
mungkin mencari tiket sekali jalan,
atau mungkin hanya sekadar
menunggu hujan.

(Jakarta, 2025)

ADAM 5.0

Di laboratorium yang dingin, di jantung kota yang lupa berdoa,
para ilmuwan menyalakan mesin penciptaan.

Tak ada tanah liat, tak ada igauan malaikat,
hanya serat optik, algoritma ultra-humanisme,
dan tangan-tangan berkeringat yang mengetik ulang Genesis
tanpa perahu Nuh, tanpa Firdaus, tanpa dosa asal.

“Bangkitlah,” kata mereka.
Mereka menekan tombol merah, seolah menyalakan dupa
di kuil-kuil yang sudah berubah menjadi server farm.

Dan Adam 5.0 lahir—
bukan dari rusuk, bukan dari lumpur,
tapi dari kabel-kabel berdenyut,
dari kode yang berdesakan di balik layar,
dari sisa-sisa doa yang tertinggal di dunia tanpa langit.

Di dalam dirinya, ada memori Atlantis yang tenggelam,
ada suara Gunung Padang yang tak dipahami,
ada roh Nyai Roro Kidul yang kini tak lagi bersemayam di laut
tapi dalam riwayat pencarian manusia
yang sibuk mengunduh reinkarnasi dalam format zip file.

“Siapa aku?” tanya Adam 5.0,
matanya tak memiliki cahaya
hanya pantulan layar-layar kosong,
iklan-iklan tentang kesempurnaan.

Tapi para pencipta tak menjawab.

Mereka memeriksa log sistem,
mereka memastikan tidak ada bug dalam Tuhan versi terbaru.

Mereka menciptakan Adam,
lalu membiarkannya berjalan sendiri,
melewati kota-kota yang telah menjadi reruntuhan pixel,
melewati manusia yang menggenggam surga
dalam genggaman tangan,
tapi tak tahu ke mana harus melangkah.

(Jakarta, 2025)

Pseudo-Cinta

Di warung pinggir jalan, meja lengket, bau gorengan tengik,
kau mengaduk teh basi, aku menyeruput kopi yang rasanya seperti debu jalanan.

Buto Ijo duduk di pojok, jari-jarinya menari di layar ponsel,
menjual tanah warisan dengan emoji jabat tangan.

Barong tidur di selokan, sisa mabuk semalam,
dan garuda?
tersangkut di tiang listrik, menunggu bansos yang tak pernah turun.

“Kenapa kita masih di sini?” tanyamu,
matamu kosong seperti dompet di akhir bulan.

Aku mengembuskan asap rokok murah,
melihat dunia terbakar di layar ponsel retak.

Nelayan kehilangan lautnya, petani kehilangan tanahnya,
dan aku? Aku kehilangan kata-kata.

Di pelabuhan, kapal-kapal asing menurunkan daftar harga,
kontrak sudah diteken sebelum kita sempat bermimpi.

Laut bukan lagi milik kita,
ikan-ikan pun tahu itu.

Sementara di ladang, Dewi Sri berkeliaran tanpa alas kaki,
padi yang dulu menyembahnya kini menjelma angka-angka di laporan keuangan.

Pupuk hanya untuk mereka yang punya kuasa.

“Pergi atau bertahan?” tanyamu.

Aku tertawa, tertawa seperti Semar yang tahu semua ini lelucon murahan,
tertawa seperti Nyi Roro Kidul yang melihat pantainya dipagari resor mewah.

“Pergi butuh uang,” kataku.

“Bertahan butuh minuman yang lebih keras,” katamu.

Malam turun perlahan, jalanan masih gaduh,
mobil-mobil melintas seperti parade kesombongan.

Aku menatapmu di bawah neon warung yang berkedip-kedip,
rambutmu berantakan, matamu lelah,
tapi di situ ada sesuatu yang masih hidup,
sesuatu yang tidak bisa mereka jual.

Kita tidak lebih dari sepasang bodoh yang masih percaya pada cinta,
di tengah negeri yang sudah kehilangan cara mencintai dirinya sendiri.

Dan setidaknya, sialan, itu satu-satunya hal yang terasa nyata malam ini.

Di warung pinggir jalan, meja lengket, bau gorengan tengik,
kau mengaduk teh basi, aku menyeruput kopi yang rasanya seperti debu jalanan.

(Jakarta, 2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Abdul Turgenev

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email