Penulis dan Imajinator Ulung. Aku akan menjadi penulis buku best seller Indonesia

Kosmologi Kosmopolit

safi sahri

4 min read

Rasi bintang utara masih berada di tempatnya. Seratus tahun yang lalu. Bahkan seribu tahun yang lalu. Dia masih berada di sana. Semesta mengembang dan meluas. Menembus batas ukuran metrik dalam kapasitas pikiran manusia. Melampaui postulat kehidupan. Pun dengan waktu yang bergerak dalam lintasan relatif. Mengembang dan menyempit. Saat energi besar menjadi dasar dari segala keterjadian. Keriuhan menjadi papan-papan pertunjukan dalam serial dongeng ribuan tahun.

Atau kendaraan yang bermanuver lincah. Pada orbit dan lintasan galaksi. Di sekelilingnya, kerlap-kerlip sinar yang membias, berpendar ke segala penjuru. Kerumunan demi kerumunan. Belum juga berakhir. Seperti hari ini. Pagi ini. Begitu pun dengan tempat yang tak mengenal siang. Juga tak mengenal malam. Batasan yang dibuat dengan ilusi optik. Seolah menyempit pada jalur yang menyimpang. Segala omong kosong dan postulat imajiner. Berpadu menjadi kiasan semesta yang padu dengan noktah-noktah kode biner. Seperti komputer. Dengan perpaduan angka nol dan satu. Satu satu nol. Nol nol satu. Alam bekerja dengan rumit. Melalui cara yang sederhana. Dengan kode dan huruf. Simbol dan angka.

Seperti pagi ini. Atau pagi kemarin. Atau hari setelah kemarin. Atau kemarinnya lagi. Salju di lingkaran Artik mulai mencair. Airnya berkejaran ke segala penjuru. Ke Barat. Ke Timur. Serta ke penjuru-penjuru tersulit yang tak terpikirkan. Beruang terakhir menangis. Entah seperti apa bunyinya. Mungkin semacam ringkikan. Tidak juga. Dia bukan kuda. Atau seperti auman serigala. Boleh jadi.

Hewan pelanduk masuk ke dalam perangkap. Dia juga menangis. Atau mungkin menjerit. Seorang pemburu tersenyum. Sebuah bedil tua terselempang di bahunya. Ah, daging untuk makan malam yang lezat. Pelanduk itu memelas. Sorot matanya menyiratkan kegelisahan seorang ibu. Dia baru saja melahirkan anak-anaknya. Mereka sedang menunggunya di rumah. Pemburu tidak peduli. Anak dan istrinya juga sedang menunggu. Anak pelanduk itu bisa menunggu. Atau mati. Tapi anak dan istri pemburu tidak bisa menunggu. Atau dia yang akan mati.

Seorang anak mengamati diagram. Garis-garis berpola itu berpangkal pada angka dan berakhir pada angka yang lain. Kuantitas. Semua yang terukur. Dalam bentuk angka dan wujud yang realistis. “Kenapa harus ada yang pertama dan kedua, Bu?”

“Tidak tahu, Nak. Memang sudah begitu dari dulu.”

“Apa yang pertama lebih baik dari yang kedua?”

Tidak juga. Kenapa kebaikan hanya dinilai dari sebuah nominal? Seorang fotografer tidak menilai sisi keindahan jepretannya dalam bingkai angka dan nominal. Keindahan itu muncul dari apersepsi yang lain. Bukan angka. Bukan tulisan-tulisan yang membenda. Identitas terperinci dari sebuah definisi. Bukan. Atau kebaikan seorang induk gagak. Yang memberikan makan pada anak-anaknya. Sedangkan pemangsa sedang menunggunya. Toh dia tidak peduli. Bicara soal kualitas yang mengganjal, itu hanya nonius kecil dengan sedikit penyimpangan.

Siang ini jalanan penuh dengan rayap yang berkejaran, berlari ke tempat tujuannya masing-masing. Pengemis tua itu telah menemukan jati dirinya. Penghidupan di bawah kolong gemerlapnya kota hanya sedikit bualan dari cita-cita dan angan-angan yang telah ia bangun. Pencakar langit itu hanya perpanjangan tangan dari kesombongan. Keangkuhan yang dipertontonkan di siang bolong.

Oh, begitukan kemegahan dunia? Tidak layak jika hanya disimpan.

Seorang buta berjalan dengan tongkat kayu usang. Dia mengetuk-ngetuk jalanan dengan ujung tongkat. Suara ‘tuk-tuk-tuk’ menjadi penanda dan isyarat ke mana dia harus melangkah. Di keramaian yang terasa asing di telinganya.

“Maukah kau mengantarku ke seberang?” Pria buta itu bertanya secara acak. Dia hanya yakin ada seseorang di hadapannya. Hanya keyakinannya saja yang membuatnya percaya orang itu akan menolongnya.

Toh pada akhirnya keyakinan telah mengkhianatinya. Orang itu hanya memandangnya sekilas. Memalingkan muka. Busnya sudah datang. Orang itu meninggalkan si buta dalam kesendirian.

“Maukah kau mengantarku ke seberang?” ucapnya lagi. Entah kepada siapa. Siapa saja boleh menolongnya. Asal ia berkenan. Asal ia mau.

Dua orang yang sedang bercakap-cakap itu diam. Mereka saling lirik. Memerintah agar membantu si pria buta. Keduanya menggeleng. Lagipula si buta itu tidak melihat. Diam-diam mereka meninggalkan si pria buta. Berjalan cepat. Tanpa menoleh sekalipun.

Pria buta kembali berjalan. Bukan untuk menyeberang. Dia baru sadar. Untuk apa menyeberang. Apa bedanya di sini dan di seberang? Sama-sama gelap. Sama riuhnya. Orang-orang berlalu lalang dengan acuh. Sesekali mengumpat. Tapi siapa bisa melarang. Salah sendiri si buta tidak dapat melihat.

Dua orang wanita turun dari mobil keluaran terbaru. Warnanya begitu cerah. Secerah dandanan keduanya. Anting-anting besar dan panjang. Gelang berkilau dan seutas kalung berkelip-kelip yang terlihat bersinar dari jarak puluhan meter. Senyum keduanya mengembang. Dengan langkah seanggun seorang Tsarina, keduanya berjalan menuju lobi hotel.

“Selamat Siang,” ucap Resepsionis dengan senyum selebar bahu jalan.

Keduanya tersenyum anggun. Tipis saja. Seorang Tsarina tidak boleh mengobral senyum ke setiap orang.

Masuk ke dalam kamar yang telah mereka pesan, dua orang berbadan serba besar sedang menunggu. Benar. Bukan dua orang itu yang benar-benar sedang menunggu. Tapi uang. Uang sedang menunggu mereka berdua.

“Kau sangat cantik, Lira. Kau datang dengan siapa?”

Seorang wanita yang dipanggil Lira menekuk lutut, menghormat. “Rose, perkenalkan dirimu.”

Rose—wanita berpinggang kecil—menekuk lutut, menghormat.

“Dia datang sesuai pesananmu.”

Pemandangan berganti. Sekarang yang terlihat hanya keriuhan. Kesibukan di mana-mana. Kertas yang bertumpuk. Dokumen yang tercecer. Dan mata yang tak henti-hentinya memelototi layar kotak. Jari-jari juga tak kalah sibuknya. Sibuk memencet tombol dengan kode huruf-huruf tertentu. Bunyi-bunyian dari mesin pencetak dokumen menjadi pengisi lengang. Suara sambungan telepon dan nada yang khas menjadi penghibur tersendiri. Semua harus selesai hari ini. Jam makan siang sudah berakhir. Masih tiga jam lagi sebelum mereka kembali ke sarang masing-masing.

Tiga jam kemudian bukan berita baik. Pulang? Tentu. Tapi rayap-rayap yang lain juga ikut pulang. Di dalamnya manusia-manusia lelah duduk dengan tidak sabar. Puluhan rayap melenguh. Memerintah agar rayap di depannya bergerak. Sia-sia. Semua sedang menunggu. Hari sudah mulai senja. Kesibukan bukannya berhenti, tapi justru kian bertambah.

“Apa kita harus memutar?” ucap Das pada Lop, temannya yang duduk di belakang setir.

“Mau ke mana?” jawab Lop tanpa minat. Juga tanpa memalingkan muka.

“Bagaimana kalau minum-minum sebentar? Sambil mencicipi dagangan baru barangkali.”

“Lira dan Rose?”

“Mereka juga boleh.”

Lop tersenyum. “Baik, kita memutar.”

Planet selalu berputar. Tapi mereka tak pernah memutar balik. Untuk apa? Apa sesuatu di belakang sana jauh lebih baik? Belum tentu juga. Terkadang memutar balik hanya sebuah pelampiasan dari ketidaksabaran menunggu. Mereka lupa. Menunggu adalah sahabat terbaik dalam kehidupan. Menerabas sesuatu yang seharusnya ditunggu adalah kesia-siaan.

Tapi semua itu menjadi tidak penting lagi. Siapa menyalahkan siapa? Di dunia serba bebas ini, menghakimi orang lain adalah dosa. Uang tidak dibeli, tapi dicari. Sama seperti kebahagiaan dan kebebasan. Mereka dicari. Siapa peduli jika mencarinya harus di tempat yang salah. Tidak ada aturan khusus di dalamnya. Sepanjang itu tidak merugikan orang lain. Apa masalahnya?

“Malam ini kita tidur di mana, Bu?”

“Di manapun asal kau bisa tidur.”

Sepasang ibu dan anak berpakaian rombeng berjalan di selasar jalan. Masing-masing membawa karung lusuh berisi kardus. Di tangan kanannya, mereka membawa nasi rames yang mereka beli sewaktu hendak pulang tadi. Pulang? Lucu sekali mendengarnya. Pulang ke mana?

“Kalau nanti malam hujan bagaimana, Bu?”

“Biar saja kalau hujan. Suka-suka Tuhan saja lah.”

“Tapi …  aku tidak mau tidur terkena tampias hujan, Bu.”

“Kalau begitu kita cari tempat yang tidak terkena tampias hujan.”

Si anak tersenyum.

Di sisi yang lainnya, dua orang lelaki sedang berguling-guling di sudut gang yang remang. Keduanya saling menggesek satu sama lain. Mendesis. Saling bertindihan. Semesta menonton dengan jerih. Uranus menelentangkan Neptunus. Keduanya melebur menjadi satu. Mengisi malam dengan kenikmatan. Semesta menonton tanpa berkedip.

Di seberangnya—di gang kecil yang berbau sengak—dengan rumah-rumah kecil berkaca lebar, sekumpulan wanita memamerkan kemulusan dan kemolekan. Siap beradu dengan batang-batang pejal yang keras. Siap menampung cairan-cairan yang mereka buang. Wanita itu adalah penampung apa saja. Kegelisahan. Kerisauan. Kesepian. Kecemasan. Kegagalan hidup. Juga menampung uang dari mereka. Harapan untuk hidup esok hari. Manusia datang silih berganti. Yang tua yang muda. Yang masih segar maupun yang sudah lapuk. Tidak masalah selama mereka punya pundi-pundi uang. Oh, segan sekali mendengarnya.

Berjuang untuk hidup. Hidup untuk berjuang. Dua frase yang berkaitan. Menjadi dasar dari segala alasan dan perbuatan.

Rasi bintang utara tetap pada tempatnya. Yang berubah adalah semesta melalui mikrokosmosnya. Dunia yang penuh dengan hal-hal serba baru. Penuh dengan kejutan dan hal-hal yang tak terpikirkan. Berita baiknya, dunia berbaik hati memberikan yang terbaik dari yang pernah ada.

*****

Editor: Moch Aldy MA

safi sahri
safi sahri Penulis dan Imajinator Ulung. Aku akan menjadi penulis buku best seller Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email